Jumat, 31 Oktober 2008

Alarm Peringatan dari WHCCE

Oleh Heri Priyatmoko

Pujian publik mengalir deras atas keberhasilan terselenggarakannya event World Heritage Cities Conference and Expo (WHCCE) di Kota Solo. Semua ini tak lepas berkat peran Walikota Jokowi. Beliau sejak tiga tahun lalu lincah melobi di luar negeri hingga akhirnya Kota Bengawan bisa memenangkan kompetisi dengan berbagai kota di dunia untuk menjadi tuan rumah Konferensi dan Ekspo Kota-kota Warisan Dunia wilayah Eropa dan Asia yang berlangsung 25-28 Oktober kemarin.
Dalam pembukaan acara ini, Vice President of Organization World Heritage Cities (OWHC), Alexander Kibovskiy berharap konferensi ini tak hanya sebagai ajang temu para walikota dan lembaga yang peduli heritage, tapi juga bisa memberi solusi pada negara atau kota yang menghadapi permasalahan heritage di wilayahnya. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Watjik turut meresmikan Jaringan Kota Pusaka (JPK). Dia berpesan kepada walikota agar mencari jalan terbaik dan mempertimbangkan berbagai hal dalam pelestarian aset warisan budaya dalam melakukan pembangunan dan pengembangan kota.
Tidak sedikit bangunan sejarah di kota babak belur dilindas arus kapitalisme merupakan masalah yang kini hangat diperbincangkan. Kesalahan besar yang kerab dilakukan Pemkot yaitu membangun kota dengan mengalahkan bangunan bersejarah, walau itu mempunyai nilai sejarah budaya yang sangat besar bagi masyarakatnya. Sebetulnya, bangunan bersejarah ialah pusaka budaya yang menjadi bagian dari warisan manusia yang semestinya mendapat perhatian khusus untuk dilindungi serta dilestarikan.
Karena adanya aspek historis dan arsitektur inilah dapat memberikan nilai makna kultural masa lampau, yang tentu saja melekat pada bagian-bagian yang terdapat pada fisik bangunan itu sendiri. Hal tersebut penting dipahami, sebab sebagian banyak kota di Indonesia merangkak tumbuh menjadi kota modern (harus) mengorbankan peninggalan bangunan kuno atau situs sejarah untuk kepentingan investor.
Seperti yang diungkapkan pengamat perkotan Prof Eko Budiharjo, bahwa fenomena bunuh diri perkotaan (urban suicide) sudah muncul sejak merebaknya gerakan arsitektur modern di mancanegara. Bangunan-bangunan bersejarah dihancurkan untuk mewadahi kepentingan kapitalis membangun mal, supermal, shopping centre, department store, hotel, dan kantor sewa, yang mencakar langit. Disebut bunuh diri perkotaan karena para walikota pemimpin daerah yang mendapat amanah dan daerahnya justru menjadi pemrakarsa penghancuran bangunan tua bersejarah, taman-taman, dan ruang terbuka hijau. Para seniman, budayawan, ilmuwan, profesional, yang di luar jalur kekuasaan hanya bisa protes, demonstrasi, bersuara keras, menulis di media massa, untuk melawan para elite yang disebut sebagai The Big Boys atau Urban Cowboys yang sewenang-wenang itu.
Banyak tangible heritage di berbagai kota kini yang sudah beralih fungsi, dihancurkan, atau dibiarkan telantar tidak dipelihara. Coba bayangkan, seandainya kota kita bersih tidak mempunyai tinggalan bersejarah, candi, arca, serta benda purbakala lainnya. Tentu, kota kita akan menjadi kota yang kering sejarah. Tinggalan sejarah adalah bukti kebesaran, kejayaan, dan kebanggaan sebuah masyarakat. Juga menjadi cermin menatap masa depan.
Deklarasi Solo
Warisan sejarah menjadi kebanggaan dan sekaligus keindahan. Dari sana, kita dan generasi mendatang berkaca, belajar, dan mendapat inspirasi untuk membangun kota dan masyarakat yang lebih baik. Pasalnya, banyak pandangan menyatakan upaya memahami kota memang tidak bisa dilakukan kecuali melalui telaah historis terhadap warisan leluhur. Heritage adalah warisan nenek moyang yang semestinya dikelola dengan baik oleh ahli warisnya, bukan justru dikubur diganti dengan bangunan komersiil.
Slogan diusung Jokowi, Solo in the future is Solo in the past, bukan berarti antiperubahan atau memuja masa lalu. Namun lebih pada semangat membangun kota modern tanpa mengalahkan kekayaan budaya dan sejarah yang ada. Roh dalam slogan tersebut penting ditiru kota di Indonesia yang sedang dilanda wabah penyakit vandalisme heritage demi pengembangan fisik tata ruangnya. Tanpa didasari semangat kolektif pelestarian, cepat atau lambat, aset historis yang kita dimiliki tergerus kepentingan ekonomi. Wajah fisik kota akan berganti dengan bangunan baru, dengan struktur monumental sebagai lambang modernisasi yang dijadikan solusi dalam menghilangkan kenangan masa silam.
Soal kepemilikan aset sejarah yang di tangan swasta, Pemkot tidak usah risau. Di sini, Pemkot menjalin kerjasama mendorong perbaikan dan pemeliharaan bangunan tua. Misal, di Solo ada kampung tua Laweyan dan Kauman yang sohor industri batik. Pemkot menggandeng mereka dengan memberi subsidi biaya perbaikan rumah kuno, juga mendanai perbaikan infrastruktur lingkungan. Lebih dari itu, Pemkot menyediakan kredit usaha kecil dan menengah pengusaha setempat. Paling tidak, dengan investasi publik semacam ini menjadi pemicu investasi swasta terhadap bangunan dan kawasan bersejarah.
Helatan akbar WHCCE di Solo telah menyalakan alarm peringatan pada kota-kota di Indonesia untuk menghentikan aksi vandalisme pada heritage dan telah melahirkan Deklarasi Solo yang berisi sembilan poin. Di antaranya, perlunya menjaga dan melindungi properti budaya dan mengembangkan budaya hidup yang harmonis yang membentuk citra khas kota dan mendorong budaya hidup yang bersemangat di berbagai lapisan masyarakat. Kemudian, perlunya memanfaatkan kebijaksanaan dan pelajaran yang dipelajari dari warisan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat dan untuk memperkuat dasar pembangunan kreatif dan berkelanjutan.
Kesadaran melestarikan bangunan bersejarah sudah dipertegas para leluhur kita, “wewangan kang umure luwih saka paroning abad, haywa kongsi binabad, becik den mulyakna kadya wujude hawangun”. Artinya, bangunan yang berumur lebih dari 50 tahun merupakan bangunan sejarah dan budaya, dapat digunakan sebagai penelitian, menambah pengetahuan dan lain kebutuhan kemajuan serta bermanfaat sebagai tuntutan hidup.

Dimuat di Joglosemar, 30 Oktober 2008

Dari Revolusi Pemuda Sampai Generasi MTV

Oleh: Haris Firdaus

Kajian tentang kaum muda di Indonesia telah memiliki rentang usia yang cukup panjang. Kaum muda Indonesia sudah mulai menjadi bahan studi para peneliti—asing maupun domestik—sejak perjuangan kemerdekaan dimulai sampai hari ini. Kajian-kajian yang terutama ditandai dengan penerbitan berbagai buku hasil penelitian itu, memiliki kecenderungan yang berbeda-beda tiap periode.

Sebelum Orde Baru tegak, studi tentang kaum muda hampir selalu dikaitkan dengan persoalan politik. Seperti disebut Bennedict Anderson dalam bukunya yang masyhur, Revolusi Pemuda (1988), di masa sebelum Soeharto berkuasa, kegiatan yang tersedia bagi anak-anak muda adalah kegiatan yang sifatnya politis. Pada masa Orde Lama dan sebelumnya, sebagian besar pemuda Indonesia menghabiskan waktunya dengan mengikuti organisasi-organisasi pemuda, mahasiswa, dan juga partai politik.

Realitas kepemudaan Indonesia yang penuh aktivitas politik bisa kita lihat, misalnya saja, dalam novel Layar Terkembang (1936) yang dikarang Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam novel itu, tergambar kehidupan kaum muda Indonesia tahun 1930-an yang mulai melek organisasi dan politik. Sebagian pemuda waktu itu, terutama setelah momen Sumpah Pemuda tahun 1928, telah ikut berkiprah dalam berbagai organisasi yang berperan dalam penyemaian kesadaran politik dan nasionalisme.

Boom Minyak dan Budaya Populer
Salah satu kejadian penting yang menandai pergeseran kondisi kaum muda Indonesia adalah terjadinya lonjakan harga minyak dunia pada tahun 1970-an. Fenomena yang kerap disebut sebagai “boom minyak” ini menguntungkan Indonesia yang waktu itu merupakan negara pengekspor minyak. Keuntungan atas lonjakan harga minyak dunia ini mengakibatkan tambahan pemasukan bagi sebagaian besar masyarakat Indonesia, terutama golongan ekonomi atas.

Secara tidak langsung, terjadinya “boom minyak” tahun 1970-an yang diikuti dengan stabilitas perekonomian Indonesia, telah berpengaruh terhadap kondisi sosiologis kaum muda di Indonesia. Berangsur-angsur kemudian, berkembanglah sebuah “kelas menengah perkotaan” yang ditandai oleh konsumsi barang mewah dalam siklus hidup mereka. Bersamaan dengan itu, lahirlah berbagai tempat hiburan baru yang sebelumnya tak dikenal. Kemunculan ini kemudian diikuti dengan terbentuknya kelompok kaum muda yang mulai menghabiskan waktunya dengan kegiatan-kegiatan non-politis dan mulai mengkonsumsi berbagai barang modern seperti motor, radio, dan alat-alat musik .

Pada periode ini, diawalilah perubahan dalam kondisi sosial pemuda Indonesia yang juga akibat dari depolitisasi yang dilakukan pemerintahan Soeharto. Sejumlah buku tentang kondisi Indonesia kala itu mulai memotret terjadinya perubahan tersebut. Buku karya James Siegel, Solo in The New Order, Language and History in an Indonesian Town (1986), salah satunya. Dalam buku itu James Siegel menyatakan, mulai terjadi pergantian istilah untuk menyebut kaum muda Indonesia pada waktu itu. Istilah “remaja” mulai populer kala itu, menggantikan term “pemuda”. Pergantian ini bukan hanya soal bahasa tapi juga soal politik. Istilah “remaja”, menurut Siegel, merujuk pada kaum muda hasil depolitisasi Orde Baru. Dengan kata lain, sejak kala itu kaum muda Indonesia mulai menengok hal-hal selain politik sebagai aktivitas mereka.

Setelah periode itu, kaum muda Indonesia tak lagi hanya dikaitkan dengan soal politik tapi juga dengan budaya populer dan gaya hidup. Selama kurun 1970 sampai 1980-an, Jurnal Prisma dua kali mengangkat tema kebudayaan populer, yakni tahun 1977 dan 1987. Pada tahun 1997, terbitlah buku kumpulan tulisan mengenai gaya hidup, budaya populer, dan keterkaitan keduanya dengan kaum muda. Buku yang disunting Idi Subandy Ibrahim berjudul Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia itu kembali diterbitkan tahun 2005 oleh penerbit berbeda.

Meski pada periode 1990-an kebudayaan kaum muda tidak lagi hanya dikaitkan dengan politik, tapi buku yang membahas pemuda dalam perspektif politik juga tak sedikit. Apalagi, ketika gerakan mahasiswa 1998 berhasil memaksa Soeharto untuk lengser keprabon. Salah satu buku yang secara menarik membahas gerakan mahasiswa 1998 adalah buku kumpulan tulisan bertajuk Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa 1998 yang dieditori Fahrus Zaman Fadhly. Buku yang terbit tahun 1999 ini menjadi menarik karena di dalamnya terdapat tulisan tentang relasi aktivitas politik mahasiswa 1998 dengan budaya populer dan gaya hidup.

Tahun 2002, Hikmat Budiman menerbitkan buku hasil penelitian tentang budaya populer di Indonesia. Buku berjudul Lubang Hitam Kebudayaan itu bisa jadi merupakan buku mengenai kebudayaan populer di Indonesia yang paling lengkap sampai saat ini. Berbeda dengan banyak pemikir Indonesia dekade sebelumnya yang hampir selalu melihat kebudayaan populer sebagai sesuatu yang negatif, Hikmat melihat persoalan budaya populer secara lebih bijaksana.

Pada Agustus 2008, terbit sebuah buku berjudul Generasi MTV karya Dadang Rusbiantoro. Buku ini merupakan bentuk keprihatinan Dadang terhadap kaum muda Indonesia yang larut dalam histeria budaya populer. Secara kritis, Dadang menyoroti masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia, terutama melalui program tayangan Music Television (MTV). MTV dianggap berhasil melakukan hegemoni terhadap remaja-remaja Indonesia sehingga mereka rela melakukan penjiplakan habis-habisan dalam soal gaya hidup. Kecenderungan macam ini, menurut Dadang, seharusnya segera dilawan supaya para pemuda Indonesia tak menjadi “pengekor Barat” yang setia.

Dimuat di Suara Merdeka, 26 Oktober 2008

Jumat, 24 Oktober 2008

Sumpah Menulis!

Oleh: Bandung Mawardi


Pada 28 Oktober 1928 kaum terpelajar mengadakan kongres dengan putusan Sumpah Pemuda. Peristiwa itu representasi gerakan perlawanan terhadap kolonialisme dan ikhtiar mengonstruksi Indonesia. Sumpah Pemuda melahirkan konsensus untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia pun hidup dan tumbuh dalam tulisan dan lisan.
Tokoh kunci perumusan Sumpah Pemuda adalah Muhammad Yamin. Tokoh ini sejak usia 17 tahun memiliki obsesi bahasa. Obsesi itu menjelma dalam laku menulis. Muhammad Yamin sadar untuk mengonstruksi Indonesia memerlukan fondasi dengan bahasa. Ide-ide nasionalisme tumbuh dan menyebar dengan laku membaca dan menulis. Bahasa Indonesia jadi pilihan dengan potensi-potensi konstruktif dan progresif. Muhammad Yamin adalah manusia dengan sumpah menulis. Pustaka Indonesia pun mencatat publikasi tulisan Muhammad Yamin dalam jenis puisi, drama, politik, sejarah, hukum, bahasa, budaya.
Ide dan imajinasi Indonesia tumbuh dengan tulisan. Soekarno menulis dengan retoris dan sugestif. Sutan Sjahrir menulis dengan reflektif dan filosofis. Mohamad Hatta menulis dengan analitis dan kritis. Tan Malaka menulis dengan gairah dan provokatif. Pendiri-pendiri bangsa mengonstruksi Indonesia dengan sumpah dan laku menulis. Tulisan adalah tanda seru untuk ikhtiar menjadi Indonesia.
Eksplorasi dan progresivitas bahasa Indonesia dalam tulisan tampak kentara sejak tahun 1930-an. Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane adalah contoh manusia dengan sumpah menulis. STA jadi lokomotif ampuh dalam laku menulis di Indonesia. STA menulis pelbagai perkara: sastra, bahasa, antropologi, filsafat, budaya, politik, teknologi, dan agama.
Laku menulis pun jadi gairah besar dengan sekian dalil dan pamrih. Pramoedya Ananta Toer menulis dengan teks cerpen, novel, drama, sejarah, biografi, politik. Mochtar Lubis menulis dengan teks cerpen, novel, sosial, bahasa, budaya, politik, teknologi. Soedjatmoko menulis dengan teks filsafat, sejarah, sosiologi, budaya, teknologi, politik. Ajip Rosidi menulis dengan teks puisi, cerpen, novel, biografi, budaya. Deretan nama penulis itu masih panjang dan belum pada tanda titik.
Warisan-warisan tulisan dari tokoh-tokoh itu masih ada untuk referensi dan tanda seru dalam ikhtiar menjadi Indonesia. Apakah warisan dari realisasi sumpah menulis itu mati atau hidup sampai hari ini? Mati atau hidup itu urusan kemauan dan kesanggupan. Pertanyaan ini sepele tapi merepotkan karena ada realitas tak mengenakkan. Apa?
Kritik-kritik keras dan pedas kerap muncul dengan sasaran mahasiswa sebagai kaum terpelajar. Kritik itu mengacu pada curiga akut tentang kemunduran dan kebangkrutan laku membaca-menulis pada kaum mahasiswa. Curiga itu jadi stigma tanpa titik akhir. Curiga itu menemui kebenaran atau kesalahan? Jawaban yang kerap muncul adalah membenarkan curiga akut itu. Tragis! Kaum mahasiswa mesti lekas sadar dan sanggup menepis-menantang curiga (stigma) itu dengan sumpah menulis dan laku menulis. Sumpahlah menulis! Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (25 Oktober 2oo8)

Rabu, 22 Oktober 2008

Marjinalisasi Perempuan dalam Film Horor

Oleh: Haris Firdaus

Di Indonesia, film horor tak pernah bisa dilepaskan dari sosok perempuan. Film horor yang pertama kali diproduksi di Indonesia, yakni Doea Siloeman Oeler Poeti en Item, memiliki tokoh utama perempuan dan seluruh bangunan ceritanya berpusat pada perempuan.

Film yang diproduksi pada tahun 1934 oleh The Teng Cun ini berkisah tentang siluman ular putih yang keluar dari gua pertapaannya dan kemudian menyamar menjadi seorang perempuan cantik. Dalam perjalanan hidupnya, sang siluman ular kemudian jatuh cinta pada seorang pria, lalu keduanya melangsungkan pernikahan.

Pada tahun 1970-an, ketika genre horor mulai laku di pasaran film Indonesia, sosok perempuan mulai menampakkan dominasi yang jelas. Satu nama perempuan yang tak bisa dilepaskan dari kisah film horor tahun 1970-an adalah Suzanna. Artis bernama lengkap Suzanna Martha Frederika van Osch ini adalah figur yang dijuluki sebagai “Ratu Film Horor Indonesia” karena keterlibatannya dalam sejumlah produksi film bertema hantu yang bisa dibilang menuai sukses di pasaran.

Sejak membintangi Beranak dalam Kubur tahun 1971, nama Suzanna memang melambung dalam jagat film horor Indonesia. Ada sekira 14 film horor yang dibintanginya yang menangguk sukses besar. Bahkan, beberapa bulan sebelum meninggal pada 15 Oktober 2008 lalu, Suzanna masih membintangi sebuah film horor dengan judul Hantu Ambulance (dirilis pada Feberuari 2008).

Nama Suzanna yang legendaris dalam jagat film hantu Indonesia menunjukkan, betapa sosok perempuan memang lebih familiar dengan film horor. Bahkan, kita di Indonesia hanya mengenal Suzanna sebagai “Ratu Film Horor Indonesia”, tanpa pernah ribut siapa yang seharusnya menyandang gelar “Raja Film Horor Indonesia”. Kenyataan ini merupakan bukti tak terbantahkan betapa sosok perempuan memang lebih akrab dengan dunia film horor dibandingkan dengan laki-laki.

Setelah dekade tahun 1970-an, artis perempuan masih terus menjadi tokoh utama dalam film-film horor. Kisah-kisah film horor Indonesia pada tahun-tahun berikutnya terus-menerus menjadikan perempuan sebagai pokok utama cerita. Tengok saja sejumlah judul film horor tahun 1980-an yang jelas-jelas menampilkan perempuan sebagai tokoh utama, seperti Nyi Blorong (1982), Perkawinan Nyi Blorong (1983), Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986), Ratu Buaya Putih (1988), Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989), dan banyak lagi.

Pada tahun 1990-an, sejumlah film seperti Misteri Permainan Terlarang (1992), Kembalinya Si Janda Kembang (1992), Misteri di Malam Pengantin (1993), Gairah Malam (1993), Si Manis Jembatan Ancol (1994), dan sejumlah judul lain juga menampilkan kisah horor dengan perempuan sebagai unsur utama. Memasuki dekade 2000, memang film horor tak lagi selalu menggunakan perempuan sebagai pusat kisah, seperti Jelangkung (2002) dan Kafir (2002), tapi tetap ada film yang memanfaatkan perempuan sebagai unsur dominan kisah.

Representasi dan Marjinalisasi
Problem pokok dalam tiap teks yang menampilkan sosok perempuan adalah masalah representasi. Representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam isi sebuah teks. Sara Mills (1997) mengingatkan kita, bahwa representasi perempuan dalam teks yang diproduksi oleh budaya dengan dominasi patriarki biasanya cenderung bias. Perempuan condong ditampilkan sebagai pihak yang marjinal dibandingkan laki-laki.

Dalam film-film horor Indonesia, representasi perempuan cenderung berbeda-beda dalam tiap dekade. Namun, meski memliki variasi, ada kecenderungan perempuan ditampilkan sebagai sosok yang marjinal jika dibandingkan laki-laki. Pada tahun 1970-an sampai dengan 1990-an, kebanyakan kisah film horor berpusat pada tokoh perempuan yang teraniaya sampai mati, lalu menjadi hantu gentayangan. Tatkala masih hidup dan eksis sebagai manusia, perempuan adalah makhluk yang tak berdaya di hadapan laki-laki. Perlawanan para perempuan terhadap laki-laki hanya bisa dilakukan ketika mereka telah meninggal dan menjadi hantu.

Setelah menjadi hantu, para perempuan itu baru bisa membalas perlakuan para laki-laki atas mereka. Dalam film-film itu sering digambarkan sejumlah lelaki bejat mati secara mengenaskan di tangan arwah perempuan gentayangan. Sekilas, racikan kisah macam ini seolah menampilkan sosok perempuan yang mampu membalas penindasan yang diterimanya dari kaum laki-laki. Tapi kalau diamati lebih dalam, nyatalah bahwa film itu memosisikan perempuan sebagai sosok marjinal.

Kenapa? Sebab perlawanan perempuan terhadap laki-laki itu hanya terjadi ketika sang perempuan telah meninggalkan dunia yang nyata dan menjadi arwah. Selama masih menjadi manusia, perempuan adalah sosok tak berdaya. Melalui kisah macam itu, film-film horor Indonesia pada 1970-an sampai 1990-an sebenarnya merepresentasikan sosok perempuan sebagai manusia tak berdaya. Ya, sebagai manusia yang eksis, perempuan tak berdaya. Baru kemudian, jika mereka mati dan menjadi hantu, mereka akan berubah jadi sosok yang berdaya. Pada posisi inilah, marjinalisasi terhadap perempuan terjadi di dalam film-film horor.

Marjinalisasi perempuan dalam film horor juga terjadi tatkala sosok perempuan—sebagai manusia yang utuh—direduksi sebagai sekadar tubuh yang digunakan untuk alat pemuas kebutuhan seksual. Mulai dekade 1980-an, film-film horor mulai memasukkan adegan-adegan panas dalam bangunan alur mereka. Mula-mula sebagai bumbu, tapi lama-kelamaan seks justru menjadi inti cerita. Pada tahun 1990-an, amat banyak film horor yang menyajikan adegan seks secara vulgar dan berlebihan. Pada dekade itu pula lahir sejumlah artis wanita yang sering dijuluki sebagai “bom seks” karena peranan mereka dalam film horor.

Relasi fisikal tubuh antara laki-laki dan perempuan dalam film horor tidak hanya bisa dilihat sebagai sebuah relasi biologis semata. Adegan-adegan seksual yang umumnya menempatkan perempuan sebagai pihak yang tak berdaya itu juga menjadi sebuah petanda adanya relasi ideologis. Dalam relasi ideologis tersebut, perempuan hampir selalu berada sebagai pihak yang marjinal. Seperti dikatakan Yasraf Amir Piliang (2004), di dalam dunia kapitalisme yang dipengaruhi wacana patriarki, perempuan akan selalu ditempatkan sebagai sekadar “objek kesenangan” dari dunia laki-laki.

(Dimuat di Suara Merdeka, 22 Oktober 2008)

Analisis Tokoh Muslimah dalam ”Laskar Pelangi ”

Oleh Heri Priyatmoko

SUATU pagi di tanah Belitong Timor pada pertengahan 1970-an, sepuluh anak yang berjuluk Laskar Pelangi ketakutan. Hujan turun amat deras dan petir menyambar-nyambar sementara ibu guru mereka belum juga datang. Andrea Hirata kecil dan sembilan temannya merapat di dinding papan agar terhindar dari semburan air hujan yang masuk lewat atap seng yang bolong menutupi sekolah reot bak gudang kopra itu. Mereka yakin ibu guru, Ibu Muslimah, pasti datang. Sebab, Ibu Mus (panggilan Ibu Muslimah) bukan tipe guru yang gampang bolos atau semangat mengajar mudah runtuh gara-gara hujan.

Benar, Ibu Mus datang berpayung daun pisang. Ketika itu Andrea merasakan getaran kalbu yang mendesir. Pada momen yang tak terlupakan ini, terbetik tekad kuat di hatinya, suatu saat nanti bakal bikin tulisan sosok dan kiprah Ibu Mus. Itulah yang diungkapkan Andrea dalam acara Kick Andy pada 4 Oktober 2007 silam dan tertulis pula di buku Asrosi S Karni, Laskar Pelangi: The Phenomenon (2008).

Kini, janji Andrea terbayar jua. Lahirnya novel Laskar Pelangi (2005) dipersembahkan hanya untuk ibunda guru tercinta. Seperti apa kehebatan Ibu Mus ketika mengajar meski puluhan tahun berlalu tapi sosoknya masih terekam di sanubari mantan muridnya, Andrea?

Serba minim dan memprihatinkan kondisi yang dialami Ibu Mus tiga dasawarsa lampau. Sementara perempuan seusianya sibuk bersolek dan bermain, Ibu Mus yang kala itu berumur 20 tahun justru mengajar di Sekolah Dasar Muhammadiyah Gantung, Belitong Timur yang tak menjamin kantong bisa tebal. Bagaimana tidak; mengajar di sekolah reot, mengurusi anak-anak miskin, gaji cuma 3.000 ribu rupiah perbulan yang kadang dibayar 1.300 ribu. Eloknya, semua dilakoni secara ikhlas.

Bahan Bakar
Dia menyikapi kenyataan pahit ini secara positif. Hal itu tak menyebabkannya pasrah pada nasib, namun malah menjadi ”bahan bakar” demi mengejar ketertinggalan. Ibu Mus memompa semangat belajar murid dengan menampilkan sosok figur besar, seperti Soekarno dan Galileo. Dorongan kian efektif karena Laskar Pelangi juga punya motivasi diri akibat perlakukan diskriminasi, yaitu tak boleh sekolah di SD favorit PN Timah dan disekat oleh papan pembatas bertulis ”Dilarang masuk buat orang jang tida punja hak”. Ibu Mus tidak terlalu kesulitan mengarahkan mereka. Pasalnya, telah dibangun atmosfer spirit pendekatan belajar-mengajar Ibu Mus dan murid-muridnya, dan memanggil mereka dengan sebutan ”nak”, panggilan sayang dari kata ”anak”.

Para murid tiada merasa diperlakukan berbeda-beda. Ibu Mus membimbing dengan penuh kasih sayang, semua disemangati, sesuai kapasitas mental dan pikiran masing-masing. Tersedianya unsur guru yang mengajar dengan paradigma inklusi itu yang lebih sulit dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi ketimbang sekadar mengadakan komposisi kelas yang inklusi. Sebutlah tokoh Harun. Anak itu mempunyai kelainan mental, tapi Harun tetap merasa dihargai dan diperlakukan setara dengan temannya.

Pada riwayatnya, Ibu Mus hanya lulusan Sekolah Kepandaian Putri (SKP), sekolah keterampilan menjahit dan menyulam. Akan tetapi hebat dalam mewariskan fighting spirit yang meledak-ledak sepanjang hayat. Hal itu diakui Andrea, bahwa meski sudah menimba ilmu di perguruan tinggi di Universitas Indonesia dan Universitas Sorbonne, Paris, berjumpa dengan belasan profesor papan atas, namun bagi Andrea guru terbaik tetap Ibu Mus. Perempuan berkerudung ini menyihir Andrea menjadi rakus ilmu dan cinta pengetahuan, sedangkan sebagian profesor menciptakan iklim belajar yang penuh beban dan suasana stres.

Dia perempuan sederhana, jauh dari hiruk pikuk kota, hidup di tengah masyarakat yang terbelit kemiskinan, tapi sekarang ia menjadi tokoh idola banyak orang di kala mereka kehilangan pegangan. Ada dai kondang tingkat nasional yang sempat menjadi idaman banyak perempuan, namun kemudian malah mengecewakan karena sang dai berpoligami, sebuah tindakan yang tidak disukai kaum hawa.

Orang-orang yang pernah kita kagumi ternyata juga korupsi. Andaikan saja Andrea tak menulis memoar Laskar Pelangi, daya pukau dan kedasyatan Kartini dari tanah Belitong itu tak diketahui masyarakat.
Pada intinya, kehadiran Ibu Muslimah kembali mengingatkan kepada kaum oemar bakri: guru adalah kunci keberhasilan siswa. Dan, Ibu Muslimah telah menyalakan alarm peringatan pada kita semua bahwa kemiskinan bukanlah alasan untuk berhenti belajar dan bukan tak mungkin sebuah sekolah kecil dengan segala keterbatasannya mampu melahirkan kreativitas yang melampaui sekolah favorit yang mapan baik dari segi pengajarannya maupun fisik.

Harapannya, semoga di negeri ini hadir seribuan guru macam Ibu Muslimah yang getol meniupkan semangat pendidikan bagi anak didiknya meski terjepit dalam situasi kemiskinan. (80)

Dimuat di Suara Merdeka, 22 Oktober 2008

Senin, 20 Oktober 2008

Masa Lalu dan Penolakan Posmodernisme

Oleh: Haris Firdaus

Di Indonesia, perbincangan tentang posmodernisme telah berlangsung selama lebih dari dua dasawarsa. Pihak-pihak yang terlibat dalam debat mengenai topik itu datang dari kalangan yang beragam: akademisi, aktivis LSM, mahasiswa, sampai seniman. Diskursus mengenai posmodernisme itu sendiri melibatkan banyak kajian yang sifatnya interdisipliner karena keluasan medan perbincangan tentang posmodernisme memang tak memungkinkan meringkas wacana posmodernisme dalam bingkai satu ilmu tertentu.

Bambang Sugiharto, dalam sebuah tulisannya di Majalah Basis (Edisi Januari-Februari 2002), menyebut bahwa posmodernisme merupakan sebuah “istilah-payung” yang ibaratnya seperti “keranjang besar yang kosong”: ia bisa diisi dengan banyak ragam benda yang mungkin memiliki perbedaan yang signifikan. Namun, betapapun beragam isi istilah posmodernisme itu sendiri, tetap ada kecenderungan umum yang menyatukan mereka.

Kecenderungan itu antara lain: (1) menganggap “realitas” sebagai suatu konstruksi semiotis, artifisial, dan ideologis; (2) skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang “substansi” objektif; (3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara; (4) paham tentang sistem sebagai sesuatu yang otonom dianggap tidak lagi memadai; (5) tidak lagi melihat oposisi biner sebagai sesuatu yang memadai; (6) melihat dan memberi tempat kepada kemampuan lain selain rasionalitas, seperti imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb; dan (7) menghargai segala hal “lain” (otherness) secara luas yang selama ini termarjinalkan oleh wacana modern.

Pembicaraan tentang posmodernisme di Indonesia tentu dipengaruhi oleh publikasi tulisan baik di media massa, jurnal, internet, maupun yang berbentuk buku. Posmodernisme sendiri merupakan wacana yang datang dari luar sehingga perbincangan mengenainya pun tak mungkin melepaskan diri dari konstruksi pemikiran para intelektual non-Indonesia. Kaum cerdik pandai di Indonesia pada awalnya mengenal wacana posmodernisme dari literatur-literatur asing yang mereka dapatkan dalam studi formal maupun dalam relasi intelektual yang informal. Seiring pertambahan waktu, buku-buku tentang posmodern pun mulai dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia.

Selain itu, para pemikir Indonesia pun telah banyak yang menulis tentang posmodernisme. Tahun 1996, Bambang Sugiharto menerbitkan buku bertajuk Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Melalui buku itu, Bambang menggambarkan bahwa “gerakan posmodern” ternyata melakukan “penyerangan” terhadap konsep filsafat modernis sehingga filsafat ada dalam “krisis”. Namun, Bambang tak sekadar mendeskripsikan penyerangan itu tapi juga berusaha mencari jalan keluar atas kondisi “krisis” yang diakibatkan penyerangan tadi.

Selain Bambang, penulis Indonesia yang kerap “bermain-main” dengan wacana posmodernisme adalah Yasraf Amir Piliang. Yasraf merupakan penulis buku dan artikel yang produktif dan secara konsisten memilih tema-tema tentang kondisi kebudayaan manusia yang sedang memasuki fase baru seiring penemuan teknologi baru yang mampu melakukan “rekayasa realitas”.

Beberapa buku Yasraf Amir Piliang yang berkait—baik langsung maupun tak langsung—dengan wacana posmodernisme antara lain: Sebuah Dunia yang Dilipat (terbit pertama tahun 1998, direvisi dan diterbitkan kembali menjadi Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan pada tahun 2004 oleh penerbit yang berbeda), Sebuah Dunia yang Menakutkan: Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagat Raya Chaos (2001), Hipermoralitas: Mengadili Bayang-bayang (2003), Transpolitik: Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial (2003), Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (2003), dan Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika (2004).

Beberapa buku terjemahan mengenai posmodernisme juga banyak beredar dalam Bahasa Indonesia seperti karya Madan Sarup yang berjudul Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis (2004), karya Steven Best dan Douglas Kellner yang berjudul Teori Posmodern: Interogasi Kritis (2003), dan Buku Visi-visi Postmodern (2005) yang dieditori David Ray Griffin. Beberapa buku pemikir yang kerap membahas masalah posmodernisme juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia seperti karya-karya Jean Baudrillard, antara lain Berahi (2000), dan Masyarakat Konsumsi (2004).

Salah satu buku terjemahan tentang posmodernisme yang cukup penting dan sedikit berbeda adalah Menolak Posmodernisme karya Alex Callinicos yang awal tahun ini baru saja diterbitkan oleh Resist Book. Buku Callinicos ini merupakan buku yang secara terang-terangan berusaha menolak dalili-dalil posmodernisme. Diawali dengan pembahasan mengenai asal-usul posmodernisme, Callinicos berusaha menguliti kenapa banyak intelektual di barat mengalami ketakjuban pada wacana posmodernisme. Pada akhirnya, buku ini sampai pada kesimpulan bahwa posmodernisme hanya semacam eksperimen intelektual yang “kenes” dan banyak bersandar pada “permainan bahasa” serta akan membuat kaum terpelajar lupa terhadap realitas penindasan masih terjadi karena adanya gurita kapitalisme global.

Terbitnya edisi Bahasa Indonesia karya Alex Callinicos ini bisa jadi akan menyulut kembali perdebatan tentang posmodernisme di kalangan intelektual kita. Perdebatan itu, tentu saja merupakan sesuatu yang positif karena akan membuat wacana posmodernisme di Indonesia makin meluas, mendalam, dan berpotensi digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah masalah kebudayaan di negara kita.

(Dimuat di Suara Merdeka, 19 Oktober 2008)

Batik Bagian dari Jati Diri Bangsa

Oleh: Heri Priyatmoko

Mereka mendapat gelar Mbok Mase dan kata itu bercerita banyak tentang kejayaan pengusaha batik di Jawa tempo dulu. Sebutan ini tidak cuma menunjukkan potret kepiawaian perempuan Laweyan dalam berwirausaha, melainkan juga terkait erat dengan yang disebut oleh sejarawan Solo, Soedarmono, sebagai pendobrak citra; mental pribumi Jawa yang malas.
Berbicara mengenai Mbok Mase Laweyan, mengingatkan pada kisah perjalanan sejarah kain batik sebagai proyek identitas. Fiona Kerlogue, doktor spesialisasi batik lulusan University of Hull Inggris dalam bukunya Batik: Design, Style & History (2004), mengemukakan, di mana saja dan di kesempatan apapun, baik formal maupun informal, batik menjelma menjadi ikon ungkapan kebanggan nasional yang penting, satu dari elemen kuat ekspresi nasionalisme Indonesia yang merata, dikenakan pria-wanita, tua-muda, mulai dari orang biasa hingga presiden.
Batik dipakai tidak saja saat wanita bekerja di sawah, melainkan juga hadir di rumah-rumah, dalam resepsi dan upacara adat, muncul di tingkat bawah maupun elite, bahkan di tingkat kenegaraan. Lebih dari itu, kerap kali menyaksikan batik menjadi ekspresi seni yang tak lagi anonimus, berfungsi tidak hanya sebagai kostum semata-mata, tapi sebagai dekorasi, barang seni, hingga suvenir wisata wajib yang populer.
Gairah memperkenalkan batik dan menghargainya sebagai bentuk ekspresi kecerdasan lokal bangsa di dunia internasional, cukup besar. Ketika batik didaku negeri jiran sebagai hasil ciptaannya, warga Indonesia berang. Tentunya kita tak bisa hanya marah menghadapi kelihaian Malaysia. Karena bangsa manapun yang tak becus mengurus miliknya sendiri pasti akan menjadi incaran pihak lain.
”Jangan nilai orang dari pakaiannya,” inilah nasihat yang sering terdengar. Artinya, penampilan bukanlah hal penting sebab masih ada unsur lain yang jauh lebih penting. Nasihat tersebut tentunya tidak berlaku bagi orang Jawa yang lebih teguh dengan ungkapan ajining raga ana ing busana.
Seperti yang tertulis di buku Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (2005), pakaian merupakan kulit luar yang menegaskan identitas pemakai kepada lingkungan sosial. Baju menjadi media yang efektif guna menunjukkan status, kedudukan, kekuasaan, gaya hidup, gender, dan jenis kelamin dari masa ke masa.
Bila dibandingkan dengan pakaian pakaian adat suku-suku di Nusantara, batik menempati urutan tertinggi (dianggap) sebagai kostum nasional. Eloknya, kini, pemakaian batik tiada lagi mencerminkan perbedaan status sosial dalam gaya hidup.
Di sinilah batik berperan besar (sebagai alat) atas leburnya diskriminasi dan hegemoni yang terbentuk sejak masa kolonial Belanda. Kala itu, pakaian sengaja diciptakan guna membedakan antara yang kulit putih dengan pribumi dan antara pribumi satu dengan yang lain. Saban daerah mesti mengenakan pakaian daerahnya masing-masing. Sementara busana khas kolonial Belanda dilarang dikenakan pribumi.
Pakaian raja atau sultan tidak diperkenankan dipakai sembarang orang, apalagi rakyat jelata. Batik diasosiasikan dengan kehidupan seremonial keluarga yang mempunyai tradisi turun temurun yang sarat dengan privilese. Pakaian menentukan citra seseorang. Busana menjelma sebagai pembeda di tengah-tengah masyarakat. Identitas itu tampil di ruang-ruang publik, dengan tampilan warna-warni, ternyata diam-diam membawa pesan yang sarat konflik.
Dewasa ini, batik baru tren dan membawa kecenderungan pada perwujudan cinta masyarakat Indonesia terhadap produk dalam negeri dan bentuk reaksi atas westernisasi. Teringat pada 13 April 2008, Jl Slamet Riyadi bak lautan manusia.
Gelaran Solo Batik Carnival yang hendak mendongrak pamor batik sampai ke tingkat setinggi-tingginya pantas memperoleh apresiasi publik. Hanya, batik tidak bisa bertahan pada situasi tradisional. Mau tiak mau tidak harus mengalami polesan karena menyesuaikan diri terhadap semangat zaman. Oleh karena itu, batik akan terus berkembang dan dicari orang. Seperti orang Betawi bilang: kagak ade matinye!
Pasang surut batik telah mewarnai perjalanan sejarah kostum di Indonesia. Mengapa kita mesti malu memakai baju batik, karena dengan itu kita berarti ikut melestarikan produk lokal dan memperkuat jati diri bangsa. Tubuh orang Indonesia yang memakai baju batik menjadi personifikasi negara, dan mendefinisikan sebagai non-Barat, sekaligus memberikan bukti bahwa meskipun kita mengadopsi begitu banyak atribut Barat, dalam semangat kita masih ”Indonesia”, yang murni dan tak tercemar.

dimuat di Solopos, 14 Oktober 2008

Senin, 13 Oktober 2008

Korban Laskar Pelangi

Oleh: Heri Priyatmoko

Judul Buku : Laskar Pelangi: The Phenomenon
Penulis : Asrosi S. Karni
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan I : September, 2008
Tebal : 262 Halaman


Daun kalender menunjuk angka 25 September 2008. Di bioskop terlihat berderet antrean panjang pengunjung di depan loket bak antrean BBM di SPBU menjelang kenaikan harga. Karcis laris manis bagai kacang goreng. Kursi bioskop terisi penuh. Pemutaran perdana Film Laskar Pelangi meledak. Ratusan orang tidak mau melewatkan film yang dibesut oleh Riri Reza dan Mira Lesmana tersebut. Apresiasi publik cukup menggembirakan karena disuguhkan tema kemiskinan, pendidikan, cinta-kasih, dan kesetiakawanan yang mengharu biru.
Novel pembangun semangat karya pegawai Telkom tersebut, telah membuat sejarah di dalam dunia pustaka di Indonesia. Di sini, Asrosi S. Karni, hadir dengan bukunya “Laskar Pelangi: The Phenomenon”. Yang ditulis wartawan di Majalah Gatra itu amat menarik, berisi kisah-kisah mereka yang terbuai novel Laskar Pelangi. Dedikasi Bu Mus (panggilan Ibu Muslimah) di novel Laskar Pelangi menjadi role mode bagi sejumlah perempuan. Contoh, Rika Adriana, seorang gadis kelahiran 1983 asal Pontianak ini. Kisah jenaka anak-anak Laskar Pelangi, daya tarik sosial pendidikan Bu Mus, dan eksotika Pulau Belitong, bikin Rika susah tidur. Pikirannya kian berkecambuk untuk bisa merambahi pulau yang menjadi setting dalam novel.
Sindrom akibat baca tetralogi Laskar Pelangi akhirnya mengantarkan Rika menjalani petualangan menjelajahi saban jengkal wilayah seperti yang ditulis Andrea. Bermodal jual komputer, Rika berangkat penuh semangat. Bermacam pengalaman penuh makna ia dapatkan. Mulai jadwal kapal yang molor sekian jam yang bikin kesal, mendorong angkot, ditangkap polisi karena naik tower, sampai menginap di rumah Bu Mus yang baginya bagaikan mimpi.
Gila
Cerita tak kalah seru yang diulas Asrosi adalah sepasang anak muda merajut cinta gara-gara novel Edensor. Mereka bernama Mega Hutagama dan Teguh Oktavianto. Pertemuan kali pertama di gerbong kereta api jurusan Surabaya-Malang. Mega yang seorang mahasiswi Universitas Brawijaya tersebut memberanikan diri berkenalan dengan Teguh ketika di dalam gerbong, karena melihat Teguh sedang asyik membaca Edensor. Mega memang sejak awal sudah terlanjur “gila” sama Laskar Pelangi, maka Mega tak bisa menahan diri untuk mengobrol lebih jauh tentang novel karangan anak Belitong itu. Selepas obrolon ini, komunikasi pun berlanjut dan Teguh menyatakan keseriusannya menjalin hubungan. Mega tak langsung mengangguk setuju, ada syarat yang mesti Teguh penuhi, yaitu di balik sampul belakang buku Edensor harus ada tanda tangan Andrea.
Demi cinta, tantangan dilakoni. Teguh terus memantau jadwal Andrea lewat internet. Tibalah waktu saat Andrea berjumpa fans di Surabaya, secepatnya kesempatan ini tak dibuang Teguh. Meski berdesak-desakan dan nafas ngos-ngosan, ia akhirnya mendapatkan tanda tangan seperti apa yang diharapkan calon kekasih. Di sini, inspirasi kunci yang ditulis Asrori ialah sastra mampu menstimulasi benih asmara dan kemauan kuat mencapai target.
Laskar Pelangi bertutur tentang petualangan sepuluh anak kampung Melayu Belitong yang hidup dalam kemelaratan. Mereka secara tidak disengaja dipersatukan manakala sama-sama memasuki bangku sekolah di kampungnya. Keragaman karakter Laskar Pelangi yang terjaga kekonsistenannya hingga akhir cerita membuat alur cerita dalam novel ini kian menantang. Dari semua tokoh Laskar Pelangi yang menjadi inspirasi Nico, yakni Lintang si super jenius. Nico adalah mahasiswa pecandu narkoba yang terkenal keras kepala sehingga membuat orangtuanya putus asa. Suatu hari, ia menangis sesenggukan dalam kamar. Setelah dintip orangtuanya, ternyata Nico sedang membaca Laskar Pelangi. Selepas membaca, Nico sadar, merasa malu pada Lintang yang terpaksa berhenti sekolah karena ayahnya meninggal dan kurang biaya. Berkat novel Laskar Pelangi, Winarti, orangtua Nico mengucapkan terima kasih kepada Andrea dalam progam Kick Andy, yang merasa anaknya terselamatkan dari bahaya narkoba atas jasa Andrea.
Memikat
Memang, keseluruhan kisah Laskar Pelangi tersaji dengan sangat memikat. Pembaca akan dibuat tercenung, menangis dan tertawa bersama kepolosan dan semangat juang para Laskar Pelangi. Logis, bila saban Andrea mengisi seminar, pasti ribuan pembaca tetralogi Laskar Pelangi antre berjam-jam untuk mendapatkan tanda tangan atau foto bersamanya. Tak hanya di Indonesia, di Malaysia saat Andrea menghadiri acara pameran buku antarbangsa, warga Singapura rela menyeberangi Malaysia untuk menyaksikan Andrea.
Sementara di dunia akademik, ada sekitar 12 skripsi dan tesis mengkaji novel best seller ini. Selain kehadiran novel mencengangkan, tapi kesuksesan penjualan novel juga mampu merontokkan mitos “kutukan tiga ribu”, yaitu buku sastra susah menembus penjualan tiga ribu eksemplar selama setahun. Novel itu membuat Andrea berkantong tebal, meraub royalti Rp 2 miliar lebih.
Dalam acara Kick Andy beberapa pekan lalu, Asrosi mengaku dalam membuat buku ini memerlukan waktu tiga bulan untuk riset lapangan dan wawancara mendalam Andrea. Isi buku lumayan padat dan enak dibaca. Sari-sari novel Laskar Pelangi yang tersampaikan di sini layak dibaca oleh mereka yang merasa termaginalkan, tidak punya spirit maju, atau diderap kemiskinan yang berjuang untuk lewat pendidikan.

Dimuat Suara Merdeka, 12 Oktober 2008

Satire Politik Indonesia

Oleh: Bandung Mawardi

Judul : Dari Kamp ke Kamp (Cerita Seorang Perempuan)
Penulis : Mia Bustam
Penerbit : Spasi dan VHR Book
Tahun : 2008
Tebal : xiv+273 Halaman

Pengakuan lugas dituturkan Mia Bustam ketika memberi jawaban mengenai PKI pada seorang psikolog dalam tahanan. Mia Bustami menuturkan: “Saya bukan anggota PKI, Nak Hardjono. Saya hanya anggota Lekra.” “Tapi Lekra toh berafiliasi dengan PKI?” Mia menjelaskan: “Saya di situ hanya agar bisa bergaul dengan seniman, dan menambah pengetahuan saya mengenai seni dan sastra.”
Jawaban itu tidak mengesankan muatan ideologis atau politis tapi pamrih untuk pengetahuan dan seni. Mia adalah sosok seniman. Keterlibatan dan peran dalam Lekra mengantarkan dirinya pada tuduhan-tuduhan subversif. Tuduhan itu melahirkan keputusan dalam bentuk penahanan tanpa pengadilan. Mia pun mendapat cap sebagai PKI. Cap itu selalu mendapat sangkalan karena Lekra dan PKI beda.
Mia mengisahkan fragmen-fragmen hidup sebagai istri pelukis Sudjojono, keterlibatan di Lekra, dan penahanan di pelbagai tempat dalam buku memoar Dari Kamp ke Kamp (Cerita Seorang Perempuan). Memoar itu cenderung sebagai kisah hidup dalam rentetan tragedi tapi dilakoni dengan percampuran keluguan dan resistensi. Mia memiliki strategi pengisahan yang humanis tanpa terbebani oleh tendensi-tendensi politis. Strategi teks itu membuat memoar ini menjadi terasa intim dan mengandung otentisitas ketimbang dengan buku-buku memoar lain yang cenderung politis dan emosional.
Buku ini memiliki alur runtut meski dengan patahan-patahan kecil karena kelemahan (keraguan) pengarang pada ingatan atas peristiwa-peristiwa tertentu. Kisah penting tejadi ketika Mia terlibat di SIM (Seniman Indonesia Muda) dalam kerja kreatif dan pameran lukisan. Kesibukan itu mengantarkan Mia pada interaksi dengan pelbagai orang dan institusi. Interaksi itu menentukan keterlibatan dalam Lekra. Pengesahan Mia sebagai anggota Lekra terjadi pada akhir 1959 dalam Kongres Lekra I di Solo. Peran semula adalah sebagai peninjau atas sesuai dengan isi undangan dari Nyoto. Peran itu praktis berubah dengan pengiriman surat dari Joebar Ajoeb yang memberitahukan bahwa pimpinan Lekra mencatat Mia sebagai anggota Lekra.
Buku memoar Mia mengesankan kisah-kisah dalam tipologi kelumrahan dan kenaifan orang-orang biasa. Biografi Mia menyisakan sebuah mimpi yang kandas. Mia ingin memiliki padepokan dengan konsep untuk belajar seni dan hidup dalam kolektivitas dan kemandirian. Mimpi itu mengacu pada sebuah buku mengenai usaha Makarenko di Uni Sovyet. Mimpi Mia kandas karena kurang dukungan dari teman-teman. Mimpi itu menunjukkan pandangan humanis dari Mia untuk sadar atas laku keratif dan realitas hidup.
Kisah mengesankan terjadi pada tahuh 1964 dalam Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner di Jakarta. Mia merasakan ada interaksi konstruktif untuk menambah pengetahuan tentang seni dan sastra. Mia ketika itu juga mengunjungi Gedung CC-PKI yang dalam proses perampungan. Mia usul pada Nyoto agar di dinding gedung dipasangi potret-potret tokoh-tokoh: Semaun, Alimin, Marx, Engels, Lenin, dan lain-lain. Usulan itu disepakati dan mulailah Mia melakoni laku kreatif melukis tokoh-tokoh. Nasib apes dialami Mia karena lukisan-lukisan yang sudah jadi tak mungkin lagi dipasang karena Gedung CC-PKI dibakar massa dalam Peristiwa 1965. Kisah itu memang mengandung ambivalensi antara urusan politik dan seni. Mia cenderung menilai itu sebagai laku seni karena sadar atas peran dan kompetensi.
Peristiwa 1965 membuat Mia terseret dalam operasi pembersihan oknum-oknum PKI. Mia masuk penjara dengan tuduhan-tuduhan: (1) dianggap mengikuti latihan di Lubang Buaya; (2) melindungi dan memberi tempat persembunyian pada oknum-oknum PKI; dan (3) mengadakan rapat-rapat gelap dengan oknum-oknum PKI. Mia menyangkal tuduhan-tuduhan itu dengan argumentasi-argumentasi lugas. Tuduhan-tuduhan itu tidak mengandung kebenaran tapi Mia tetap harus masuk tahanan.
Tuduhan PKI untuk menjebloskan Mia ke penjara adalah rekayasa politik. Hal itu diakui Mia ketika melakukan dialog dengan Romo de Blot. Romo menanyakan: “Tidakkah engkau menyesal menjadi anggota PKI?” Mia menjawab dengan eksplisit: “Saya tidak pernah menjadi anggota PKI, Romo. Saya pun tidak menyesal karena tidak pernah melakukan hal-hal yang patut disesali.” Romo melanjutkan: “Jadi kau tidak merasa bersalah?” Mia dengan lugas menjawab: “Tidak Romo, karena saya memang tidak bersalah.” Jawaban-jawaban Mia dalam dialog itu merupakan penegasan bahwa menjadi anggota Lekra tidak harus praktis sebagai PKI. Mia mengurusi seni bukan politik. Hal-hal itu mesti jadi kesadaran kritis terhadap stigmatisasi Lekra. Mia ingin melawan distorsi Peristiwa 1965.
Pengalaman sebagai tahanan politik dari 23 November 1965 sampai 27 Juli 1978 di pelbagai tempat (Polres Sleman, Benteng Vredeburg, Penjara Wirogunan, Penjara Perempuan Bulu, Instalasi Rehabilitasi Plantungan) justru menjadi pengalaman pelangi dengan kisah orang-orang biasa dari teman-teman Mia. Kisah-kisah itu mengandung elan vital dalam kondisi represi dan teror. Mia dalam memoar itu tak sekadar mengisahkan diri sebagai pusat cerita tapi juga memberi jatah besar untuk kisah-kisah para teman dan orang lain. Buku memoar ini pun menjadi kisah humanis dengan percampuran tragedi dan komedi.
Mia pada suatu saat mendapatkan pertanyaan mengenai kontribusi apa yang bisa dilakukan pada bangsa dan negara ketika sudah bebas. Pertanyaan itu adalah buntut dari penataran P-4 dan indoktrinasi dengan embel-embel Santiaji Pancasila. Mia menjawab: Aku ingin menerjemahkan karya-karya sastra Barat yang bermutu ke dalam bahasa Indonesia agar bisa dinikmati oleh mereka yang tidak paham bahasa asing. Keinginan Mia itu mesti berhadapan dengan risiko dalam bentuk pelarangan atau nama penerjemah disamarkan oleh penerbit. Peristiwa 1965 telah membuat rezim Orde Baru mengalami ketakutan akut. Buku-buku pun bisa jadi musuh atau momok subversif yang harus lekas dimusnahkan.
Mia pada 27 Juli 1978 mendapatkan kebebasan. Mia merayakan kebebasan dengan satire: “BEBAS! Dengan menyandang bahaya laten pula.” Satire itu muncul karena ada embel-embel eks-tapol PKI atau pencantuman tanda ET pada KTP. Kebebasan itu adalah satire. Buku memoar Mia adalah representasi satire politik Indonesia. Begitu.

Dimuat di Seputar Indonesia (12 Oktober 2oo8)

Prosa Rumah: Representasi dan Referensi

Oleh: Bandung Mawardi

Rabindranath Tagore dalam novel The Home and The World mengisahkan politik, cinta, nasionalisme, ideologi kelas, dan kolonialisme. Tagore mengisahkan tema-tema itu dari “rumah” dalam pandangan yang liris dan menegangkan. Rumah menjadi metafor untuk manusia dan negeri India yang merumuskan diri pada awal abad XX dalam kuasa kolonialisme Inggris dan modernitas.
Rumah berbeda dengan dunia (luar rumah). Rumah identik dengan kurungan yang tidak memberi kebebasan. Dunia identik dengan kebebasan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicari dan ditemukan. Tokoh Bimala berada dalam tegangan untuk lari dari rumah dan hadir di dunia atau menghidupi rumah dengan kesetiaan dan pembebasan diri yang menganut konvensi. Bimala sebagai perempuan sadar tradisi dan sadar pandangan politik-intelektual yang membebaskan dengan risiko besar. Rumah dan dunia adalah tragedi.
Rumah dan dunia dalam novel Tagore adalah kisah kekacauan dan ketertiban, politik radikal dan politik moderat, modernitas dan tradisionalis, kesetiaan dan pengkhianatan, kejujuran dan kebohongan, cinta dan kebencian, kelemahan dan kekuatan. Novel The Home and The World adalah representasi kisah kolonialisme dan modernitas.
Tagore melahirkan kisah rumah sebagai seorang India tulen. Kisah rumah Tagore kentara berbeda dengan kisah V.S. Naipul yang lahir di Trinidad dari keluarga imigran India. Rumah dalam pemahaman Naipul adalah sesuatu yang dipikirkan dalam pemikiran seorang bocah. Rumah dipikirkan sebagai sesuatu yang naif, fantasi, ketakutan, kebebasan, siksa, dan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas. Rumah menjadi ruang untuk merumuskan identitas diri dan kultural.
Rumah adalah perkara gairah dan pertanyaan. Naipul mesti membedakan rumah yang hidup atau yang mati dari sekian rumah yang pernah dihuni di sekian negeri. Naipul lalu mengisahkan rumah dalam teks-teks yang merepresentasikan identitas, sejarah, politik, geografi, dan peradaban. Teks penting dari Naipul A House for Mr Biswas adalah kisah besar tentang rumah. Naipul mengisahkan rumah sebagai metafor untuk manusia yang merumuskan identitas.
Rumah adalah metafor yang kompleks untuk kisah manusia dan peradaban. Tagore dan Naipul sanggup mengisahkan rumah untuk pembaca di pelbagai negeri dalam realitas kultural yang berbeda. Bagaimana pengarang Indonesia mengisahkan rumah?
Asrul Sani lumayan intens dan representatif mengisahkan rumah dalam buku kumpulan cerpen Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (1971). Cerpen “Beri Aku Rumah” dengan satir mengisahkan seorang tokoh yang mencari rumah. Rumah adalah hidup dan ruang untuk biografi manusia yang lelah dalam perjalanan intelektual dan penggelandangan hidup. Tokoh dalam cerpen Asrul Sani melakukan migrasi epistemologis dan geografis tanpa ada kepastian bahwa migrasi berhenti karena ada rumah yang ditemukan. Tokoh itu merasa rumah adalah hak manusia. Pertanyaan yang muncul adalah hak itu belum tentu ada pemenuhan dalam bentuk pemberian atau pencarian.
Metafor rumah yang liris dikisahkan Asrul Sani dalam cerpen “Perumahan bagi Fadjria Novari”. Rumah adalah kisah manusia dan hidup yang mesti dijalani dengan nostalgia dan utopia. Rumah adalah kepergian dan kepulangan; awal dan akhir. Inilah alinea puitis dari Asrul Sani: “Orang tidak dapat terus-menerus hidup di bawah kolong langit. Kau harus cari tempat pulang dan tempat di mana pemberian dapat diberikan dan segala dapat dimulai.”
Trisno Sumardjo mengisahkan rumah dalam novel kecil berjudul Rumah Raya (1973). Rumah adalah kisah keluarga, harga diri, status sosial, pertikaian, dosa, dendam, kematian, benci, dan modernitas. Rumah Rade Mas Sumonegoro didirikan dengan kelicikan dan keserakahan untuk merebut dan menguasai tanah yang bukan hak. Rumah besar dengan arsitektur dan peniruan perilaku hidup Eropa. Rumah didirikan untuk menghadirkan kuasa, status sosial (priyayi), dan kemodernan. Rumah itu jadi cerita orang-orang kota dengan segala yang mencengangkan dan menegangkan. Konflik terus lahir dalam rumah dan berhembus ke luar untuk menjadi gosip dan berita umum. Rumah itu perlahan menjadi kisah sedih dan tragis.
Rumah adalah metafora untuk biografi keluarga yang pecah dan kisah modernitas yang tidak terealisasikan dengan sempurna. Rumah tak mungkin jadi acuan tunggal dari harga diri dan modernitas. Kepercayaan atas peran rumah niscaya terbatasi oleh etika, kondisi zaman, dan progresivitas kultural. Rumah adalah kisah kehidupan dan kematian manusia dengan pelbagai pamrih, impian, dan tragedi.
Kisah rumah dituliskan Y.B. Mangunwijaya dalam cerpen “Rumah Bambu” yang ditulis pada tahun 1980. Cerpen itu identik dengan laku hidup Mangunwijaya dalam melibatkan diri dengan kehidupan rakyat kecil. Tokoh Parji adalah seroang miskin yang hidup dengan Pinuk (isteri) dan seorang bayi dalam rumah bambu. Rumah itu didirikan dan dihidupi dengan keterbatasan uang dan bantuan orang lain. Parji menginginkan rumah itu jadi ruang hidup yang harmonis. Parji menyebut rumah itu sebagai “sarang yang biar sederhana, akan tetapi bagus dan terhormat”.
Rumah bambu itu tak luput dari kisah pertikaian. Pinuk ingin rumah yang tidak sekadar itu dan Parji tak mungkin bisa lekas menuruti. Pinuk memiliki argumen bahwa rumah itu tak baik untuk pertumbuhan bayi karena lantai yang bukan ubin. Argumen itu dibantah Parji tapi tidak bisa berterima. Parji dan Pinuk terlanjur membuat pamrih dan pemaknaan berbeda untuk hidup bersama dalam rumah bambu.
Rumah dalam cerpen Mangunwijaya adalah kisah kaum miskin yang mesti berhadapan dengan sesuatu yang susah diadakan. Kebutuhan dan keinginan menjadi suatu keputusan yang membutuhkan kompromi dan pilihan sadar. Rumah adalah penerimaan menjalani lakon hidup dengan keterbatasan-keterbatasan dan mimpi yang bisa diciptakan untuk penebus realitas atau mungkin menjadi perubahan mengejutkan.
Kisah-kisah rumah dalam teks sastra memberi keterbukaan untuk interpretasi dalam pengertian sejarah, antropologi, arsitektur, sosiologi, politik, dan studi kebudayaan. Rumah menjadi referensi yang representatif untuk kisah manusia dan peradaban. Begitu.

Dimuat di Lampung Post (12 Oktober 2oo8)

Buku: Berkah dan Kutukan

Oleh: Bandung Mawardi

Buku membawa nasib dan risiko. Penerbitan buku memang memiliki sekian kemungkinan untuk mati, sekarat, atau hidup dalam usia lama. Buku dalam sejarah peradaban manusia adalah tanda untuk pencapaian puncak atau jurang kejatuhan manusia. Buku sanggup menjadi pusat untuk perubahan dengan dalil kemajuan atau kemunduran.
Jejak-jejak historis buku dalam peradaban manusia itu dikisahkan dengan apik oleh Robert Downs dalam buku Books That Changed The World (1956). Buku itu memuat pembicaraan mengenai daftar buku yang menjadi referensi penentu arah perubahan peradaban. Robert Downs dengan argumetasi kritis dan mumpuni menjatuhkan pilihan atas buku-buku yang merubah dunia. Buku-buku itu antara lain Il Principe (Niccolo Machiavelli), Common Sense (Thomas Paine), Wealth of Nations (Adam Smith), Essay on the Principle of Population (Thomas Malthus), Das Kapital (Karl Marx), Mein Kamp (Adolf Hitler), Principia Mathematica (Sir Isaac Newton), Die Traumdeutung (Sigmund Freud), Origin of Species (Charles Darwin), dan Relativity: The Special and General Theories (Albert Einstein). Deretan buku-buku itu tidak ada yang termasuk dalam ranah kesusastraan. Robert Doawns sadar atas pengaruh buku-buku sastra tapi susah untuk menemukan parameter atas efek dan implikasi sastra atas peradaban manusia.
Perubahan mengejutkan atas situasi zaman mutakhir justru berasal dari buku sastra mendapatkan pembuktian melalui penerbitan Harry Potter (J.K. Rowling) dan Da Vinci Code (Dan Brown). Buku-buku itu menjadi sihir dunia karena menebar pengaruh di penjuru dunia. Sihir itu semakin mumpuni dengan pembuatan film. Penerbitan Harry Potter dan Da Vinci Code menjadi momentum pengaruh imajinasi dalam membaca dan menilai lakon hidup. Buku-buku itu patut masuk dalam daftar panjang buku-buku yang merubah dunia.
* * *
Nasib fantastis sebuah buku pun terjadi di Indonesia dengan penerbitan novel Laskar Pelangi (2005) karangan Andrea Hirata. Buku dengan genre novel-memoar itu sanggup menjadi sihir mumpuni untuk publik pembaca. Buku itu laris di pasaran dengan sekian argumentasi dan sensasi. Laskar Pelangi pun menjadi bukti ada keajaiban untuk industri buku dan gairah publik literasi. Buku itu kerap mendapatkan apresiasi positif untuk efek atau pengaruh terhadap pembaca dalam ranah pemikiran pendidikan, sosial, agama, ekonomi, dan kebudayaan. Buku dalam konteks Indonesia patut jadi referensi atas kesadaran sosial dan perubahan situasi zaman.
Novel Laskar Pelangi seperti arus banjir yang susah terbendung untuk menjadi bacaan dari kehausan publik atas sesuatu yang fantastis. Nasib buku karangan Andrea Hirata itu memberi optimisme bahwa ada sisi lain dari stereotip masyarakat Indonesia malas membaca buku. Laskar Pelangi dengan mengejutkan menjadi berkah besar. Berkah itu tampak mulai dari materi sampai nilai dalam mekanisme konvergensi dan divergensi.
Kisah fantastis dari Laskar Pelangi pun mulai menemukan klaim penguatan melalui penerbitan buku Laskar Pelangi: The Phenomenon (2008) karangan Asrori R Karni. Buku itu mendedahkan pengaruh-pengaruh inspiratif dari Laskar Pelangi terhadap publik pembaca. Buku sebagai inspirasi memang suatu kelumrahan dalam tataran normatif. Studi atas pengaruh Laskar Pelangi oleh Asrori R. Karni menjadi bukti bahwa ada fenomena psikologis dan sosiologis atas kehadiran sebuah buku.
Limpahan berkah Laskar Pelangi semakin fantastis dengan pembuatan film oleh Riri Reza. Laskar Pelangi pun menjadi pusat perhatian dari publik pembaca dan penonton. Kehadiran film itu semakin mengesahkan pengaruh Laskar Pelangi pada publik di Indonesia. Fenomena-fenomena Laskar Pelangi belum sampai titik akhir.
* * *
Buku fantastis dan laris justru melahirkan kutukan dalam bentuk pesimisme. Andrea Hirata mengakui bahwa berkah Laskar Pelangi itu cenderung ditentukan oleh strategi publikasi media dan sensasi. Kondisi itu membuat Andrea Hirata merasa resah dan gelisah. Nasib Laskar Pelangi melahirkan pilihan pada Andrea Hirata untuk berhenti menulis dengan sadar risiko. Argumentasi untuk keputusan berhenti menulis adalah dampak atau imbas dari kutukan pembaca. Andrea Hirata mengakui bahwa pembaca Laskar Pelangi mayoritas bukan pembaca sastra tapi pembaca dadakan karena sensasi.
Pengakuan itu memberi kesadaran bahwa fenomena besar atas sebuah buku di Indonesia masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan kritis. Berapa jumlah pembaca buku di Indonesia? Dalil apa untuk menentukan kegandrungan pembaca atas sebuah buku? Pengaruh-pengaruh apa yang mungkin terasakan dari buku? Apakah nasib laris dan fantastis sebuah buku bisa menjadi tanda untuk optimisme dunia pustaka dan pembentukan masyarakat literasi di Indonesia?
Andrea Hirata sadar keberadaan buku itu penting. Fantastis dan laris adalah risiko. Pengaruh buku sebagai inspirasi adalah berkah. Fenomena-fenomena itu membuat Andrea Hirata mesti membuat testimoni bahwa kehadiran buku mengandung ambiguitas berkah dan kutukan. Buku itu risiko. Begitu.

Dimuat Di Suara Merdeka (12 Oktober 2oo8)

Kamis, 09 Oktober 2008

Bahasa, Perempuan, Resistensi

Oleh: Bandung Mawardi


Bahasa mengandung sekian tanda tanya dan tanda seru dalam wacana gender. Definisi bahasa sebagai sistem simbol arbitrer untuk komunikasi rentan dengan bias dan diskriminasi. Bahasa dalam wacana gender memang melahirkan polemik panjang terkait dengan basis pengetahuan dan praktik komunikasi sosial. Bahasa adalah medan pertarungan ideologi legitimasi dalam wacana gender.
Kehadiran bahasa merupakan manifestasi ideologi legitimasi dalam pamrih sosial dan politis. Bahasa memberi pembebasan dan pengekangan makna untuk politik perbedaan. Bahasa dengan sistem dan struktur tertentu susah bersih dari intervensi, hegemoni, dominasi, dan manipulasi pemaknaan. Kondisi rentan dalam bahasa menjadi acuan perdebatan hakikat dan implikasi bahasa dengan tendensi gender.
Shan Wareing (1999) menilai bahwa bahasa dalam perspektif gender kerap mengacu pada praktik perbedaan karena stereotipe historis dan empiris. Pemahaman atas bahasa dan gender mungkin untuk didedahkan dengan kajian teori dominasi dan teori perbedaan. Teori dominasi memiliki dalil bahwa perbedaan wacana antara lelaki dan perempuan mengacu pada perbedaan kekuasaan. Perbedaan itu membuat dominasi lelaki dalam praktik komunikasi menemukan klaim pembenaran atau kelumrahan. Perempuan dalam penjelasan teori dominasi kerap berada dalam posisi minoritas dan lemah dalam otoritas pemaknaan bahasa. Teori perbedaan hadir dengan dalil bahwa perbedaan bahasa antara lelaki dan perempuan mengacu pada pemisahan antara lelaki dan perempuan pada tahap-tahap penting kehidupan mereka. Perbedaan kerap muncul karena lelaki identik dengan intensitas sosialisasi dan agresivitas. Perempuan dalam teori perbedaan cenderung berada dalam posisi inferior atas nama etika, kelamin, atau ideologi. Bahasa itu rentan dan tidak netral dari bias gender.
Praktik komunikasi antara lelaki dan perempuan dalam pandangan kritis memang selalu mengandung ambiguitas resepsi dan pemaknaan. Bahasa dalam klaim otoritas lelaki cenderung menjadi parameter atau kodrat sosial. Bahasa dalam otoritas perempuan pun harus menempati posisi sebagai instrumen atau periferal karena vonis tak utuh atau tak sempurna. Kondisi itu memungkinkan perempuan untuk merebut otoritas sejajar atau melakukan resistensi dalam ranah ideologi sampai pada mekanisme produksi dan resepsi bahasa.

* * *

Jacques Lacan dalam studi kritis tentang bahasa menemukan bahwa hakikat dan fungsi bahasa menetukan eksistensi, subjek, dan identitas. Lacan percaya subjek manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa tapi subjek tidak bisa direduksi menjadi bahasa. Otoritas dan kapasitas dalam bahasa menjadi alasan perbedaan subjek dan identitas. Teori Lacan itu mendapatkan tanggapan kritis dari kaum feminis untuk melakukan resistensi atas dominasi lelaki dalam bahasa. Lacan dengan jeli menunjukkan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan bahasa. Kaum feminis memahami penjelasan Lacan itu sebagai argumentasi kritis untuk resistensi atas nama emansipasi dan kesetaraan.
Praktik resistensi untuk emansipasi cenderung menemukan bentuk dan ruh dalam tulisan. Kaum feminis dengan tulisan memiliki kemungkinan untuk merumuskan diri dan menentukan peran untuk menafsirkan dunia dalam perspektif perempuan. Tulisan dalam kadar tertentu cenderung mengandung progresivitas politik bahasa ketimbang dengan praktik bicara di ruang publik. Tulisan dalam ideologi legitimasi kaum feminis menunjukkan struktur dan sistem berbeda dalam pamrih-pamrih emansipasi. Tulisan sebagai manifestasi otoritas bahasa menjadi pertaruhan eksistensi, subjek, dan identitas perempuan.
Helene Cixous percaya tulisan adalah manifestasi otoritas perempuan. Tulisan menjadi bukti politis resistensi perempuan untuk merumuskan kembali aspek-aspek kultutral dan menentukan peran dalam ruang kultural. Tulisan adalah resistensi perempuan dengan kekuatan ampuh untuk merubuhkan hierarki dan patriarki. Tulisan merepresentasikan suara perempuan untuk menamai dan memaknai realitas.

* * *

David Garddol dan Joan Swann dalam Gender Voice (1989) menengarai ada tiga macam hubungan stereotipe dalam wacana bahasa dan gender: (1) bahasa mencerminkan pembagian sosial dan ketidaksetaraan; (2) perbedaan atau ketidaksetaraan tercipta karena perilaku linguistik yang seksis; dan (3) bahasa dan gender berada dalam ranah perseteruan untuk saling memberi pengaruh. Tiga macam hubungan itu mengandung konklusi bahwa perempuan mengalami inferiorisasi dan penindasan dalam bahasa. Gugatan atau resistensi kaum perempuan atas struktur dan stereotipe bahasa mutlak dilakukan untuk tidak menjadi kaum diam, kaum kalah, atau kaum tunduk.
Bahasa adalah kuasa untuk penentuan eksistensi, subjek, dan identitas. Permainan kuasa mesti menjadi pertemuan perbedaan untuk penciptaan dan perebutan makna dalam bahasa. Bahasa adalah otoritas untuk kaum perempuan dalam pamrih tunduk atau bebas dalam politik perbedaan dan gugatan atas patriarki dan falosentrisme. Bahasa sebagai otoritas tentu membutuhkan mekanisme dan sistem untuk membuat klasifikasi atas realitas-realitas.
Luce Irigaray mengingatkan bahwa kaum perempuan membutuhkan bahasa mereka sendiri. Bahasa untuk kaum perempuan adalah bahasa untuk manifestasi merumuskan hakikat dan peran. Perempuan membutuhkan bahasa untuk kebebasan menjadi manusia dalam kesetaraan. Kebutuhan itu bukan impian atau ilusi. Irigaray menjelaskan ikhtiar memiliki bahasa sendiri untuk kaum perempuan mesti direalisasikan dengan transformasi kultural secara substantif dan radikal. Praktik politis atas ikhtiar itu adalah dengan bicara dan menulis sebagai perempuan. Praktik bahasa itu merupakan bukti negasi atau resistensi terhadap dominasi lelaki dalam klaim eksklusif kaum lelaki untuk penamaan dan pemaknaan realitas.
Bahasa dan gender memang perkara pelik dalam keramaian wacana gender sebagai realisasi pemikiran-pemikiran kritis. Pemahaman atas bahasa dan gender membutuhkan intensitas dan ekstensitas dalam membaca dan menilai acuan-acuan patriarki. Bahasa dalam kultur patriaki kerap menemukan legitimasi dan kodifikasi dalam sistem dan institusi pendidikan, politik, kesusastraan, atau media massa. Kondisi itu menjadi tanda tanya dan tanda seru untuk kaum perempuan ketika ingin melakukan resistensi dalam pamrih emansipasi dan kesetaraan gender dengan bahasa. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (8 Oktober 2oo8)

Proyek Tahunan

Oleh: Heri Priyatmoko

Ponsel berdering. Ada SMS masuk. Tarno seketika menghentikan obrolannya dengan Pakde Katino. Bergegaslah merogoh kantong celana. Lalu SMS dibaca. ”SMS dari sapa, Tar?,” tanya Pakde Katino penasaran melihat raut wajah Tarno tiba-tiba sumringah.
”Ini, adik saya di Jakarta memberi kabar, dia Lebaran akan mudik,” jawab Tarno bungah.
“Wah, syukur bakda-bakda pada bisa ngumpul,” Timpal Yu Mukinah yang sedang membuatkan wedang teh tubruk.
Di awal puasa, greget mudik memang sudah tampak. Ini terbaca dari larisnya pesanan tiket kereta api dan naiknya omset penjualan tiket bus. Budaya massal saban menjelang Idul Fitri tersebut bak magnet yang mengikat manusia dengan akarnya. Ada hubungan batin antara seseorang yang merantau dengan keluarga dan tanah kelahiran.
Dinginnya angin malam sampai menusuk kulit ari tak menghalangi mereka untuk lanjutkan perbincangan. ”Saban mudik, tak jarang warga dari kota mengeluh, Pakde...” Tarno lirih.
”Apa yang mereka keluhkan?,” Pakde Katino datar.
”Mereka selalu jengkel dengan pemerintah soal perbaikan infrastruktur jalan di jalur mudik. Bagaimana tidak, mendekati puncaknya, banyak kerjaan yang belum rampung dan kondisi jalan kurang mendukung. Semua itu akan menghambat para pengendara motor di hari H. Anehnya persoalan ini selalu berulang dan klasik. Seolah perbaikan jalan adalah proyek tahunan,” Tarno membeberkan.
”Kemarin saya lihat jalan utama dari Solo, Karanganyar, hingga Sragen, beberapa ruas jalan terlihat baru saja diperbaiki. Namun, yang dilakukan sepotong-potong sekitar 2-5 km. Kondisi jalan yang bergelombang dan bertambalan itu menyebabkan arus kendaraan terhambat,” lanjut Tarno yang sehari-harinya bekerja menjadi tukang loper koran Suara Merdeka.
”Betul, suamiku kemarin juga bilang, penyempitan jalan dari empat lajur di jalan Raya Solo-Sragen km 10, Kebakkeramat, menjadi salah satu titik rawan kemacetan,” Yu Mukinah nyambi goreng bakwan, nambahi.
Pakde Katino tak bisa menyembunyikan rasa khawatir. Karena kedua anaknya bagian dari jutaan pemudik. Dalam pikiran Pakde Katino, ratusan bahkan jutaan orang bakal melintasi jalanan itu selama mudik tahun ini. Jalan raya masih menjadi pilihan utama pemudik baik yang menggunakan kendaraan umum atau pribadi.
Wedang teh tubruk belum begitu dingin, Tarno segera meminumnya.
”Keamanan dan keselamatan warga yang hendak mudik setidaknya harus menjadi fokus utama pemerintah. Beruntung sekarang tidak lagi musim hujan sehingga potensi ancaman agak sedikit berkurang. Tapi, itu bukan berarti kita tidak perlu waspada. Persiapan dan koordinasi instansi pemerintah, seperti Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, dan Kepolisian, segera dilakukan mulai detik ini,” ucap Tarno seraya meletakkan kembali gelas di meja.
Pakde Katino yang mengunyah timus mengangguk setuju dan berkomentar, ”Ritual mudik itu penting. Pemudik bahagia bertemu sanak keluarga. Ini yang tidak ternilai harganya. Bisa mulih ndeso di masa Lebaran itu anugerah. Hanya Lebaran yang bisa menjadi momentum luar biasa pulangnya manusia ke desa. Dengan mudik pula, ada pemerataan ekonomi di daerah. Duit triliunan rupiah uang mengalir ke desa-desa. Tanpa momen Lebaran, perputaran uang sebanyak itu sesuatu yang mustahil, Yu”.
Pemerintah dituntut jeli memeriksa dan mengawasi kelaikan armada transportasi, jalan, dan kondisi pengemudi, demi tercipta kenyamanan dan keamanan pemudik sampai ke tempat tujuan. Yang pasti, tinggi rendahnya angka korban jiwa akibat kecelakaan lalu lintas selama mudik adalah indikator keberhasilan pemerintah.
”Iya, kita yang di rumah berdoa saja. Agar anak-putu kita nanti pulang dengan selamat,” sahut Yu Mukinah menutup obrolan.

Dimuat di Suara Merdeka, 27 September 2008

Jangan Melupakan Eksistensi Lokananta

Oleh Heri Priyatmoko

DAUN kalender menunjuk angka 1 September 2007. Publik Solo tergetar. Kotanya menjadi tuan rumah gelaran perdana Solo International Ethnic Music Festival and Conference (SIEM FC) 2007. Sukses besar direngguk. Peserta dari delapan negara puas.

Warga juga gembira ria melihat ruang yang ’’hilang’’, Benteng Vastenburg, yang selama satu dekade lebih dikurung pagar seng. Tak pelak, penonton memberi acungan jempol kepada Wali Kota Jokowi dan segenap panitia. Atas prestasi yang diraih itu, Kota Bengawan tidak ragu memberanikan diri menjadi penyelenggara SIEM FC dan World Congress of the Organization of Heritages Cities (WCOHC), tanggal 25-28 Oktober mendatang.

Untuk menyambutnya, wajah kota disolek makin indah. Ruang publik dibenahi, penataan pedagang kaki lima digarap, dan gerakan revitalisasi budaya Jawa diprioritaskan. Maklum, di ajang tersebut Pemkot Solo bersemangat menampilkan rupa cantik dan potensi yang dimiliki. Ada wisata kuliner Galabo, wisata batik Kauman-Laweyan, wisata keraton, dan wisata budaya.

Meski semua getol dipromosikan, tapi ada sebuah tempat yang belum gencar ditampilkan ke permukaan. Apakah itu, dan apa keistimewaannya? Dialah Lokananta. Setiap memperbincangkan sejarah perjalanan musik di Indonesia, kita tak boleh tidak mesti mengaitkan dua nama tempat: Lokananta di Solo dan Irama di Menteng (Jakarta). Keduanya punya andil besar dalam mengorbitkan lagu, sekaligus para penyanyinya tempo dulu.

Lokananta milik pemerintah dan banyak melahirkan lagu-lagu daerah. Sementara Irama, milik Mas Yos, banyak melahirkan lagu-lagu hiburan (sekarang lagu pop). Nama-nama seperti Rachmat Kartolo, Nien Lesmana, sampai Patty Sisters pernah rekaman di Irama, yang awalnya hanya studio kecil di sebuah garasi di Menteng. Peristiwa rekaman itu terjadi di ujung tahun 1950-an hingga memasuki 1960-an.

Surga Pecinta Musik
Sejatinya, Lokananta adalah nama gamelan para dewa di kahyangan. Nama itu diadopsi untuk perusahaan rekaman piringan hitam pertama milik negara yang berdiri pada 29 Oktober 1956. Sejak awal, Lokananta ditugasi merekam dan memproduksi (menggandakan) piringan hitam untuk bahan siaran bagi 27 studio RRI di seluruh Indonesia.

Piringan hitam itu berisi gamelan Jawa, Bali, Sunda, dan musik daerah lainnya, lengkap dengan pesindennya. Rekaman gending karawitan gubahan dalang kesohor Ki Narto Sabdo, plus karawitan Jawa gaya Surakarta dan Yogya, terkoleksi di sana.

Tersimpan juga piringan hitam berisi lagu-lagu dari penyanyi legendaris seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun. Ah, Lokananta benar-benar ’’surga’’ bagi mereka yang doyan musik daerah atau tembang lawas. Ada pula rekaman suara pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1945 dan acara KTT Nonblok I di Bandung (1955).

Bagi kaum sepuh, dijamin betah berlama-lama berada di gedung yang terletak Jalan Ahmad Yani itu. Mereka senang bak melahap kolak saat berbuka puasa. Pasalnya, Lokananta ibarat gudang dokumen sejarah yang terdengar. Sekitar 38.000 keping piringan hitam tertumpuk di sana. Jadi, Lokananta masuk dalam kategori tempat wisata sejarah musik tradisional.

Sayangnya, kenyataannya sungguh memprihatinkan. Nama Lokananta tenggelam di tengah masyarakat. Namun jangan pesimistis, sebab tempat-tempat seperti ini justru digandrungi orang asing. Dengar saja cerita turis yang berkunjung ke Preservation Hall, New Orleans, AS. Tempat tersebut dianggap surga musik jazz. Walau gedung tidak menarik, nampak tua, berdinding kayu, dengan cat sudah mengelupas, banyak wisatawan antre masuk.

Sebab Preservation Hall merupakan tempat pertama kali, sekitar seabad lalu, kaum budak kulit hitam memainkan dan menikmati musik yang di kemudian hari dikenal sebagai jazz. Dari situlah nama pemusik seperti Louis Armstrong muncul menjadi legenda. Informasi dan makna sejarah, dua aspek penting yang sering diburu para bule.

Begitulah harapan kita pada Lokananta. Apalagi nama maestro keroncong Gesang dan Waldjinah ’’Si Walang Kekek’’ yang mengguncang jagad seni tarik suara sampai ke belahan dunia juga dibesarkan di situ. Lagi pula, studio rekaman ini makin menawan setelah renovasi. Ruang studio dengan segala perlengkapan rekaman berkualitas.

Dinding ruang rekaman dibentuk berlekuk dan silinder, dilengkapi pengatur gelombang suara. Tidak hanya dilapisi kayu multiplek, dinding ruang berukuran 240 m2 dan tinggi tujuh meter juga dilapisi glass wool sehingga mampu meredam suara.

Dalam menyambut berhelatan akbar SIEM FC dan WCOHC, Pemkot Solo jangan melupakan Lokananta. Sebaiknya, Pemkot menggandeng media massa.

Sebab mereka salah satu media promosi yang terbaik. Media massa, cetak atau elektronik, tidak bisa dimungkiri sebagai saluran komunikasi paling ampuh mempromosikan Lokananta untuk kepentingan edukatif, inspiratif, dan rekreatif. (32)

(Dimuat di Suara Merdeka, 4 Oktober 2008)

Sabtu, 04 Oktober 2008

Utopia Solo Menjadi Kota Cyber

Oleh: Haris Firdaus

Setelah cukup lama mencanangkan diri sebagai kota budaya, belum lama ini Solo menegaskan sebuah utopia baru: menjadi kota cyber (cyber city). Pencanangan mimpi besar itu dilaksanakan pada 30 Juli 2008 lalu yang ditandai dengan aksi browsing internet bersama di kawasan city walk sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Acara yang diikuti oleh 400-an peserta itu sekaligus merupakan aksi pemecahan Rekor Museum Indonesia kategori browsing internet bersama-sama. Tanggal 30 Juli kemudian dicanangkan sebagai “Solo Cyberholic Day”.

Dilihat dari segi waktu, konsepsi cyber city bukanlah sesuatu yang baru di dunia. Konsep cyber city telah banyak diterapkan kota-kota besar di dunia. Banyak pemerintahan kota di dunia yang telah menggunakan secara maksimal teknologi informasi untuk mengelola wilayahnya. Di kota-kota yang telah mengklaim diri sebagai “cyber city”, akses internet tersebar luas dan mudah dijangkau oleh para warganya.

Di Indonesia, ada sejumlah kota besar yang lebih dulu bermimpi menjadi kota cyber sebelum Solo. Makasar adalah salah satunya. Pada tahun 2007 kemarin, Pemerintah Kota Makasar telah menguji coba penggunaan perangkat pendukung internet nirkabel atau hot spot di Pantai Losari sepanjang 1,2 kilometer. Selain untuk mencerdaskan masyarakat, pemasangan fasilitas internet nirkabel ini juga bertujuan meningkatkan daya tarik pariwisata di Makasar.

Meski agak lambat jika dibandingkan Makasar atau kota besar lainnya, mimpi Solo menjadi kota cyber tetap merupakan mimpi yang bagus. Pesatnya pertumbuhan teknologi informasi berbasis internet memang memungkinkan sebuah kota dikelola secara lebih mudah. Dengan adanya teknologi yang mencukupi, sebuah pemerintahan yang berbasis teknologi informasi bisa diwujudkan. Tata kelola yang memanfaatkan bantuan teknologi internet tentu saja akan lebih efektif jika dibandingkan dengan pemerintahan yang dijalankan hanya dengan tenaga manual manusia.

Mewujudnya Solo sebagai kota cyber juga berarti tersebarnya secara luas akses internet bagi warga kota tersebut. Konsekuensi utama dan pertama bagi sebuah kota yang hendak menyebut dirinya kota cyber adalah adanya sambungan internet melalui fasilitas hot spot di tempat-tempat umum yang strategis. Adanya fasilitas macam itu akan memungkinkan warga kota beraktivitas sambil mengais informasi sebanyak-banyaknya lewat internet. Dengan adanya koneksi internet, wawasan warga kota bisa diharapkan akan terbuka lebih luas sehingga masyarakat Solo akan mewujud menjadi masyarakat yang cerdas, melek informasi, dan tidak ketinggalan zaman.

Selain itu, keuntungan dalam pariwisata juga bisa didapat jika konsep cyber city nantinya benar-benar terwujud. Bagaimanapun, kebanyakan mereka yang datang berwisata ke Solo—terutama turis mancanegara—pasti membutuhkan sambungan internet. Bagi para turis, internet bisa dimanfaatkan guna mengirim kabar, mencari info seputar obyek wisata, atau sekadar melepas lelah setelah seharian berwisata.


Kurang Jelas
Sayangnya, mimpi menjadikan Solo sebagai kota cyber agaknya kurang diimbangi dengan rencana konseptual yang memadai. Dalam acara pada 30 Juli lalu, misalnya, tak ada pembahasan atau sosialisasi mengenai konsep yang pasti tentang kota cyber. Sampai sebulan lebih setelah pencanangan Solo sebagai kota cyber, tahapan-tahapan apa yang hendak dilaksanakan menuju utopia besar itu juga tidak pasti. Apakah konsep kota cyber yang hendak dicapai itu hanya sekadar pemasangan hot spot di tempat-tempat strategis seperti yang telah dilaksanakan sekarang, ataukah juga akan berimbas pada pengelolaan administrasi birokrasi, itu juga tak jelas.

Ini tentu saja patut disayangkan. Pencanangan sebuah mimpi tanpa penjelasan tentang upaya-upaya yang hendak dilakukan sama saja bermimpi di siang bolong. Sebuah mimpi harus diimbangi dengan rencana dan semangat yang benar-benar, bukan hanya keinginan besar tanpa tenaga dan pikiran yang cukup. Apalagi, sambutan warga Solo terhadap gagasan cyber city ini sebenarnya cukup bagus. Ini terlihat dari jumlah peserta aksi browsing internet bersama-sama yang mencapai ratusan orang.

Dukungan terhadap konsepsi itu juga tampak di dunia maya. Sejumlah netters di Solo dan sekitarnya ramai-ramai menyebarkan informasi soal utopia Solo menjadi cyber city di situs, weblog, atau milis. Banyak dari mereka yang dengan bersemangat menyambut “era baru” Kota Solo ini. Ada netter yang bahkan secara suka rela membuat sebuah weblog yang khusus mengulas rencana Solo menjadi cyber city. Weblog ini memuat cukup banyak informasi mengenai cyber city dan juga beberapa informasi terkait lainnya.

Sambutan warga yang besar ini seharusnya segera ditanggapi dengan membuat konsep tentang kota cyber secara lebih detail. Berbagai upaya dialog, diskusi, atau seminar untuk mematangkan konsep tersebut juga perlu digelar sesegera mungkin. Yang tak kalah penting adalah mengucapkan terima kasih sekaligus apresiasi terhadap para netters Solo yang dengan gigih dan tanpa pamrih telah ikut menyebarluaskan rencana Solo menjadi cyber city. Mereka adalah pihak yang segera harus dirangkul pemerintah kota agar utopia ini tidak hanya menjadi mimpi kosong di siang bolong.

Sebab, seperti pernah disampaikan Onno W. Purbo (2000), tantangan utama membangun cyber city bukanlah pemasangan instalasi fisik teknologi internet. Perangkat fisik teknologi, kata Onno, hanya menjadi satu bagian kecil dari konsepsi kota cyber secara keseluruhan. Tantangan terbesar justru membangun sebuah komunitas cyber yang berisi sumber daya manusia berkualitas yang mampu memproduksi informasi secara baik. Dalam istilah Onno, sebuah kota cyber hanya akan terwujud dan mampu bertahan hidup tatkala ada knowledge based society.

Konsepsi knowledge based society menuntut adanya kesiapan sumber daya manusia di sebuah kota untuk tidak hanya mengonsumsi informasi saja tapi juga secara aktif memproduksi informasi. Sekali lagi, konsepsi ini hanya akan terwujud jika pemerintah mau merangkul komuitas maupun individu-individu yang selama ini telah lama terjun serta secara aktif menjadi produsen informasi di dunia maya.

(Dimuat di Kompas Jawa Tengah, 29 September 2008)

Manusia Hotel: Manusia Datang dan Pergi

Oleh: Bandung Mawardi


Orhan Pamuk dengan apik, fasih, dan puitis mengisahkan makna kehadiran manusia dalam hotel. Tokoh Ka sebagai seorang penyair dan jurnalis terlibat dalam pelbagai kisah alienasi sampai revolusi dalam Hotel Istana Salju di Kota Kars. Hotel itu mengusung pertemuan, perselingkuhan, konflik arus peradaban Barat dan Timur dalam fragmen-fragmen rezim politik dan revolusi.
Hotel itu merekam sejarah, imajinasi, hasrat, dan biografi. Tokoh Ka hadir dalam hotel itu dengan nostalgia dan utopia. Hotel menjadi ruang untuk mengasingkan diri, menulis puisi, menikmati salju, mengingat Tuhan, melepas birahi, memimpikan masa depan, memikirkan konflik, mencatat revolusi, dan menunda kematian.
Orham Pamuk dalam novel Snow memberi refleksi mumpuni: hotel adalah ruang seribu satu kisah. Novel itu menjadi representasi dari kisah manusia untuk menjalani lakon-lakon hidup dengan kesadaran ruang dan waktu. Hotel adalah ruang hidup manusia modern dengan kompleksitas pertanyaan dan jawaban.
Hotel sebagai ruang persinggahan (transisi) memberi sekian kemungkinan pembebasan dan pengekangan. Kehadiran manusia sebagai manusia hotel niscaya melibatkan dalil dan pamrih. Hotel pun menjadi ruang penciptaan dan penafsiran untuk mengingatkan manusia tentang eksistensi dan mobilitas hidup. Hotel selalu mengandung ambiguitas untuk manusia memilih lakon dengan risiko-risiko.
Kisah hotel pun menjadi pusat dalam novel Hotel Miramar karangan Naguib Mahfoudz. Hotel menjadi ruang pertemuan manusia dengan pelbagai identitas dan ideologi hidup. Kisah cinta sampai revolusi bertemu, bertarung, dan berpisah dengan tepuk tangan atau hening. Hotel Miramar merekam alienasi sebagai kodrat manusia. Hotel adalah ruang untuk menikmati alienasi dengan afirmasi atau negasi.
Fragmen-fragmen hidup mengenai nasib perempuan, biografi jurnalistik, konflik politik, kondisi ekonomi, dan kisah cinta membuat Hotel Miramar memberi janji sorga dan neraka. Tragedi sampai keajaiban selalu menjadi kondisi tanpa skenario sempurna. Manusia-manusia hotel di Hotel Miramar menjalani taruhan dalam tegangan soliter dan solider untuk menemukan penggalan hidup sebagai angin lalu atau kenangan kekal.

* * *

Manusia-manusia modern adalah subjek yang tak bisa melepaskan diri dari kenangan pada mitos tragedi dan hasrat menciptakan tragedi. Peradaban dengan alur-alur semrawut membuat manusia selalu harus memilih untuk selamat atau sekarat. Tragedi manusia pun menemukan manifestasi dalam pemaknaan ruang dan waktu. Hotel adalah jawaban untuk membuat perhitungan eksistensi dengan kompensasi dan konsekuensi tertentu.
Iwan Simatupang cenderung percaya bahwa hotel sebagai jawaban untuk memilih risiko hidup. Iwan Simatupang dengan konsep-konsep eksistensialisme memilih hotel sebagai ruang biografi untuk mengurusi sastra, filsafat, seni, dan politik. Hotel adalah ruang eksistensi untuk membaca dan menulis kisah manusia.
Surat Iwan Simatupang pada H.B. Jassin menjadi dokumen manusia Indonesia yang sadar dengan arus dan alur modernitas. Iwan Simatupang dalam surat itu menuturkan “manusia hotel” dalam perspektif filsafat eksistensialisme. Inilah kutipan surat Iwan Simatupang yang ditulis pada 17 Januari 1962: “Aku kira, kamar kecil dari hotel kecil di kota kecil telah banyak berjasa bagi kesusastraan modern. Kafka, Pirandello, Thomton Wilder, Hemingway – teruslah! Mereka semua beroleh rangsangan bagi karya-karya mereka ketika lagi dalam perjalanan, di kamar kecil hotel kecil dari kota kecil. Bahkan, Luigi Pirandello seumur hidupnya hidup di hotel saja. Katanya: Aku manusia hotel.”
Iwan Simatupang dalam surat itu mendeklarasikan diri sebagai manusia hotel. Identitas manusia hotel pun melekat pada sosok Iwan Simatupang yang memiliki biografi sedih dalam sekian kisah. Iwan Simatupang sebelum menjadi manusia hotel adalah petualang hidup dengan pamrih menekuni sastra, teater, filsafat, dan politik. Petualang itu masuk dalam babak kesedihan ketika biografi cinta dengan Corrie de Gaine menemukan epilog karena intervensi kematian. Kematian istri mengantarkan Iwan Simatupang dalam sepi, tragedi, dan alienasi. Iwan Simatupang sejak itu adalah petualang dari ziarah sejarah dan ziarah imajinatif. Hotel adalah ruang untuk melakoni ziarah dengan menulis novel. Hotel adalah ruang hidup impersonal.
Definisi manusia hotel menurut Iwan Simatupang adalah the modern tramp yakni pengembara yang berpretensi memiliki kegelisahan modern atau berpretensi untuk jadi Don Quixote modern. Iwan Simatupang menjelasakan pergulatan psikologi dan filsafat manusia hotel: “Inilah inti dari psikologi manusia hotel. Ia adalah tamu! Dan tamu selalu berarti: (baru) datang, (bakal) pergi (lagi). Jadi, ia manusia datang dan pergi. Ia manusia mobil. Gelisah. Ia selalu ada dalam perjalanan antara datang dan pergi. Oleh sebab itu, bumi kehidupan mausia hotel juga berlangit relativisme. Filsafat hidup hari-harinya adalah juga filsafat riskan.”
Definisi manusia hotel itu menemukan realisasi pada manusia-manusia modern dalam melontarkan pertanyaan dan memburu jawaban mengenai fragmen-fragmen modernitas. Manusia-manusia modern menjadi manusia hotel dengan mobilitas tubuh, pikiran, imajinasi, atau mimpi untuk menngenangkan nostalgia dan menciptakan utopia. Manusia hotel mungkin kehendak bebas atau kutukan.

* * *

Hotel dan manusia hotel adalah identitas modernitas. Hotel dalam taraf tertentu memiliki kemungkinan untuk melampaui rumah. Manusia modern melakukan pergeseran epistemologi dalam membaca dan memahami ruang sesuai dengan hukum mobilitas zaman. Rumah pun perlahan kehilangan makna historis dan empiris. Hotel menjadi pilihan dengan dalil dan pamrih modernitas.
Subagio Sastrowardoyo dalam puisi Hotel menuliskan kisah manusia modern dalam alienasi dan pencarian. Hotel menjadi simbol dan representasi untuk membaca dan menilai lakon hidup manusia modern. Subagio Sastrowardoyo dalam bayang-bayang filsafat eksistensialisme menulis: Jangan kita beli tanah atau rumah / Uang tak ada. Dan kita tidak bisa tinggal lama. / Malam kita menginap dan berangkat subuh hari / Kita anak piatu yang kehilangan bapak / dan mencari / Di hotel ini kita bertemu dan di pojok / jalan ke benteng tua berpaling muka / Kita akan saling lupa.
Imperatif dalam puisi itu mengesankan ambiguitas manusia modern dalam diferensiasi hasrat memiliki rumah atau menjadi manusia hotel. Manusia dengan hasrat rumah berani membuat taruhan hidup untuk keberadaan rumah dalam kutukan kapitalisme dan golbalisasi. Rumah untuk hidup. Rumah untuk memiliki kesadaran ruang dan waktu. Hasrat rumah itu kadang mengalami reduksi untuk sekadar mengartikan rumah sebagai persinggahn dari mobilitas manusia: datang dam pergi. Pilihan menjadi manusia hotel pun susah meloloskan diri dari konsep rumah dalam hukum kesementaraan. Manusia hotel mungkin kisah tak sempurna: dari kisah tak selesai ke kisah tak selesai.
Kisah manusia hotel sampai pada babak menegangkan dalam puisi Afrizal Malna Arsitektur Hotel. Afrizal Malna mengusung dan menuliskan getir dan tragedi dengan semiotika modern dan kisah-kisah pecah. Afrizal Malna mengisahkan: Hotel mengubah orang-orang datang jadi orang-orang / pergi, menyetir mobil sendiri, menyetel radio sendiri, / memanggil burung-burung terbang, menghias sunyi di / setiap telur. Hotel adalah otoritas risiko dan sangsi laten dengan kedok kebebasan, kenikmatan, keindahan, kemanjaan, atau ketenangan. Manusia-manusia hotel dalam pengertian naif adalah hamba-hamba dari operasionalisasi ideologi modernitas. Ideologi itu hadir sebagai sistem dan mekanisme artifisial dengan janji sorga atau neraka.
Otoritas hotel kadang menghilangkan manusia sebagai manusia. Afrizal Malna pun mencari dan ingin manusia dalam sistem dan mekanisme hotel. Afrizal Malna menulis: Beri aku manusia. Mungkinkah manusia hilang, pecah, atau mati dalam hotel? Ini pertanyaan pelik.
Hotel adalah juru bicara modernitas dengan ambiguitas membingungkan. Hotel itu mengasingkan, membebaskan, memusnahkan, mematikan, menghidupkan, dan melenakan. Manusia hotel adalah manusia dengan sorga dan neraka: risiko-risiko modernitas. Begitu.


Dimuat di Kompas (28 september 2oo8)

Polesan Film Laskar Pelangi

oleh Heri Priyatmoko

Daun kalender menunjuk angka 25 September 2008. Di bioskop terlihat berderet antrean panjang pengunjung di depan loket bak antrean BBM di SPBU menjelang kenaikan harga. Karcis laris manis bagai kacang goreng. Kursi bioskop terisi penuh. Sudah diprediksi, pemutaran perdana film Laskar Pelangi (LP) bakal meledak. Ternyata benar, ratusan orang tidak mau melewatkan film yang dibesut oleh Riri Reza dan Mira Lesmana tersebut. Apresiasi publik cukup menggembirakan.

Sepintas, film LP terlihat seperti film anak-anak. Tapi di sana, disuguhkan tema-tema kemiskinan, kemelaratan, pendidikan, serta romantisme percintaan yang mengharu biru. Film yang terlebih dahulu terdongkrak oleh larisnya novel LP garapan Andrea Hirata itu, mampu menampilkan cerita tragik tentang orang-orang dari struktur masyarakat yang dikalahkan. Atau, mereka yang tidak diperhitungkan dan tidak cerah masa depannya.

Sentuhan Riri sebagai sutradara muda yang andal terbukti melalui film yang menelan ongkos 8 miliar ini. Banyak polesan elok dari aspek bahasa gambar maupun tampilan bermacam detil yang “tertulis” menjadi terucap. Idealisme Riri di film yang berdurasi 120 menit itu tampak jelas tak ingin menyajikan LP yang dalam memoar karya pegawai Telkom Bandung ini berkisah tentang kenakalan dan kejeniusan anak-anak sekolah Muhammadiyah semata. Riri sebisa mungkin memberikan solekan baru, bahkan memperkaya dengan latar sosial dan budaya.

Sutradara berambut keriwil itu sedikit menggesar fokus cerita lebih kepada perjuangan anak-anak LP menghadapi hidupnya yang tak karuan susahnya, baik secara ekonomi maupun kelas sosial di Belitong. Sebuah tanah kaya akan tambang timah, tapi penduduknya justru terjerembab dalam lingkaran kemiskinan akibat warisan kolonial Belanda. Peristiwa dan tokoh yang tak terdapat di novel bermunculan. Riri melukiskan dalam layar perak suatu adegan baru. Contoh, sebuah lemari kaca bekas yang dikirim ke sekolah untuk menaruh piala hasil lomba karnaval yang diraih berkat kepiawaian Mahar (Verrys Yamarno) dalam seni. Lemari itu tiada kancingnya, terbuka terus sehingga mengganggu Ibu Muslimah (Cut Mini). Lalu, Lintang (Ferdian) mengganjalkan kertas agar pintu tertutup. Begitu memukau polesan Riri. Sebab, ini menggambarkan adegan humor di sela-sela kemiskinan yang didera penghuni sekolah yang malamnya untuk kandang kambing ini.

Namun, tak sedikit pemirsa yang sebelumnya sudah menamatkan membaca novel, dibuat bingung sutradara. Pasalnya, ada tiga tokoh baru yang menghidupkan alur cerita film. Tokoh tambahan ada Pak Zulkarnaen (Slamet Rahardjo) yang menjadi pejabat PN Timah yang menaruh simpati keberadaan sekolah yang bermurid sepuluh orang itu. Lalu Pak Bakri (Rifnu T Winaka), seorang guru SD Muhammadiyah yang kepincut pindah ke SD lain di Bangka karena perhitungan materi tentunya. Kemudian, Pak Mahmud (Tora Sudiro), guru SD PN yang gandrung pada Ibu Muslimah.

Penonton wajar kecewa takkala menunggu cerita Tripani yang berakhir dramatis, menderita mother complex, yang malah tak dihadirkan di film. Atau kisah Mahar yang seperti dukun yang mengobati Ikal (Yulfany) yang merana akibat ditinggal cinta pertamanya, A Ling (Levina). Mungkin pertimbangan Riri lebih mengutamakan kisah yang kental nafas sosialnya. Demi terkena sasaran pada aspek kultur Melayu, tak sungkan Riri mengganti lagu Tennesee Waltz yang dinyanyikan Mahar dengan lagu Bunga Seroja. Bahkan, untuk pemain cilik LP, Riri tak mau kirim dari Jakarta, ia mencomot anak Belitong karena butuh dialek setempat dan tahu persis kehidupan sosio-kultural kota yang sempat “terbelah” ini dengan dua masyarakat yang timpang dan dibatasi papan “Dilarang Masuk buat orang jang tida punja hak”.

Budaya Popoler
Sepotong cuplikan yang paling menyayat hati penonton ketika Lintang pamitan pada teman-temannya dan Ibu Muslimah karena harus meninggalkan sekolah selamanya. Ayahnya meninggal dunia, dan dia mesti menggantikan peran ayahnya sebagai kepala rumah tangga agar dapur tetap terkepul. Di situ, Ikal mengejar Lintang dengan berurai air mata. Tapi, si jenius yang telah menyelamatkan sekolah dalam lomba cerdas cermat itu, kian jauh tak terkejar. Tak mungkin lagi ada cerita Lintang yang dihadang buaya tempo hari dan naik onthel berjarak 40 kilometer untuk sampai di sekolah. Suntikan Riri dalam adegan ini meski tidak ada dialog apa-apa hanya gambar yang sederhana, tapi bagaikan setrum sebab memberi letupan yang amat menyentuh jiwa.

Sangat tepat manakala Ibu Muslimah dalam film diposisikan lebih dominan. Apa yang dilakukan Ibu Muslimah saat mengajar penuh keikhlasan dan beliau tetap bersemangat menunaikan tugasnya sebagai guru walau gajinya harus diutang dua bulan. Ini sungguh sentilan bagi ratusan sampai ribuan guru GTT di Indonesia yang berdemo ngotot minta dijadikan sebagai pegawai negeri sipil. Ibu Muslimah sempat galau dan berhenti mengajar setelah Pak Harfan (Ikranagara) wafat. Namun, tiba-tiba Pak Zulkarnaen datang memberi pencerahan bahwa mengajar itu adalah berangkat dari rasa bukan materi seutuhnya. Akhirnya, Ibu Muslimah kembali mengayuh sepeda menemui anak didiknya seperti biasa. Sungguh gambaran yang mengharukan.

Karena itulah, mengangkat novel LP ke layar lebar dan Andrea memberikan kepercayaan itu kepada Riri dan Mira, bukanlah hal yang keliru. Pasalnya, Andrea meniupkan semangat untuk bangkit lewat novel, tersalurkan pula secara visual. Memang jauh sebelum Ayat-ayat Cinta dan LP sohor, cerita novel yang difilmkan sudah banyak. Sebut saja film Roro Mendut, Atheis, Si Doel Anak Betawi, dan Salah Asuhan. Belakangan, ada Ca Bau Kan, Eiffel I’m In Love, Jomblo, Cintapucino, dan Mereka Bilang Saya Monyet. Boleh saja dikatakan melalui sinetronisasi karya sastra (pemilik stasiun televisi) hanya mengejar pemenuhan budaya populer dan sebagai mesin kapitalisme untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya.

Orientasi yang lebih mulia ialah dengan mengampanyekan lewat film akan nilai-nilai agama, secercah semangat, dan percikan-percikan inspirasi yang bertaburan di dalam buku LP, diharapkan menjadi kekuatan bagi masyarakat Indonesia yang terpuruk karena kemiskinan, merasa termarjinalkan, mereka yang keok sebelum bertarung, dan sekaligus mengkritik para pembuat kebijakan yang memandang sebelah mata pendidikan di daerah pedalaman. Dengan demikian, sepantasnya kita tak keberatan angkat topi kepada pembuat novel dan film LP.

(Dimuat di Suara Merdeka, 27 September 2008)