Selasa, 16 September 2008

Merawat Kali Pepe

Oleh Heri Priyatmoko

SUNGAI atau kali yang mengalir di tengah-tengah kota bisa jadi hal yang menyenangkan, namun dapat pula menyebalkan. Jika difungsikan dengan baik seperti di kota-kota besar di Eropa, tentu sungai dapat memberikan penghasilan dan penahan banjir. Tapi bila ditelantarkan, justru menjadi bumerang.

Solo adalah kota yang memiliki beberapa sungai kecil; yaitu antara lain Sungai Pepe, Sungai Wingko, Sungai Premulung, Sungai Jenes, dan Sungai Anyar. Masyarakat Solo secara turun-menurun menganggap Kali Pepe sebagai bagian dari memori kolektifnya. Sungai tersebut ikut menentukan sejarah Kota Solo.

Anak sungai Bengawan Solo itu mengalir dari utara ke tenggara melalui beberapa kelurahan. Antara lain, Kelurahan Sumber, Gilingan, Penggawan, Kestalan, Ketelan, Keprabon, Stabelan, Kepatihan Kulon, Kepatihan Wetan, Kampungbaru, Sudiroprajan, Kedunglumbu, Gandekan Tengen, Kampungsewu, dan Sangkrah.

Bila mengkaji Kali Pepe dalam perspektif sejarah, kita akan menemukan banyak kisah yang berserak. Kuntowijoyo (2000) menulis, pemilihan lokasi Keraton Surakarta di Desa Sala pada abad XVIII didasarkan atas pertemuan Kali Pepe dengan Bengawan Semanggi yang disebut tempuran.

Masyarakat Jawa percaya bahwa tempuran memiliki kekuatan magis. Lagi pula, pada periode itu di tempuran tersebut merupakan pusat jalur perdagangan.
Tempo dulu, Kali Pepe menjadi urat nadi perdagangan di Pasar Gedhe. Empat bandar yang disinggahi kapal pengangkut barang. yaitu Nusupan, Semanggi, Mojo, dan Beton, mesti melewati Kali Pepe untuk bongkar muat di Pasar Gedhe.

Dari kawasan itulah, terbentuk permukiman etnis di tepian sungai, seperti komunitas Arab di Pasar Kliwon, etnis Madura di Sampangan, orang Eropa menempati benteng perdagangan Groote Modigheijd (sekarang kantor Telkom), dan Bali di Kebalen, serta China di Kampung Pecinan.

Kampung Pecinan yang kita jumpai di Kali Pepe dilengkapi dengan sarana peribadatan klenteng; dan gambaran itu tak jauh beda dari pecinan di Semarang.

Waswas Banjir

Secara geografis, Solo merupakan dataran rendah yang di kepung sungai. Logis jika penduduknya selalu waswas terhadap ancaman banjir yang bersiklus tahunan. Pada akhir abad XlX, Solo digenangi air yang datang dari selatan kota sebanyak 2.000 kubik per detik, dan 800 kubik per detik air kiriman Kali Pepe dari arah utara kota kerajaan. Lantas, Mangkunegoro, Paku Buwono, dan Pemerintah Belanda bekerja sama membangun kanal dan dam (Soedarmono, 2004).

Meskipun kota sudah dilengkapi sistem drainase yang baik, sayangnya tidak menjamin terbebas dari banjir. Daun kalender menunjuk angka 14 Maret 1966, Kali Pepe tak kuat menampung guyuran air hujan yang tak henti selama dua hari. Akibatnya, Solo bak lautan. Air banjir setinggi tugu jam di depan Pasar Gedhe. Beberapa tanggul yang membetengi kota jebol saking derasnya luapan air Sungai Bengawan.

Puluhan perkantoran terlumat banjir dan perekonomian kota lumpuh total. Kali Pepe dituding sebagai salah satu ìbiang keladiî penyebab banjir 1966.
Berpikir betapa pentingnya Kali Pepe berkait dengan bahaya banjir, Pemkot selanjutnya memprioritaskan perbaikan dan perawatan sungai.

Pada 1991 diadakan normalisasi Kali Pepe. Orientasinya, menata lingkungan di sepanjang kali itu agar tidak kumuh, melancarkan aliran sungai sehingga dapat mengurangi genangan banjir, dan menciptakan lingkungan Solo Berseri (bersih, sehat, rapi, dan indah). Pemkot lalu membuat talud, keduk walet, dan pertamanan.

Satu tahun silam, Solo menangis lagi gara-gara banjir. Kali Pepe yang dulu nyawa kehidupan yang penting bagi penduduk, tidak mampu menahan derasnya arus Sungai Bengawan. Tak pelak, rumah-rumah warga di Sangkrah, Gandekan, Kampungsewu dan sekitarnya, tergenang air.

Memang, semua itu bukan salah mutlak Kali Pepe. Namun, secara tidak sadar tindakan warga yang menjadikan Kali Pepe di kala musim kemarau sebagai ìasbak raksasaî, apakah itu tidak bisa dituding sebagai penyebab banjir pula.

Persoalan memelihara sungai adalah persoalan cinta. Tanpa cinta segalanya menjadi percuma. Cinta terhadap Kali Pepe harus dilakukan tidak hanya oleh pejabat kota, melainkan juga penduduk di sekitar atau yang dilalui Kali Pepe.
Kebetulan, akhir-akhir ini Pemkot sedang getol mempercantik wajah kota.

Ruang publik direvitalisasi, PKL direlokasi, dan dilakukan pembangunan city walk. Tetapi, alangkah baiknya jika Kali Pepe juga menjadi prioritas perawatan dan program resik-resik kutho digalakkan kembali.

Selain mengingat vitalnya Kali Pepe untuk melindungi kota, namun mencintai sungai bukan sekadar soal lingkungan hidup, ekosistem, dan banjir yang traumatik. Mencintai sungai adalah masalah keselarasan dengan alam. Toh, ia anugerah Tuhan yang teramat besar jasanya bagi Kota Bengawan.(68)

Suara Merdeka, 10 September 2008
__

Tidak ada komentar: