Selasa, 16 September 2008

Museum Sebagai Sarana Edukasi

oleh Heri Priyatmoko

Di Indonesia, Kota Solo populer sebagai kota wisata budaya dan seni, setelah Bali dan Yogyakarta. Namun, sebetulnya Solo pantas pula menawarkan diri sebagai kota wisata museum. Berbagai museum ada di sini. Sekarang di Solo terdapat lebih dari tujuh museum dengan jenis-jenis yang berbeda. Museum-museum ini dikelola oleh berbagai pihak, seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota, instansi pemerintah/swasta, dan kelompok/perorangan.
Ada Museum Radya Pustaka, Museum Batik Danarhadi, Museum Kasunanan, Museum Mangkunegaran, Museum Dullah, Lokananta, dan Monumen Pers. Baru saja diresmikan Museum Samanhudi di Laweyan, melengkapi khasanah permuseuman di Solo. Semua itu belum termasuk live museum (museum hidup). Contoh, di Kauman dan Laweyan yang terdapat rutinitas membatik. Di sini, pengunjung bisa melihat cara membatik. Mereka bisa bercakap-cakap dengan buruh dan pungusaha, bertanya berapa upah buruh, bahan membatik, sampai cara pemasarannya.
Kota Bengawan merupakan sebuah kota yang memiliki periode sejarah yang lengkap dan menarik, mulai dari periode kerajaan hingga dewasa ini. Saban periode meninggalkan jejak historisnya berupa barang dan cerita. Museum Samanhudi adalah satu-satunya saksi sejarah Kota Solo era pergerakan nasional. Banyak warganya yang belum mengetahui siapa Samanhudi dan bagaimana partisipasi Kampung Laweyan pada zaman pergerakan menentang kolonialisme. Pada riwayatnya, Kiai Haji Samanhudi (1868-1956), pendiri Sarekat Dagang Islamiyah (SDI).
SDI adalah sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Solo. Perkumpulan ini cikal-bakal dari Sarekat Islam, organisasi yang menggetarkan Belanda karena memiliki ribuan pengikut di berbagai kota. Sejarawan Prof Takashi Shiraishi dalam bukunya yang bertajuk Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926, mengupas partisipasi Laweyan dalam kancah nasional dan sejarah Serikat Islam dengan tokoh sentral Samanhudi.
Pendirian Museum Samanhudi yang diprakasai oleh Yayasan Warna Warni patut diacungi jempol, sebab berusaha ingin mengenalkan sejarah tokoh nasional tersebut kepada generasi sekarang. Lokasi yang dipakai untuk museum ini dulunya bekas gudang batik. Di museum dipajang gambar, foto, dan dokumen tentang revolusi batik, politik, pendirian Serikat Islam, peran pemerintah kolonial terhadap Serikat Islam, Samanhudi dan Serikat Islam, serta Samanhudi pada masa tua. Gambar atau foto yang dipampang antara lain foto Samanhudi bersama keluarga, dan sejumlah tokoh pergerakan nasional. Tidak ketinggalan foto KH Samanhudi pada puncak kejayaannya sebagai saudagar batik.
Semangat Yayasan Warna Warni yang dimotori oleh Krisnina Akbar Tandjung ini sangat baik. Namun, semangat mendirikan museum mesti dilandasi juga oleh pemahaman bahwa mendirikan sebuah museum berarti mendirikan pula sebuah institusi pendidikan. Museum dan pendidikan bak dua sisi mata uang, tak dapat dipisahkan. Menurut museolog Prioyulianto Hutomo (2008), nilai dasar yang menjadi fondasi museum yaitu, melalui pendidikan, masyarakat disadarkan akan tingginya nilai yang dikandung dalam koleksi museum dan memberi mereka kesempatan untuk memperluas wawasan.
Sarana Edukasi
Pendidikan untuk segala usia perlu digalakkan dengan sasaran utamanya siswa sekolah. Mereka ibarat benih padi yang mesti dipupuk, dengan semangat kesejarahan tentunya. Kegiatan edukasi di museum bentuknya bisa beraneka rupa. Pegawai museum memberikan kepada siswa berupa paket edukasi, koleksi keliling, kelas budaya, bercerita, slide berseri, atau taman bermain yang berhubungan dengan koleksi. Mereka juga perlu merancang materi yang diarahkan untuk mengembangkan tiga area pembelajaran secara bersamaan meliputi, kognitif (berkaitan dengan daya pikir), afektif (emosi), dan psikomotorik (gerakan fisik).
Desain materi berupa aktivitas yang menumbuhkan rasa ingin tahu. Artinya, pelajaran yang diberikan dapat mengarahkan siswa untuk bertanya, mencari jawaban atas pertanyaannya, dan menciptakan pertanyaan baru serta memperoleh pengetahuan baru. Kegiatan ini selayaknya dilakukan tanpa meninggalkan unsur bermain. Pasalnya, dunia anak-anak adalah dunia bermain. Tapi, bentuk-bentuk aktivitas bagi siswa harus berbentuk permainan edukatif. Pengertian permainan edukatif, menurut Andang Ismail, adalah suatu kegiatan yang menyenangkan dan dapat merupakan cara yang mendidik.
Permainan edukatif bisa meningkatkan kemampuan berpikir, berbahasa, dan bergaul dengan orang lain. Selain itu, anak dapat menguatkan anggota badan, menjadi lebih terampil, dan menumbuhkan serta mengembangkan kepribadiannya. Permainan edukatif dirancang oleh pihak pengelola museum. Guna menyukseskan program tersebut, pengurus museum mesti menggandeng para ahli. Misalnya, sejarawan, arkeolog, pendidik, dan ahli psikologi anak.
Karena itu, sebagai langkah awal guna memasyarakatkan potensi museum-museum di Solo, setidaknya Pemkot dan pengelola museum bekerjasama dengan membuat event yang berlokasi di sekitar museum. Seperti lomba mengarang tentang isi museum, menulis artikel museum, dan lomba menggambar benda-benda koleksi museum. Orientasinya, mereka biar mengenal isi museum dan ikut merasa memiliki museum. Lagipula, mengingat tidak tersambungnya secara riil museum dengan sistem pendidikan nasional. Walau museum secara struktural di bawah Depdiknas, namun siswa jarang sekali dibawa ke museum dalam rangka meningkatkan materi pendidikan. Padahal, ilmu yang diperoleh di museum seringkali tidak ada dalam buku pelajaran sekolah.
Solo sebagai Kota Budaya pernah tercoreng gara-gara peristiwa pencurian dan pemalsuan arca di Museum Radya Pustaka. Latar belakang kisah itu terjadi lantaran minimnya kesadaran akan peninggalan benda bersejarah. Maka, seiring jumlah museum bertambah, Pemkot mesti mempromosikan dan sekaligus mendukung komunitas-komunitas pecinta sejarah yang bermunculan di Solo yang ikut mempromosikan kekayaan museum sebagai ajang rekreasi dan edukasi. Museum bukan gudang atau pasar barang antik (arena jual-beli), tapi ia adalah etalase ilmu pengetahuan sekaligus obyek wisata pendidikan dan budaya.

JOGLOSEMAR, 13-09-2008

Tidak ada komentar: