Senin, 08 September 2008

Sutardji, Puisi, Takdir

Oleh: Bandung Mawardi

Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dengan kalem menuturkan bahwa pemberian sekian penghargaan dan gelar kehormatan membuat dirinya malu karena merasa belum bisa berbuat apa-apa. Semua itu adalah takdir. Tuturan itu hadir karena SCB menjadi seorang penerima penghargaan Achmad Bakrie 2008 dalam bidang kesusastraan. Penghargaan itu diberikan karena kontribusi besar SCB dalam kesusastraan Indonesia modern. SCB justru mengaku belum bisa berbuat apa-apa. Kelakar yang genit. SCB sekadar percaya bahwa itu takdir. SCB mungkin hendak mengakui bahwa dirinya dan puisi itu takdir. SCB tidak sekadar menguak takdir tapi menciptakan takdir atas puisi.
Pengakuan SCB mengingatkan penulis pada Nietzsche dalam Ecce Homo. Nietzsche dalam bab “Mengapa Aku adalah Takdir” dengan arogan mengakui: “Aku tahu takdirku.... Aku bukan seorang manusia, aku sebuah dinamit”. SCB memiliki kemiripan dengan pengakuan Nieztsche karena SCB dengan berani hadir dengan pembaharuan estetika puisi Indonesia modern. Kehadiran itu memakai kredo ampuh untuk keimanan atas realisasi pencapaian estetika. SCB menobatkan diri sendiri sebagai “dinamit” yang membuat ledakan besar dalam perpuisian Indonesia modern. Ledakan itu adalah O Amuk Kapak sebagai takdir penyair dan puisi. SCB sejak awal mulai membuat takdir dan menciptakan kesempurnaan takdir itu dalam perbenturan dan konfrontasi besar dengan pembaca dan kondisi zaman. Orang-orang pun sejak itu mulai menaruh perhatian untuk ikhtiar memahami SCB dan puisi-puisinya. Sampai hari ini SCB belum selesai terpahami. SCB berlaku seperti Nieztsche yang selalu menanyakan: “Sudahkah aku dipahami?”
Pertanyaan itu dalam kasus SCB terus menemukan sekian jawaban dari A. Teeuw, Dami N. Toda, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Umar Junus, Goenawan Mohamad, Rachmat Djoko Pradopo, Harry Aveling, Arief B. Prasetyo, Ignas Kleden, dan deretan nama yang masih panjang. Orang-orang itu ingin memahami SCB dalam sekian perspektif dan pamrih. “Sudahkah aku (SCB) dipahami?” pertanyaan itu sampai hari ini terus menemukan jawaban.
Dami N. Toda dengan eksplisit mengakui takdir SCB itu dalam esai “Peta Perpuisisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa”. Eksekusi dari Dami N. Toda: Chairil adalah mata kanan dan Sutardji adalah mata kiri dalam perpuisian Indonesia modern. Takdir itu hadir dalam polemik panjang mengenai kredo dan puisi-puisi SCB. Dami N. Toda adalah pembela militan untuk SCB dengan kepercayaan bahwa puisi-puisi SCB membuktikan suatu pembaruan atau ledakan bom estetika. Kredo SCB menjadi alasan untuk takdir bahwa ada kebenaran estetik menantang alur besar perpuisian Indonesia modern. Kebenaran yang direalisasikan SCB: “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian ... Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.”
Kehadiran kredo dan puisi-puisi SCB menentukan gairah kritik sastra mulai tahun 1970-an dengan pelbagai label dan teori. Dami N. Toda menjadi sosok penting dan menentukan untuk SCB mirip dengan peran H.B. Jassin untuk Chairil Anwar. Dami N. Toda terus menulis tentang SCB sampai menjelang ajal dengan publikasi esai-esai (kritik sastra) penting dalam kesusastraan Indonesia modern. Peran lain nampak pada sosok Umar Junus yang tekun mengaji SCB dengan kritis. Umar Junus (1981) pun mengakui takdir SCB dan menilai bahwa kredo dan puisi-puisi (yang) mantra SCB itu menciptakan misteri atas misteri puisi. SCB hadir dengan pamrih emansipasi kata dari tirani dan permainan bahasa dengan kontradiksi-kontradiksi memukau.
Kesibukan tukang kritik mengurusi puisi-puisi SCB membuat Ajip Rosidi gerah. Ajip Rosidi menuduh bahwa sekian tukang kritik terlena dan latah untuk masuk dalam pembicaraan puisi-puisi SCB dengan konsep mantra yang dicantumkan SCB dalam kredo. Ajip Rosidi sekadar menjadi interupsi karena tidak mengeluarkan keringat deras untuk membuat kondisi kritik sastra dan puisi mencapai ekstase.
A. Teeuw dengan analitis menunjukkan kontradiksi-kontradiksi dalam buku Tergantung Pada Kata (1980). A. Teeuw secara genit memberi judul untuk bab SCB dengan ungkapan kotradiktif “Terikat dalam Pembebasan Kata”. Judul itu adalah vonis utuh A. Teeuw mulai dari asumsi sampai konklusi. Keraguan A. Teeuw kentara dalam konklusi serba mungkin: SCB itu perombak, puisi-puisi SCB itu seperti fashion, SCB itu gejala pinggiran, atau SCB itu tukang semai epigon. A. Teeuw sekadar sanggup membuat ramalan naif tanpa ada rasa percaya: “Apakah dia tetap kucing yang dengan sendirinya menghilang ngiaunya dari dunia manusia ataukah kucingnya dimanusiakan dan ngiaunya dibahasakan?”
Arus puisi dengan ruh modernitas bergulir sejak Pujangga Baru dan meledak dalam puisi-puisi Chairil Anwar menemukan penantang ampuh yakni SCB. Kredo puisi SCB adalah kekasih dan musuh untuk laur-alur perpuisian Indonesia modern. SCB hadir dengan puisi-puisi dalam tegangan tradisionalitas, modernitas, dan posmodernitas. Puisi-puisi SCB menjadi ledakan dalam kesadaran bahasa dan olahan estetik untuk membuka kemungkinan-kemungkinan struktur dan sistem makna. Kehadiran puisi-puisi SCB itu pun mengingatkan publik atas diri Chairil Anwar melalui revolusi dan pemberian ruh hidup atas potensi bahasa.
Perkara bahasa dalam revolusi Chairil Anwar dan SCB itu membuat Rachmat Djoko Pradopo mempan kena rayuan dengan publikasi penelitian Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern (1985). Penelitian itu menempuh jalan kecil karena cenderung akademis, formalistik, dan struktural. Penelitian itu sejak awal percaya bahwa Chairil Anwar dan SCB adalah pembaharu dalam perpuisian Indonesia modern. Kekuatan dua penyair itu ada dalam permainan dan pengolahan bahasa. Hal itu menjadi dalil baku Rachmat Djoko Pradopo yang kaku dan kikuk: “Pembicaraan atau analisis puisi itu yang terpenting adalah analisis kebahasaannya. Kepuitisan atau nilai estetis sajak itu terutama ditentukan oleh bahasa atau penggarapan bahasanya.”
Takdir SCB belum selesai dalam tulisan-tulisan tukang kritik sebagai malaikat pencatat kebaikan atau keburukan. SCB sebagai takdir masih mendapatkan perhatian dalam esai-esai mutakhir. Polemik SCB mulai tahun 1970-an mayoritas belum berubah dalam perkara-perkara baku kredo dan pencapaian estetika. Kehadiran O Amuk Kapak jadi lahan tak pernah selesai digarap dan terus menumbuhkan sesuatu untuk dipanen. Buku-buku puisi lain dari SCB selalu jadi penantian tanpa akhir. SCB dengan genit menonton resah dan marah pembaca dan tukang kritik. Radhar Panca Dahana menilai bahwa kegenitan SCB itu menemukan klaim dalam kelakar bahwa O Amuk Kapak adalah puncak. Pertanyaan atas kelakar itu: Apakah SCB mau dan sanggup mencipta puncak-puncak lain?
Takdir yang diciptakan SCB memiliki usia panjang dan aura memukau. Pembacaan dan penilaian Arief B. Prasetyo (2002) atas puisi-puisi SCB menunjukkan kuasa SCB dalam rumah puisi Indonesia modern. Arief B. Prasetyo merasa pukau SCB itu sejak bocah ingusan sampai ketika sanggup menjadi pembaca puisi yang kritis. Kepercayaan publik bahwa puncak SCB adalah O Amuk Kapak seakan menemukan penguatan pada kecurigaan Arief B. Prasetyo: “Jangan-jangan, justru lantaran telanjur menanggung beban sejarah di pundaknya, Sutardji kelak cuma akan menyulut batang mercon basah dengan buku puisi barunya. Itulah momen mengenaskan ...” Arief B. Prasetyo melabeli kuasa SCB sebagai “ikon mitologis” dalam khazanah perpuisian-kepenyairan modern Indonesia. Label keren dan mengerikan.
Ignas Kleden dalam esai “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (2007) membuat pembacaan lain dengan kritis. Ignas Kleden menilai kredo puisi SCB itu bukan teori tapi rencana kerja, program, desai, atau tekad. SCB bekerja menulis puisi untuk mencari kebenaran kredo itu. SCB membuktikan itu dengan sekian risiko dan kontradiksi. Ignas Kleden mengakui bahwa SCB patut mendapatkan catatan-catatan penting karena sanggup melakukan dekonstruksi dalam konteks bahasa, sastra, dan kebudayaan. SCB memukau dan menggairahkan.
Sekian pembacaan dan penilaian atas puisi-puisi SCB adalah bukti antusiasme dan kerepotan publik dan tukang kritik sastra. SCB sebagai penyair ampuh pun menerima ganjaran-ganjaran besar atau “kutukan indah” dari pelbagai orang dan lembaga. Berita-berita mutakhir menyebutkan bahwa SCB mendapatkan acara-acara fenomenal: perayaan usia ke-66 tahun (14-19 Juli 2007) di TIM (Jakarta); Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (10 Desember 2007); peringatan 67 tahun SCB di Pekanbaru (Riau) dengan penerbitan buku puisi Atau Ngit Cari Agar dan peresmian bulan Juni sebagai “bulan Sutardji”; penerima penghargaan Achmad Bakrie 2008 untuk kesusastraan. SCB adalah takdir membawa berkah. Keren!
SCB suatu hari memberi ajaran: “Menulislah puisi dengan gembira!” atau “Hormat penuh untuk puisi.” Hari ini publik patut percaya bahwa SCB adalah takdir dan puisi adalah takdir. Begitu.

Dimuat di Lampung Post (7 September 2oo8)

Tidak ada komentar: