Selasa, 02 September 2008

Pram: “Penantang Abadi”

oleh: Bandung Mawardi


Judul : Saya ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai
dan Wawancara dengan Pramodeya Ananta Toer
Pengarang : August Hans den Boef dan Kees Snoek
Penerjemah : Koesalah Subagyo Toer dan Kees Snoek
Penerbit : Komunitas Bambu
Terbit : 2008
Tebal : x+176 halaman


Buku Saya ingin Lihat Semua Ini Berakhir menjadi pengulangan dari pembicaraan mengenai biografi dan teks-teks sastra Pramoedya Ananta Toer. August Hans den Boef dan Kees Snoek menjadi juru bicara Pram dalam suatu pesona biografi kesusastraan dan politik. Pesona itu justru membuat buku ini kurang memberikan sesuatu yang lain (greget) untuk pembaca.
August Hans den Boef mengungkapkan kisah di balik publikasi esainya dengan dramatis: “Ketika saya mendengar dari Kees Snoek bahwa Pramoedya meninggal dunia, maka saya pun sibuk mencari sigaret kretek di Amsterdam, tetapi baru di Den Hag saya menemukannya. Sambil menikmati sigaret kretek itu, saya mulai mengaktualkan esai yang versi aslinya saya tulis tahun 1992”. Kisah itu hendak memberi penguatan bahwa esai yang ditulis August Hans den Boef memiliki nilai lain karena peristiwa kematian Pram dan peniruan laku merokok sigaret kretek seperti kebiasaan Pram untuk mencari dan menemukan efek tertentu.
Pengalaman unik muncul dari laku August Hans den Boef yang mengaku merasakan kesenangan ketika membaca kembali novel dan cerpen Pramoedya. Kesenangan itu menular dalam esainya yang membahas sekian buku Pramoedya dengan suatu kesadaran bahwa “saya bukan pembaca Indonesia”. Kesadaran itu mengesankan bahwa pembacaannya berbeda dengan pembacaan yang dilakukan oleh orang Indonesia, Amerika, Australia, Jerman, atau Perancis. Perbedaan itu karena faktor bahasa, kultural, politik, ideologi, atau sistem sastra.
August Hans den Boef percaya bahwa dalam membaca dan menilai buku-buku Pram tentu melibatkan kecenderungan dua faktor: politik dan teknik sastra. Kecenderungan itu ingin dikritisi dalam batas tertentu dengan pembuktian sebuah esai panjang yang masih menunjukkan pembacaan dalam kecenderungan politik dan teknik sastra. Esai August den Boef menghadirkan biografi Pram dalam politik dan sastra secara kronologis. Pembicaraan itu dikuatkan dengan penilaian terhadap buku-buku Pram yang erat mengungkapkan biografi Pram dan biografi Indonesia. Pembabakan biografi dan tulisan-tulisan Pram dalam esai itu kentara hendak mengesankan suatu pembacaan komprehensif dengan deskrispi dan analisis mumpuni.
Penempatan esai August Hans den Boef Penulis Kronik Rakyat Kecil – Tentang Karya Pramoedya Ananta Toer pada bagian pertama memang layak dengan konsekuensi terjadi pengulangan pada bagian kedua dalam tulisan Kees Snoek mengenai wawancara dengan Pram Satu-satunya Harapan Saya adalah Ingin Menyaksikan Akhir Semua ini. Tulisan Kees Snoek pun kentara mengandung pesona terhadap biografi politik dan sastra Pramoedya. Pertanyaan-pertanyaan untuk Pram memakai teknik yang hati-hati dengan pertimbangan menghindari sensitivitas dan sikap reaksioner terhadap tema-tema biografi dan politik. Teknik itu justru mengurangi eksplorasi atas kemungkinan menemukan informasi baru atau perubahan pemikiran Pram atas hal-hal tertentu. Hal itu membuat hasil wawancara Kees Snoek mirip dengan publikasi wawancara-wawancara yang dilakukan orang lain. Barangkali hal itu terjadi karena keterlambatan penerbitan dalam edisi bahasa Indonesia. Penerbitan buku ini dalam edisi Belanda pada tahun 1990.
Kisah di balik penulisan dan publikasi wawancara dari Kees Snoek pun mirip dengan kisah August Hans den Boef. Kees Snoek mengaku: “Sekarang Pramoedya telah tiada, waktunya sudah tepat untuk publikasi baru dari wawancara tersebut.” Pengakuan itu mengesankan suatu kepentingan momentum suatu publikasi tulisan untuk menemukan kesesuaian atau efek tertentu. Pengakuan Kees Snoek yang lain: “Beberapa bagian wawancara yang pada terbitan pertama, dalam bahasa Belanda, dihilangkan sepertinya sekarang telah ‘memenangkan kepentingannya’ sehingga akhirnya bagian-bagian tersebut masih diperlihatkan kepada pembaca”. Pengakuan itu kurang menjadi kejutan lagi karena pada tahun-tahun lalu telah terbit sekian buku dan publikasi esai dengan motif yang mirip.
J.J. Rizal (2008) menulis bahwa Pram adalah pengarang yang “terbakar pesona revolusi”. Hal itu berlaku pada August Hans den Boef dan Kees Snoek yang menulis dengan tendensi “terbakar pesona Pram”. Pesona itu dikuatkan dengan pengakuan dua penulis dalam kata pengantar bahwa Pram adalah “wajah berbeda dari Indonesia”. Pesona itu justru membuat tulisan August Hans den Boef dan Kees Snoek kurang mengandung greget. Pesona itu lumrah karena kebesaran tokoh Pram dan perspektif orang Belanda terhadap seorang Indonesia yang memiliki biografi kontroversial dalam sastra dan politik. Biografi kontroversial itu mungkin menjadi alasan penting untuk pesona dan kelahiran suatu tulisan dari pembaca-pembaca Belanda.
Tulisan August Hans den Boef dan Kees Snoek menjadi juru bicara ampuh untuk pengisahan bahwa selama ini Pram adalah korban dari kepentingan kekuasaan Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Posisi sebagai korban itu adalah pembenaran untuk perlawanan dan bantahan dengan perspektif Pram dalam pelbagai kasus dan peristiwa masa lalu. Perspektif Pram itu justru membuat kontroversi terus bersambung dan meminta perhatian untuk percaya dan memihak perspektif dari Pram atau orang lain.
Pram dalam buku ini adalah sosok yang dimenangkan dengan pencapaian tertentu untuk sastra di dunia internasional dan revisi terhadap biografi politik. Kemenangan Pram dari kekalahan-kekalahan tentu memberi konklusi atas optimisme dan pembuktian kebenaran atau keadilan dalam konteks sejarah kekuasaan dan kesusastraan. Perkara kemenangan itu berbeda dengan pandangan Ignas Kleden (1999) mengenai biografi Pram dan tokoh-tokoh dalam teks sastra Pram: “Tokoh-tokoh Pramoedya memang kalah dilanda sejarahnya, tapi sekaligus juga sanggup mengalahkan kekalahannya sendiri dengan mengatasi baik ketakutan maupun kesombongan untuk tidak menang.” Penilaian dari Ignas Kelden itu sopan ketimbang perspektif August Hans den Boef dan Kees Snoek.
Kehadiran buku Saya ingin Lihat Semua Ini Berakhir memberi kontribusi untuk kepustakaan mengenai Pram. Buku ini mengandung harapan untuk bisa memberikan perspektif yang tendensius terhadap Pram tapi kurang kritis dan argumentatif. Harapan dari penulis dalam buku ini ingin mirip dengan pengakuan Pram: “Saya berharap bahwa pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca buku saya, merasa berani, merasa dikuatkan. Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi seorang pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani. Berani. Lebih berani”.
Membaca Pramoedya Ananta Toer adalah membaca pokok dan tokoh yang tak sepi dari kontroversi dan polemik. Goenawan Mohamad (2005) bahkan menyebut Pram sebaga “penantang abadi”. Pramoedya Ananta Toer adalah simbol perbenturan dan pertautan antara ide dan kekuasaan. Selamat membaca dan menilai dengan sekian perspektif dan kritik. Begitu.

Dimuat di Lampung Post (24 Agustus 2008)

1 komentar:

andreas iswinarto mengatakan...

sebuah undangan...

Jejak Langkah Sebuah Bangsa, Sebuah Nation

Jejak Langkah Sebuah Bangsa, Sebuah Nation

Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,
kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya.
Kalau dia tak mengenal sejarahnya.
Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,”

-Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-
Dikutip Kompas di tulisan pembuka liputan khusus Anjer-Panarukan

Saya memberikan apresiasi yang besar kepada Koran Kompas dan juga kalangan pers pada umumnya yang secara intens dan kental mendorong munculnya kesadaran historis sekaligus harapan dan optimisme akan masa depan Indonesia. Mempertautkan makna masa lalu, masa kini dan masa depan. Ini nampak paling tidak sejak bulan Mei secara rutin Kompas memuat tulisan wartawan-wartawan seniornya dan mungkin beberapa orang non wartawan kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional . Patut diapresiasi pula liputan besar Kompas “Ekspedisi 200 Tahun Jalan Pos Anjer-Panaroekan”.

Daniel Dhakidae yang juga menjadi salah satu penulis seri 100 Tahun Kebangkitan Nasional Kompas ini pernah mengatakan bahwa “sejarah bukan masa lalu akan tetapi juga masa depan dengan menggenggam kuat kekinian sambil memperoyeksikan dirinya ke masa lalu. Warisan tentu saja menjadi penting terutama warisan yang menentukan relevansi kekinian. Apa yang dibuat disini adalah melepaskan penjajahan masa kini terhdap masa lalu dan memeriksa kembali masa lalu dan dengan demikian membuka suatu kemungkinan menghadirkan masa lalu dan masa depan dalam kekinian”. (Cendekiawan dan Kekuasaan : Dalam Negara Orde Baru; Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal xxxii)

Dalam bukunya itu contoh gamblang diperlihatkan oleh Dhakidae, dimana sebelum sampai pada bahasan masa Orde Baru ia melakukan pemeriksaaan wacana politik etis sebagai resultante pertarungan modal, kekuasaan negara kolonial, dan pertarungan kebudayaan antara Inlander vs Nederlander, antara boemipoetra dan orang Olanda. Baginya zaman kolonial menjadi penting bukan semata sebagai latarbelakang, akan tetapi wacana itu begitu menentukan yang dalam arti tertentu bukan saja menjadi pertarungan masa lalu akan tetapi masa kini.

Kompas saya pikir telah mengerjakan ini dengan sangat baik dan saya mendapatkan pencerahan dari sana (o iya Bung Daniel adalah juga kepala litbang Kompas)

Untuk meningkatkan akses publik ke seluruh tulisan-tulisan berharga ini, saya menghimpun link seri artikel Kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini. Sebelumnya saya juga telah menghimpun link seri liputan Kompas Ekspedisi 200 Tahun Jalan Raya Pos Anjer-Panaroekan : Jalan (untuk) Perubahan.

Demikian juga saya telah menghimpun link-link ke artikel-artikel Edisi Khusus Kemerdekaan Majalah Tempo tentang Tan Malaka “BAPAK REPUBLIK YANG DILUPAKAN. Sebagai catatan tulisan tentang Tan Malaka juga ada di dalam seri tulisan Kompas seputar 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Apresiasi tinggi pula untuk Majalah Tempo.

Akhir kata secara khusus saya menaruh hormat kepada Pramoedya Ananta Toer yang telah menjadi ‘guru sejarah’ saya melalui karya-karya sastra dan buku-buku sejarah yang ditulisnya. Saya pikir bukan sebuah kebetulan Kompas mengutip roman Jejak Langkah sebagai pengantar liputan khususnya, juga dari buku Pram Jalan Raya Pos, Jalan Daendels- “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”.

Tidak lain juga sebuah penghormatan kalau tidak pengakuan terhadap sumbangan Pram untuk negeri ini. Diakui atau tidak.

Salam Pembebasan
Andreas Iswinarto

Untuk seri tulisan 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo; Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa; Semangat Kebangsaan yang Harus Terus Dipelihara; Menemukan Kembali Boedi Oetomo; Ideologi Harga Mati, Bukan Harta Mati; Pohon Rimbun di Tanah yang Makin Gembur; Mencari Jejak Pemikiran Hatta; Membangun Bangsa yang Humanis; Tan Malaka dan Kebangkitan Nasional; Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan "Ngelmu"; Masa Depan "Manusia Indonesia"-nya Mochtar Lubis, Menolak Kutukan Bangsa Kuli; Pendidikan dan Pemerdekaan; Kembali ke PR Gelombang Ketiga; Kebudayaan dan Kebangsaan; Musik Pun Menggugah Kebangsaan...

Silah link ke
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/jejak-langkah-sebuah-bangsa-sebuah.html

Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Edisi Kemerdekaan Tempo : Tan Malaka
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/tan-malaka-bapak-republik-revolusi.html