Bandung Mawardi
Blaka? Apakah blaka membuat orang sadar atas konsekuensi? Kata blaka merupakan ungkapan khas Jawa untuk perkara sifat manusia: jujur atau terus terang. Ungkapan ini pun kerap muncul dengan kekomplitan: blakasuta. Sifat blaka tentu mengandung konsekuensi. Orang blaka merepresentasikan kebersahajaan dan kesanggupan mengatakan tentang pelbagai hal dengan jujur. Niat dan orientasi positif dari blaka itu terkadang jadi petaka ketika tak ada kesesuaian dengan tatanan atau situasi etis. Konsekuensi itu kerap dikatakan dengan sebagai jujur ajur (jujur malah hancur). Inikah konsekuensi atas niat dan tindakan jujur?
Arswendo Atmowiloto dengan sederhana membuat kisah dilematis antara blaka dan konsekuensi. Dilema ini ditampakkan melalui tokoh Ki Blaka dan para pengikutnya dalam novel Blakanis (2008). Arswendo Atmowiloto menaruh perkara blaka itu dalam tegangan psikologis, sosiologis, teologis, dan politis. Blaka sebagai sifat positif terkadang menjadi cenderung negatif karena salah tempat, salah situasi, salah subjek, salah objek, salah orientasi, atau salah dalil.
Orang blaka ingin mengungkapkan diri tanpa ada tabir atau menutupi diri dengan kebohongan. Keinginan itu bisa direalisasikan ketika menemukan kesesuaian dalam pelbagai hal. Blaka membutuhkan prosedur untuk mencapai transmisi pesan secara pas dan utuh. Prosedur itu mungkin dipahami sebagai alibi untuk mengatakan sesuatu. Blaka terkadang justru tak etis ketika mengarah pada pengakuan atau penelanjangan diri tanpa tedheng aling-aling. Blaka memiliki makna relatif dalam ukuran dan maksud.
Kultur Jawa kerap membuat pemilahan untuk blaka. Pemilahan dilakukan dengan pertimbangan untuk sadar konsekuensi. Blaka untuk aib tentu jadi pertaruhan haraga diri atau nama baik. Blaka untuk khilaf atau kesalahan tentu membuat perkara jadi terpahamkan dengan baik. Blaka untuk perkara-perkara esoterik susah dilakukan karena melibatkan pertaruhan pengetahuan dan dimensi-dimensi rahasia. Blaka untuk kepentingan harmoni dan menghindari konflik tentu jadi laku etik normatif.
Relativisme dalam konsep dan tindakan blaka itu membuat orang mesti sadar terhadap pemahaman atas pribadi dan orang lain. Blaka jadi makna implikatif ketika seseorang sadar atas pribadi tapi kurang mahfum dengan kondisi atau jagad batin orang lain. Konsekuensi piskologis menjadi titik kritis mengacu pada pola dan prosedur komunikasi. Blaka membutuhkan bahasa dan ekspresi untuk tidak menimbulkan reaksi tanpa kendali. Bahasa dalam pengertian blaka kerap merepresentasikan tingkat kematangan seseorang menerima dan mengolah masalah. Pilihan bahasa dalam kultur Jawa menjadi khas karena keluwesan untuk mengatakan sesuatu dengan labirin kata.
Blaka terkadang menjadi imperatif ketika orang sadar dengan suara hati. Bentuk imperatif itu sebagai ujian untuk pemaknaan eksistensi dan esensi manusia. Blaka membuat orang sadar untuk mencapai keselamatan (slamet), ketentraman hati (tentrem), hidup harmonis (rukun), dan ingat atas kuasa Tuhan (eling). Pencapaian itu merupakan konsekuensi dengan kesanggupan mencairkan tegangan-tegangan untuk pribadi dan orang lain.
Blaka sebagai kearifan Jawa rentan dalam proses transformasi sosial dan kebudayaan pada “zaman tunggang langgang” dan “abad yang berlari” saat ini. Ilustrasi menarik ada pada Dagelan Mataram-Basio dalam lakon Maling Kontrang-Kantring. Dagelan ini mengisahkan tindakan pencurian dengan dalih untuk menafkahi hidup. Pencurian dilakukan untuk memusnahkan lapar dan kemiskinan. Tindakan ceroboh terjadi ketika pencuri masuk rumah orang dalam keadaan gelap. Pencuri itu justru membangunkan pemilik rumah untuk meminjam korek api agar keadaan jadi terang. Pencuri itu pun mengaku ingin mencuri harta dalam rumah. Pemilik rumah justru tercengang dengan keluguan dan sifat blaka si pencuri. Tindakan interogasi dilakukan dengan detil. Pencuri itu dengan blaka mengisahkan kondisi keluarga dan alasan mencuri. Ilustrasi ini terjadi dengan maksud sebagai dagelan tapi satire.
Blaka dalam dagelan itu merupakan sindiran atas lakon zaman. Orang melakukan tindakan pencurian dengan pelbagai dalih. Pencurian dalam pelbagai kelas terus terjadi mulai dari alasan kemiskinan sampai pamrih menumpuk harta. Fakta mutakhir menunjukkan blaka mulai terlupakan dengan tindakan korupsi. Para koruptor di pengadilan kerap memberi keterangan mbulet untuk tidak mengakui tindakan korupsi. Blaka dihindari untuk menutupi aib atau nama baik sebagai pejabat atau “orang terhormat.” Blaka mesti diabaikan untuk tidak mendapati hukuman penjara atau pemecatan?
Pengabaian sifat blaka saat ini justru jadi strategi politis untuk orang mencapai kekayaan (semat), kedudukan (derajat), dan kekuasaan (kramat). Blaka mungkin jadi momok karena mengandung konsekuensi gagal atau beban politis dan etis. Ungkapan zaman edan pun jadi pemakluman. Pamrih mengalahkan blakasuta. Ironi kehidupan? Blaka dalam kondisi ini harus jadi tanda seru tapi tanpa harus melukai atau merusak. Blaka terealisasikan untuk orientasi positif dan konstruktif. Blaka mesti jadi agenda krusial untuk saat ini?
Pelajaran blaka dalam kutur Jawa adalah ketentuan normatif melalui proses pembelajaran dalam keluarga. Blaka sejak awal kerap terpahamkan sebagai etika hidup. Peringatan untuk tidak bohong (goroh) biasa terucapkan orang tua pada anak dalam pelbagai kasus. Pembelajaran etis itu menjadi lambaran hidup seseorang dalam proses homonisasi dan humanisasi. Pembelajaran blaka secara institusional pun ada di sekolah dan masyarakat. Blaka jadi acuan untuk seseorang mengonstruksi identitas diri dengan pelbagai sifat dan karakter.
Apakah proses pembelajaran itu mengalami pelunturan dan kebangkrutan ketika orang mesti berhadapan dengan kalkulasi ekonomi dan politik untuk hidup pada zaman ini? Pertanyaan pelik ini susah menemukan bukti pembenaran sebagai jawaban sah. Blaka menjadi pelik ketika orang membuat putusan-putusan atas nama pelbagai pamrih. Blaka jadi momok untuk ujian sekolah, mencari rezeki, meniti karier, mencapai kekuasaan, mencari jodoh, atau status sosial. Lakon hidup saat ini pun jadi perayaan dusta. Goroh jadi senjata untuk hidup?
Marbangun Hardjowirogo dalam Manusia Jawa (1983) mengingatkan bahwa kultur blaka menjadi dalil untuk mawas diri. Blaka membuat orang meninjau ke dalam (hati nurani) untuk mengetahui perihal benar dan salah atau baik dan buruk terhadap pelbagai tindakan dan konsekuensi. Blaka jadi lambaran etis untuk menguji psikologi orang dalam memikirkan dan melakukan suatu tindakan. Blaka sebagai sikap jujur tentu melahirkan konsekuensi pemunculan dan penguatan kepercayaan dengan alasan-alasan etis, psikologis, dan sosiologis dalam tatanan kehidupan.
Blaka adalah tanda seru. Ironi zaman mungkin jadi langgeng ketika tak ada ikhtiar mengajarkan blaka dengan kearifan kultur Jawa melalui pembelajaran etika Jawa. Blaka itu mengandung konsekuensi. Kesadaran atas konsekuensi positif dan konstruktif tentu jadi dalil sah untuk membuat hidup ini pantas dilakoni. Blaka sebagai tanda seru adalah bentuk peringatan untuk pencerahan hidup.
Dimuat di Suara Merdeka (1 Maret 2oo9)
Senin, 02 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar