Minggu, 08 Februari 2009

Banjir di Joyotakan

Heri Priyatmoko

Siswanto tampak termenung sendirian di dapur. Ia masih teringat dengan apa yang kemarin pagi dilihatnya ketika berangkat jualan ke Pasar Klewer. Di Joyotakan, ratusan warga tumplek blek di sepanjang jalan raya. Mereka mengungsi karena rumahnya tergenang air. Mereka pun mencari tempat berlindung seadanya. Hanya beralaskan tikar dan pating kruntel. Siswanto tidak bisa membayangkan bagaimana nasib orang sepuh dan balita yang kedinginan dan kelaparan karena pasokan makan terbatas.
Yatmo yang melihat ayahnya duduk sendirian, segera ia samperin. “Ada apa Pak, kok surup-surup ngalamun?” tanya Yatmo sembari mengambil kursi dan duduknya persis di depan bapaknya.
“Itu lho nang, saya kasihan melihat masyarakat Kelurahan Joyotakan yang saban-saban hujan deras lima jam saja pasti terkena banjir,” ungkap Siswanto dengan raut muka sedih. Memang, kemarin (29/01) hujan deras membasuh Kota Solo sejak siang hingga tengah malam. Akibatnya, tidak hanya di Joyotakan yang dilumat banjir, Solo bagian barat seperti daerah Pajang, Laweyan, Baron dan Tipes juga terkena luapan air Sungai Premulung, Sungai Jenes, Sungai Laweyan, dan Sungai Tipes.
“Kelurahan Joyotakan adalah daerah langganan banjir karena daerahnya sangat cekung,” Yatmo menjelaskan.
Yatmo beberapa waktu lalu sempat ngobrol di wedangan Tanjung Anom dengan sohibnya yang menjadi Ketua LPMK Kelurahan Joyotakan, Julianto. Ia mencatat keluhan Julianto, bahwa sesungguhnya sejak tahun 2006 silam, warga sudah mengusulkan perbaikan tujuh pintu air yang rusak parah, mengingat vitalnya sebagai pengatur air. Sebab, bila pintu air itu rusak, air dari sungai bisa masuk ke daerah Joyotakan. Dan sebaliknya, air dari Joyotakan tidak bisa keluar. Sayangnya, usulan tersebut belum mendapat respons serius oleh Pemkot.
Menurut Julianto, tepatnya di RW 3 dan 4 ada talud yang rusak dan retak, tapi belum mendapat perhatian jua. Padahal panjangnya dua kilo, dan retakannya mencapai per lima meter atau sepuluh meter. Diperparah kondisi saluran atau selokan untuk membuang limpahan air terbilang sempit dan tidak sebanding dengan debit air yang datang.
Setelah minum wedang teh, Siswanto ngomel “bencana yang membuat beberapa bangunan SD, SMP, dan STM yang ada di Joyotakan terendam berimbas pada aktivitas belajar mengajar tersendat. Kemudian kemacetan lalu lintas tak terelakan dan rutinitas kerja warga terganggu”.
“Ada yang lebih mengkhawatirkan lagi, Pak, yaitu trauma psikologis korban banjir, terutama anak-anak. Karena itu, pembangunan serta perbaikan pintu air dan talut di Kalurahan Joyotakan harus menjadi prioritas utama Pemkot. Aneka program lain yang tidak terlalu mendesak semestinya ditunda, sebab ini menyangkut nasib ribuan orang. Apalagi Kelurahan Joyotakan itu terhitung kelurahan yang padat penduduk,” komentar Yatmo.
Hujan adalah rahmat bagi petani, tetapi hujan sudah menjadi bagian bencana untuk warga Joyotakan. Maka, selain Pemkot memprioritaskan Joyotakan dan menerapkan peraturan kebersihan dengan konsisten, di satu sisi warga Joyotakan pun berkewajiban menjaga kebersihan lingkungannya sendiri, khususnya membuang sampah.
“Oiya, mumpung ini masa kampanye, alangkah baiknya masalah pencegahan banjir tersebut diusung sebagai bahan kampanye para caleg. Saya yakni pasti mendapat banyak dukungan, termasuk suara masyarakat sekitar korban banjir,” ujar Siswanto.
“Betul, Pak. Tapi masyarakat yang cerdas harus bikin kontrak politik. Ini untuk menagih bila besok caleg itu menang, sementara misi kampanye pencegahan banjir belum direalisasikannya,” Yatmo bersaran.
“Mathuk, nang. Semoga para wakil rakyat yang menang nanti bisa mengakhiri penderitaan warga yang menjadi langganan banjir,” Siswanto marem mendengar saran anaknya.

Dimuat di Suara Merdeka, 2 Februari 2009

Tidak ada komentar: