Minggu, 08 Februari 2009

Mengaji Ibu

Bandung Mawardi

Ibu dalam sejarah peradaban manusia kerap menjadi pusat atau sumber dari nilai-nilai dan tatanan hidup. Peran ibu itu memiliki acuan legitimasi dari teologi dan mitologi. Pengesahan secara rasionalitas modern pun membuat ibu semakin menempati posisi strategis dalam lakon peradaban. Ibu sejak babak historis sampai hari ini memang dominan membuktikan diri sebagai sosok kunci dalam memberi wajah dan arah lakon hidup manusia. Ibu pun menjadi realitas tak selesai dalam tafsir dan selalu menyimpan misteri kehidupan.

* * *

Ibu kerap menjadi representasi kosmis. Johan Jacob Bachofen (1982) menganggap ibu adalah alam sebagai pusat kehidupan dan kebudayaan. Ibu dalam konsep kosmologis memang menjadi pusat untuk realisasi nilai dan laku hidup. Ibu adalah dalil dan orientasi untuk melakoni hidup dengan tatanan nilai positif, produktif, dan konstruktif. Nilai-nilai itu merupakan penerjemahan dan pembuktian sosok ibu dalam mengabdikan diri untuk membuat hidup pantas dilakoni. Ibu sebagai pusat kosmis seperti takdir tanpa revisi.

Erich Fromm dalam The Art of Loving (1962) mengartikan ibu dengan metafor liris: “Ibu adalah rumah dari mana manusia datang. Ibu adalah alam, tanah, lautan.” Metafor itu mengingatkan manusia pada fragmen-fragmen peradaban dari referensi-referensi alam. Ibu sebagai rumah adalah asal dan tujuan. Rumah tentu memberi limpahan nilai dan anutan untuk hidup dalam absorsi cinta dan kasih. Ibu dalam pengertian alam, tanah, dan lautan mengandung makna kompleks. Ibu sebagai alam tentu mengajarkan hidup secara produktif dan konstruktif. Ibu sebagai tanah mengajarkan keimanan atas sumber hidup dan kerja. Ibu sebagai lautan adalah khazanah dalam keluasan dan kedalaman nilai-praksis hidup.

* * *

Ibu memang simbol universal dari pelbagai nilai. Ibu dengan nilai-nilai universal memiliki keunikan dalam pijakan lokal-kultural. Ibu dalam kultur Jawa memiliki nilai universal dalam konstruksi unik dan otentik-lokalitas. Robert R. Jay (1963) mengungkapkan: “Ibu adalah pusat keluarga.” Ibu memiliki otoritas-kuasa dalam lakon hidup keluarga mulai dari perkara asap dapur sampai menentukan skenario masa depan keluarga.

Ungkapan dari Robert R. Jay bisa dikomparasikan dengan studi deskriptif Hildred Geertz dalam Keluarga Jawa (1983). Ibu memang tidak memiliki otoritas puncak dalam sistem patriarki di Jawa. Ibu dalam struktur keluarga Jawa menempati posisi penting karena kesanggupan menerima peran dengan keterlibatan (total) untuk tanggung jawab dan risiko. Otoritas ibu terbentuk dan terealisasikan dari kompetensi, kharisma, dan olah lahir-batin untuk memberi bobot dan makna hidup dalam keluarga.

Ibu dalam keluarga Jawa adalah simbol tatanan hidup dalam jalinan sistem dan mekanisme tradisi-kultural Jawa. Peran itu dalam proses perubahan zaman kerap mendapati gugatan karena stereotipe kepasrahan dan inferiorisasi-domestik. Gugatan muncul karena kesadaran gender dan perubahan sistem-tata nilai kehidupan modern. Tegangan nilai-nilai tradisi dan tuntutan modernitas terkadang menempatkan ibu dalam dilema secara kodrat dan kompetensi diri.

Ibu dalam tegangan tradisionalitas-modernitas memang menunjukkan pola-pola variatif untuk mencapai kompromi atau pemihakan. Kodrat ibu kerap menjadi acuan dan sasaran dari keputusan-keputusan etis, politis, atau kultural. Ibu memang melahirkan dan mengasuh anak sesuai kodrat. Peran-peran ibu dalam konteks ekonomi, pendidikan, agama, politik, dan kultural terus mendapati godaan untuk kesanggupan melakukan transformasi dari dunia domestik ke dunia publik. Godaan ini memang mengandung risiko. Ibu hidup dalam rumah dan ibu hidup di luar rumah adalah perkara pelik dan dikotomik.

Simone de Beauvoir (2003) mengungkapkan bahwa ibu memenuhi kodrat dengan melahirkan dan mengasuh anak. Takdir menjadi ibu adalah tanda terhadap panggilan hidup. Kodrat itu bukan hukuman atau kutukan tanpa ada kebebasan dan otonomi diri. Ibu dalam melakoni kodrat memiliki hak untuk produktif dan aktif dalam memikirkan diri dan dunia. Pemilikan otoritas untuk masuk dan terlibat dalam pelbagai dimensi hidup merupakan hak ibu untuk melegitimasi eksistensi dan identitas. Ibu memiliki jalan masuk untuk memenuhi kompetensi sebagai manusia-publik dalam karier atau hak-hak sosial.

* * *

Sejarah ibu sebagai sosok positif, produktif, dan konstruktif tak bebas dari ancaman dan godaan. Ibu pun mungkin untuk menjadi sosok menakutkan, kejam, buruk, atau destruktif. Pemunculan ibu sebagai simbol negatif memang sudah muncul dalam jejak historis dalam teologi dan mitologi. Ibu-negatif menjadi bentuk peringatan atau tanda seru kegagalan atau kelengahan dalam mengonstruksi diri sebagai ibu sesuai kodrat dan pencapaian diri.

Ibu dalam mitos atau cerita rakyat kadang menghadirkan imaji atas identitas diri negatif karena faktor internal-eksternal. Ibu mengutuk, menghukum, membunuh, melukai, membenci, atau menyiksa menjadi bentuk akumulasi kata benda-kata kerja-kata sifat mengenaskan. Ibu dengan representasi-representasi itu memang menjadi negasi dari ibu-positif. Imaji terhadap ibu-negatif memang tidak mendominasi lakon ibu dalam peradaban manusia tapi memberi bekas luka dan duka.

Ibu-negatif pada hari ini justru menjadi komoditi industri media. Televisi menjadi juru bicara primer atas konstruksi ibu-negatif dalam menu sinetron dan gosip artis. Pemahaman terhadap ibu mulai mendapati godaan sensasional dan kontroversial. Ibu dalam sinetron-sinetron Indonesia adalah representasi negatif dengan dalil-dalil mencemaskan dan mengenaskan. Sinetron sebagai dewa televisi telah melakukan transformasi massif atas sosok ibu dalam kedok hiburan dan kolonisasi waktu senggang.

Ibu dalam sinetron kerap hadir dalam karakter-karakter menegangkan: ibu tukang muslihat, ibu jahat, ibu tukang mengadu, ibu pemarah, ibu sinis, ibu materialistis, ibu tukang membual, ibu serakah, ibu otoriter, atau ibu sadis. Peristiwa atau adegan ibu dalam menjalani aksi-aksi negatif cenderung menjadi negasi kodrat ibu sebagai sosok penuh cinta dan kasih. Ibu dalam dandanan menor, mata melotot, otot tegang, senyum sinis, tangan mengepal, mulut mengumbar kata kasar, dan nafas sesak menimbulkan keprihatinan dan kengerian. Ibu dalam gosip artis pun muncul sebagai sosok mengerikan karena ketidaksanggupan menata hidup dalam makna positif, produktif, dan konstruktif.

Representasi-representasi itu seperti menu baku dalam sinetron tanpa ada peringatan keras dari penonton atau institusi kritik media. Fenomena tragis adalah umat penonton dari sinetron dan gosip artis mayoritas kaum perempuan dan ibu. Mekanisme menonton menjadi mekanisme transformasi nilai dalam kesadaran atau bawah sadar. Penonton tunduk mengaji ibu dalam tendensi-tendensi negatif. Penonton dengan pamrih mengaji ibu-positif bakal mendapati godaan-godaan imperatif dan sugestif.

* * *

Refleksi atas sosok ibu terus tertutupi oleh bias-manipulasi industri media dan keramaian fakta sosial. Laku mengaji ibu terkadang kehilangan jejak asal dalam anutan-anutan kodrat. Ibu adalah sosok fenomenal dalam fragmen-fragmen peradaban manusia. Ibu terus mengalami tegangan untuk menjadi ibu-positif atau ibu-negatif.

Silakan mengaji ibu dengan puisi Ibunda (1983) anggitan Linus Suryadi AG untuk tidak melupakan kodrat ibu: Ibunda / di mana pun sama / tahan derita / lebih ketimbang ayah .... Tidak berontak / dan murka / tapi sabar dan nrimo / lego lilo .... Pasrah bongkokan / awal kebangkitan / dalam proses / penjadian kasih sayang. Kutipan puisi bisa menjadi memori kolektif untuk resistensi atas ekspansi sinetron dan gosip artis dalam mendestruksi ibu untuk keluarga-keluarga Indonesia. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (7 Januari 2oo9)

Tidak ada komentar: