Oleh: Heri Priyatmoko
MENARIK tentang yang disampaikan M Abdul Rohim dalam artikelnya ”Meninggal Tanpa Karya” (06/09). Hanya segelintir orang yang mau menciptakan sebuah karya. Hidup seseorang tidak akan ada artinya manakala tidak memiliki hasil karya. Kalau telah meninggal, tidak akan dikenang oleh orang lain.
Sederet kalimat tersebut akan semakin berkekuatan andai saja dipadukan dengan petuah arif mendiang begawan sejarah Indonesia, Sartono Kartodirdjo saban mengawali perkuliahan di ruang kelas. ”Hidup jangan seperti pohon pisang. Hanya sekali berbuah, setelah itu mati,” itulah pesannya. Apa maksudnya?
Beliau mengkritik kaum intelektual pada umumnya yang selesai merampungkan skripsi, tesis, maupun desertasi. Mereka anggap itu sudah tuntas tugasnya (dalam berkarya). Kegelisahan yang dirasakan Sartono tidak berlebihan.
Banyak dari mereka yang lulus kemudian memasukkan kembali pena ke laci tanpa berkeinginan kuat berkarya secara intens. Padahal, mereka hidup di alam kemerdekaan, bebas menuliskan pendapat. Sungguh bertolak belakang dengan kehidupan Pramoedya.
Betapa tidak, walau karyanya yang paling dini, ”Di Tepi Kali Bekasi” dirampas Dinas Penerangan Belanda dan hidup tersiksa di bui, tapi dia tak kapok untuk terus menulis. Tanpa karya, nama Pram tenggelam ditelan zaman. Beruntung kau, Pram.
Dalam berkarya, kita tidak harus melahirkan buku ilmiah. Sebab, menulis catatan pribadi juga penting. Manusia yang telah mati, bila tanpa meninggalkan tulisan, sejarahnya cuma bisa dilacak lewat foto, nisan, atau cerita lisan, meski itu tak banyak membantu. Maka, ini sepakat dengan seruan Ramadhan KH, penulis buku biografi yang sudah makan asam garam.
Dia selalu mendorong setiap orang untuk menuliskan riwayat hidupnya. Pasalnya, setiap orang sebenarnya memiliki pengalaman hidup yang menarik, baik yang bersentuhan dengan banyak orang maupun yang hidup menyendiri. Manusia tidak mampu menghindari penyakit amnesia sejarah, lupa masa lampaunya. Maka, catatan pribadi itu saksi.
Hal itu dapat menolong anak-cucu kita atau orang lain manakala merekontruksi masa lalu kita.
Berkat catatan, nama Kartini, Soe Hok Gie, dan Ahmad Wahib abadi di hati sanubari pembaca. Begitu pula di Barat.
Anne Frank, Samuel Peppys (prajurit Angkatan Laut Inggris di abad 17), dan Virginia Wolf (penulis novel Mrs Dalloway), jadi beken gara-gara catatan hariannya. Usia kita semakin menua, berarti waktu kian pendek. Jangan sia-siakan, ayo menulis dari sekarang! (80)
Suara Merdeka, 13 September 2008
Selasa, 16 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar