Oleh: Heri Priyatmoko
Jam dinding yang menempel di pos ronda menunjukan pukul 17.30. Terlihat Mbah Mariko duduk nglangut di wedangan lik Paidi. Itulah kebiasaan Mbah Mariko saban-saban menanti buka puasa. Wedang teh buatan lik Paidi pancen kondang ginasthel (legi panas tur kenthel) dan wedang jahenya juga tidak kalah mareme. Dari arah selatan Paimin datang.
Janur gunung Min, kamu lama tidak pernah nonggol, ke mana saja?, sapa Mbah Mariko. Iya Mbah, kemarin sibuk di kelurahan menangani lomba pitulasan, sahut Paimin. Lik Paidi, tolong bikinkan wedang jahe ya, pesan Paimin. Sekalian Di, buatkan saya wedang teh, Mbah Mariko ikut. Lik Paidi yang sejak tadi ngipasi areng, bergegas memenuhi kehendak mereka.
Gimana acara lombanya, sukses apa tidak? tanya Mbah Mariko yang bola matanya menatap umbul-umbul dan bendera Merah Putih yang belum dicopot oleh warga. Berapa tahun ini lumayan kacau, Mbah, timpal Paimin. Lumayan kacau bagaimana maksudmu?
Kampung ini kesulitan mengadakan lomba yang dapat dinikmati bersama. Seperti, panjat pinang, tarik tambang, balap sarung, dan sepak bola. Dulu sewaktu masih ada lapangan, semua merasa riang dan bahagia melihat kocaknya permainan lomba. Tapi sekarang, tiada lagi ruang itu.
Kesedihan Paimin itu dipahami Lik Paidi yang kebetulan juga warga asli Kelurahan Tipes, Solo. Betapa beruntungnya mereka yang tinggal di pedesaan yang masih mempunyai lapangan. Selain terlaksananya lomba, warga terhibur dan ditemukan pula kebersamaan serta kedamaian antartetangga. Kini, terjadi masalah di banyak wilayah perkotaan ketika publik kehilangan atau kekurangan ruang untuk berekspresi.
Tempo dulu warga menyambut HUT RI dengan gelaran lomba, baik tua-muda, laki maupun perempuan, sore hari berbaur di lapangan Tipes, kenang Lik Paidi sambil menekuri sandal japitnya. Mereka tiada bisa merasakan itu, sebab lapangan rumput tersebut disulap menjadi bangunan bisnis Makro. Problem yang satu ini yang sekarang menjadi tren.
Suara adzan Magrib terdengar samar. Paimin langsung menikmati wedang jahenya. Kawasan Tanah Abang, Jakarta lebih kasihan lagi, Mbah. Masyarakat di sana hendak main bola harus memakai bantaran sungai. Mereka berani ambil resiko. Ketika bola tercebur ke sungai, mereka pun mesti siap berenang menyelamatkan bola.
Di Manado juga. Anak-anak banyak yang kecewa karena tempat bermain di tepian Sungai Kapuas terancam oleh pendirian kompleks perbelanjaan megah Pontianak Town Square. Paimin memang hobi mlancong ke luar kota, sehingga bisa dengan lancar bercerita. Sarana mereka terlindas oleh keserakahan investor yang ambisius mendirikan bangunan komersil tanpa menghiraukan kepentingan umum.
Iya Min, anak-anak singkong yang berbaju lusuh dan tanpa alas kaki kaya Parjo, Gunadi, Taryono lan sak tunggalane kae ora bakal iso bal-balan maneh, ujar Mbah Mariko membenarkan. Menjamurnya lapangan in door adalah sebagai jawaban atas susutnya lapangan. Namun, apakah itu semua bisa dijangkau oleh masyarakat bawah?
Lapangan elemen kota yang multifungsi. Selain tempat olahraga, refresing, tapi juga arena bersosialisasi dengan sesama dalam suasana santai. Di situlah latensi konflik dapat dihilangkan, mengingat Solo mendapat citra yang merugikan sebagai kota konflik dan bersumbu pendek.
Terlanjur banyak kota-kota di Indonesia yang penghuninya kekurangan public space. Yang berlalu biarlah berlalu. Ini sekadar refleksi sejarah saja, dengan tujuan biar kita tidak terjebak dalam lubang yang sama. Pemkot seharusnya membiarkan pembangunan tanpa mengorbankan hak rakyatnya. Inilah cermin kegagalan Pemkot dalam memenuhi hak warga kota. Ironis.
Dimuat di Suara Merdeka 06 September 2008
Senin, 08 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar