Bandung Mawardi
“Apa yang penting dalam sebuah teks bukanlah maknanya, tapi apa yang dikerjakan dan ingin dikerjakannya; beban pengaruh yang dikandung dan ditransmisikan.”
(Jean-Francois Lyotard, Drifworks, 1984)
Kepala gundul itu diam tapi mulut lelaki itu bicara lambat dan lembut. Puisi berhamburan dari kepala gundul dan tubuh kurus dalam cerewet. Puisi-puisi itu menyapa orang ramai dengan bahasa tak biasa. Tubuh kurus dan tampak ringkih itu tak bisa jadi kuburan untuk puisi. Tubuh itu adalah kebun puisi.
Afrizal Malna setengah tahun lalu mengakui: “Aku menghilangkan power dalam puisiku.” Pengakuan itu muncul dari tanya penulis: “Puisimu jadi lambat dan lembut. Apakah kau lelah dan sekarat?” Obrolan kecil itu membicarakan puisi-puisi Afrizal Malna dalam buku Teman-Temanku dari Atap Bahasa (2oo8). Penulis pun ingat dua tahun lalu lelaki dengan kepala gundul itu menjajakan puisi-puisi untuk siapa saja agar bisa terbit sebagai buku. Iklan itu usai dengan penerbitan buku dengan baju batik. Baju ganjil untuk puisi-puisi Afrizal Malna.
Penulis kerap mengajukan tanya: “Puisi-puisi ini tidakkah lekas mati di kebun puisi Indonesia?” Puisi-puisi Afrizal malah terus tumbuh di kebun belakang karena kebun depan rimbun oleh puisi-puisi lirik. Afrizal Malna dalam pertemuan akhir dengan penulis pada akhir tahun lalu masih mengabarkan: “Puisi lahirlah dari diriku.” Afrizal tak takut dan tak letih menempuh jalan sepi. Afrizal pun sadar dengan kutukan puisi lirik sebagai kutukan belum usai sampai hari ini. Puisi lirik masih menebar mantra dan sihir untuk melenakan umat puisi dalam perayaan melelahkan dan menjemukan.
Penulis curiga ketika mengkhatamkan puisi-puisi dalam buku Teman-temanku dari Atap Bahasa. Puisi-puisi itu tidak berlari seperti puisi-puisi dulu. Puisi berjalan lambat dengan suara lembut untuk menyapa dan menggoda pembaca ketika takzim menutup pintu rumah dari pasar puisi lirik. Bahasa mengalami pengolahan dalam resep dan mekanisme mencair. Puisi menjelma susu dan roti untuk santapan pagi hari. Curiga tak selesai karena puisi-puisi Afrizal tak mau diam atau mati terlalu dini.
Penulis mengalami kejatuhan imaji dan nostalgia ketika membaca puisi apakah kamu masih sekolah, jilan. Sentimentalitas dan kisah sendu memberi kutukan pada penulis karena lengah tidak menutup pintu kamar tidur. Afrizal Malna menulis: saya ingin menggambar wajah ayah. / tapi bagaimana saya bisa menggambar / wajah ayah, karena saya tidak pernah / bertemu dengan ayah. apakah ayah / terus berjalan bersama hujan? setiap / saya bertemu sungai, saya seperti / sedang memandangi ayah. Lirisisme merasuk dalam bait pembuka puisi. Afrizal fasih mengisahkan tanya dan imajinasi dengan bahasa getir.
Puisi itu mencurigakan karena Afrizal tiba-tiba membuka tubuh puisi untuk merayakan kisah getir. Kehadiran puisi ini memiliki jarak seribu kilometer dengan mayoritas puisi-puisi lama Afrizal dalam Abad yang Berlari (1984), Yang Berdiam dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), dan Kalung dari Teman (1999). Afrizal mulai membuka kembali pintu rumah sepi untuk mencari dan menemukan fragmen-fragmen hidup. Keramaian bahasa dan imaji perlahan mengalami reduksi atau kebangkrutan karena sengaja. Puisi tak betah sebagai takdir keras dan kasar.
Afrizal seperti memainkan lakon puisi dalam keremangan rumah bahasa ketika musim hujan. Melahirkan puisi seperti melahirkan kalimat-kalimat dengan doa panjang tapi melelahkan. Afrizal melahirkan puisi dengan testimoni bahasa. Bacalah petikan puisi 5o tahun usia kuping ini sebagai dalil melahirkan puisi. Kata “kuping” dalam perkara ini sengaja oleh penulis digantikan dengan kata “puisi”. Bacalah: (puisi) itu mulai merembes / kalimat-kalimat yang aku tak bisa / membacanya. kalimat yang mirip rumah. kalimat yang mirip rumah yang / sedang menghancurkan dirinya sendiri. Puisi terbuka untuk melukai atau tindakan bunuh diri dalam konstruksi bahasa. Afrizal ingin bunuh diri bahasa dalam puisi? Puisi seperti “atap bahasa yang runtuh”.
Bahasa adalah pertaruhan dan risiko untuk kelahiran puisi. Maklumat bahasa dari Afrizal bertebaran dalam pelbagai puisi, esai, cerpen, dan novel. Maklumat itu ingin membuat publik tahu ada jalan subversif untuk melawan dan menggoda rezim bahasa. Rezim ini telah menciptakan kuburan massal untuk puisi-puisi tanpa utopia. Inilah maklumat Afrizal Malna: “Kata seperti rumah, memiliki ruang luar dan ruang dalam, ruang depan, dan ruang belakang. Kata adalah representasi eksistensi ruang dalam pemahaman manusia di bidang bahasa. Manusia tak bisa membebaskan bahasa dari pelembagaan ruang yang dilakukannya.” Maklumat ini memastikan bahwa orang berhak menempuh lorong gelap bahasa atau lorong terang bahasa. Afrizal mungkin menempuh lorong gelap bahasa menuju lorong remang bahasa untuk melahirkan puisi.
Dimuat di Suara Merdeka (18 Januari 2oo8)
Rabu, 04 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar