Heri Priyatmoko
Kota Solo tempo doeloe disebut sebagai -meminjam istilah Kuntowijoyo- “jantung Pulau Jawa”. Sebab, kota ini menjadi pusat pemberhentian penumpang KA yang hendak ke jurusan Batavia, Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang. Banyak dari mereka yang menikmati keindahan kota dan hiburan, termasuk bioskop.
Dalam tulisan ini saya ingin mengulas perjalanan sejarah bioskop di Solo mulai awal kemunculannya sampai tahun 1990-an. Film dan bioskop di awal kehadirannya dianggap sebagai ikonografi modernitas dunia hiburan perkotaan. Pada dekade pertama abad ke XX, tidak lama dari titik penemuannya, hiburan baru ini merayap ke segenap penjuru dunia, mengisi waktu luang orang-orang kota. Ikonografi modernitas hiburan ini sampailah di Solo, kira-kira tahun 1910-an.
Sebelum muncul bentuk bioskop permanen yang juga masih sangat sederhana (gedung/theather), telah ada lanyar tancap, yang oleh warga disebut gambar sorot atau gambar hidup. Filmnya bisu, hanya gambar bergerak. Mereka hanya menyaksikan gambar yang disorotkan dari proyektor ke layar. Lantas, pemilik layar tancap menyediakan sebuah orgel-elektrik besar sebagai instrumen pengiring gambar-gambar bisu yang ditampilkan. Jika hujan datang, penonton seketika bubar menyelamatkan diri dari guyuran air hujan.
Tidak lama kemudian muncullah bioskop tenda keliling. Bagi yang hendak menonton, harus membayar ongkos karcis sebesar 10-15 sen. Penduduk menamakannya “bioskop pes”. Pasalnya, film yang diputar tentang penyakit pes di pedesaan. Film ini sengaja dikampanyekan atas instruksi pemerintah Belanda untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat agar membiasakan hidup sehat dan bersih biar terhindar wabah pes, lantaran penyakit ini meneror penduduk dan bikin pusing pemerintah kolonial.
Tenda bioskop dihias sedemikian rupa dengan dekorasi bendera dan umbul-umbul. Salah satu sisi bagian dalam tenda terpampang sebuah layar besar di mana gambar idoep diproyeksikan. Sisi-sisi lainnya ditempeli poster-poster film unggulan yang hendak diputar. Lantai tenda dilapisi vloer dan alas semacam tikar. Meski sarana pertunjukan film terbilang masih sederhana, tenda bioskop tampil cukup menghebohkan untuk ukuran seabad lalu (Taufanny Nugraha, 2007). Dari malam ke malam bioskop terus memperoleh animo yang baik dan selalu penuh penonton. Rasa penasaran orang atas film-film yang akan dihidangkan seolah tak kunjung reda. Saat cuaca kering maupun hujan, saban malamnya orang-orang berbondong ke Alun-alun dan segera memenuhi tenda bioskop.
Saat itu bioskop lazim tampil sebagai bagian dari sebuah gedung kesenian (roemah koemedie). Film dalam bioskop ialah salah satu bentuk pertunjukan yang ditawarkan di roemah koemedie, di samping pertunjukan konvensional seperti koemedie stamboel, tonil, dan konser orkes musik.
Masuknya perusahaan listrik swasta NV Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM) di Solo turut mempengaruhi perkembangan bioskop. Sebelumnya penduduk hanya menikmati gelaran tradisional. Seperti, sekaten, malem selikuran, wayang, dan tayub. Setelah adanya SEM, bisnis bioskop semakin diminati. Misalnya, pendirian Bioskop Sriwedari, Nieuw Bioscoop di Pasar Pon, dan Schouwburg Poerbajan (sekarang eks Bioskop Fajar). Hiburan ini menyedot penonton dari berbagai pelosok daerah. Diberitakan oleh Residen Surakarta, F.P Sollewijn Gelpke bahwa priyayi dari Sragen, Klaten, dan Wonogiri melihat film bioskop yang dibintangi Charlie Chaplin, Rudolf Valentino, Herald Loyd, dan Gloria Swanson (Arfani, 2008).
Dalam awal pemutaran film Indonesia, terlebih dahulu adalah di Kota Bandung. Sebab, di Bandung penguasa daerahnya sejak dulu ikut berperan menjalin kerja sama dengan para sineas. Film perdana yang dibikin di Indonesia adalah Lutung Kasarung (1926) produksi NV Java Film, garapan G. Krugers dan L. Heuveldorp. Ini tak lain berkat kepedulian Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah V yang sohor disebut Dalem Haji. Beliau termasuk salah seorang bupati yang menyukai cerita-cerita legenda Sunda. Pemain-pemain “Lutung Kasarung”, semuanya orang pribumi, antara lain para priyayi, di bawah pimpinan Raden Karta Barata (Eddy D. Iskandar, 2008).
Tahun 1980 merebak belasan bioskop di Kota Bengawan. Antara lain, Bioskop Star di Widuran, Dhady Theatre dan Ura Patria (UP) Theatre di Pasar Pon, Galaxy Theatre di jalan Perintis Kemerdekaan (Purwosari), Solo Theatre di Sriwedari, Nusukan Theatre di Nusukan, Regent Theatre di Jalan Veteran, Golden Theatre di Wingko, Bioskop Trisakti, President Theatre, dan Rama Theatre (sebelah Barat Panggung Jebres), serta Bioskop Kartika di Beteng.
Cara mereka mengiklankan film yaitu dengan memasang papan yang bertuliskan nama bioskop dan jam main filmnya di titik-titik wilayah yang strategis. Di bawahnya ada lembaran tulisan yang berisi judul film, nama aktor dan artisnya. Selain itu, pihak bioskop juga mengiklankan dengan menggunakan mobil berkeliling kota. Bagian depan mobil diselimuti kain gambar film dan dilengkapi corong untuk menyiarkan judul dan bintang film.
Di tahun 1990-an hadir konsep bioskop modern yang disebut 21 (twenty one), yang diwakili oleh gedung bioskop megah Atrium 21 yang terletak di Solo Baru. Bioskop ini sangat besar dengan 8 teater dan filmnya update. Namun, ketika kerusuhan Mei 1998 (bersama Studio Theatre di Singosaren) bioskop mewah tersebut dibakar massa. Hadirnya alternatif hiburan dalam bentuk vcd, dvd, dan siaran teve swasta, berdampak pada mulai sepinya peminat bioskop. Para pengelola juga mengeluhkan terbatasnya akses mendapatkan film baru. Untuk memperoleh film Indonesia baru, mereka menunggu paling tidak 2-6 bulan setelah jaringan bioskop di kota-kota besar selesai memutarnya. Tetapi manakala mereka telah menerima jatah, vcd dan dvd bajakan film itu sudah banyak beredar pula. Akhirnya mereka tergilas dan banyak yang kolaps.
Kini, sebagian besar artefak sisa kejayaan bioskop di Solo masa kolonial telah punah disulap menjadi bangunan-bangunan baru. Sementara sedikit sekali sisa yang masih bisa kita temukan artefak bioskop zaman Orde Baru hingga detik ini. Sekarang, bioskop seakan tidak lagi bisa dikenali melalui rupa fisiknya. Bioskop dewasa ini tampil sebagai bagian dari bangunan besar pusat belanja (town square, mal atawa plaza). Tiada lagi dijumpai bioskop dalam “gedung bioskop”.
Dimuat di Majalah GONG No. 107/X/2009
Minggu, 22 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar