Kamis, 25 September 2008

Merayakan Semiotik dan Menafsirkan Budaya

Oleh: Bandung Mawardi

Judul : Semiotika Budaya dan Dinamika Sosial Budaya
Penulis : Benny Hoedoro Hoed
Penerbit : Komunitas Bambu dan FIB UI
Terbit : 2008
Tebal : xv+172 halaman

Benny Hoedoro Hoed adalah sosok penting dalam dunia intelektual Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan penerbitan buku Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya (2001) yang menghimpun 25 tulisan dari sekian penulis dengan pelbagai disiplin ilmu sebagai persembahan pada Benny Hoedoro Hoed ketika pensiun dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Abdullah Dahana dalam kata pengantar buku itu mengingatkan suatu pameo: old scholar never dies. Pameo itu dimaksudkan agar Benny Hoedoro Hoed yang memasuki masa pensiun tidak mengartikannya sebagai akhir untuk pengabdian dalam dunia intelektual di Indonesia.
Pameo itu dibuktikan oleh Benny Hoedoro Hoed dengan penerbitan buku Semiotika Budaya dan Dinamika Sosial Budaya. Buku ini membuktikan intensitas Benny Hoedoro Hoed untuk membaca dan menulis mengenai semiotik dalam perspektif teoritis dan terapan. Semiotik bagi Benny Hoedoro Hoed menjadi suatu pendekatan dalam menganalisis pelbagai persoalan dan fakta-fakta perubahan sosial dan kebudayaan. Kehadiran buku ini membuktikan bahwa semiotik sampai hari belum kehilangan aura karena sekian orang masih mengakui relevansinya dalam pelbagai studi sosial, sastra, politik, dan lain-lain. Sekian intelektual Indonesia masih intens untuk melakukan kajian mengenai semiotik: Faruk HT, Kris Budiman, Tommy Christomy, Yasraf Amir Piliang, Manneke Budiman, Benny Hoedoro Hoed, dan lain-lain.
Benny Hoedoro Hoed dalam Bagian I (Kajian Budaya dalam Teori) memberi pembukaan dengan pendefinisan semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semua yang hadir dalam kehidupan ini bisa dilihat sebagai tanda dan menjadi sesuatu yang harus diberi makna. Definisi itu mulai dicarikan acuan pada pemikiran Ferdinand de Saussure (1916) yang melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk dan makna. Penjelasan lanjutan atas pemikiran itu dilakukan oleh Roland Barthes yang melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur dan terstruktur dalam kognisi manusia.
Sosok lain yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Pierce (1931-1958) yang melihat tanda sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu. Penjelasan lanjutan dari pemikiran Charles Sanders Pierce itu dilakukan oleh Danesi dan Perron yang menyebutkan bahwa manusia sebagai homo culturalis. Definisi dari sebutan itu adalah manusia sebagai makhluk yang selalu ingin memahami makna dari apa yang diketemukannya (meaning-seeking creature).
Definisi-definisi itu menjadi basis dalam pembahasan semiotik oleh Benny Hoedoro Hoed tanpa harus lekas membuat vonis bahwa semiotik itu ilmu atau bukan ilmu. Penundaan dan penghindaran vonis itu dilakukan dengan membahas perbandingan pemikiran semiotik dari Roland Barthes dan Jacques Derrida. Dua tokoh ini merupakan keturunan strukturalisme Ferdinand de Saussure dengan pemaknaan yang dinamis. Pemaknaan yang dikembangkan Barthes dan Derrida memiliki arah dan konsentrasi berbeda. Barthes cenderung mengembangkan semiotik sebagai teori dan proses konotasi yang dimiliki masyarakat budaya tertentu. Derrida justru mengembangkan semiotik dalam ranah teks bahwa tanda yang terabadikan dalam tulisan terbebas dari kungkungan manusia.
Pembahasan komparatif dilakukan Benny Hoedoro Hoed dalam perspektif semiotik pragmatis Charles Sanders Pierce yang menemukan lanjutan pada pemikiran Danesi dan Peron. Pemikiran semiotik yang mensitesiskan semiotik struktural dan semiotik pragmatis dilakukan oleh Umberto Eco. Pemikiran semiotik Eco itu dikenal sebagai semiotik komunikasi (melihat tanda sebagai alat untuk berkomunikasi yang melibatkan pengirim dan penerima tanda) dan semiotik signifikan (memfokuskan perhatian pada produksi tandanya sendiri).
Bab 2 dalam buku ini memberi penjelasan mengenai dasar teori dan perkembangan strukturalisme, pragmatik, dan semiotik. Pembahasan dalam bab ini menguraikan kembali pemikiran-pemikiran Ferdinand de Saussure dan penjelasan tambahan mengenai pengembangan yang dilakukan oleh Jean Piaget, Roland Barthes, Jacques Derrida, Michel Foucault, Roman Jakobson, Umberto Eco, dan lain-lain. Penjelasan dari pemikiran-pemikiran sekian tokoh itu menjadi acuan penting untuk terapan semiotik dalam studi dan tafsir kebudayaan yang didedahkan Benny Hoedoro Hoed.
Pembahasan pada Bab 3 dan Bab 4 terkesan teoretis dan rumit karena Benny Hoedoro Hoed menunjukkan perspektif ketat. Bab 3 merupakan analisis perbandingan antara pemkiran Derrida dengan strukturalisme Ferdinand de Saussure dalam perspektif linguistik. Bab ini menunjukkan kompetensi dan otoritas Benny Hoedoro Hoed yang telah mengalami pergulatan panjang dan intensif dalam studi semiotik. Bab 4 mulai ditunjukkan pembahasan teoritis dan contoh terapan mengenai bahasa dan sastra dalam perspektif semiotik dan hermeneutik.
Bagian II dalam buku ini (Kajian Budaya dalam Dinamika Masyarakat) merupakan kompilasi tulisan dengan hubungan renggang. Bagian II ini seakan terpisah dengan Bagian I dalam pembahasan teori dan terapan semiotik. Pengecualian terasa pada tulisan “Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini “ dan “Tubuh dan Busana Ditinjau dari Kacamata Semiotik” yang kentara melakukan penerapan analisis semiotik. Bab-bab lain “Dekonstruksi, Globalisasi, dan Kreativitas”, “Transformasi Budaya di Perdesaan”, “Etika dan Ekonomi Kehidupan Modern” merupakan representasi dari keluasan perhatian dan kajian Benny Hoedoro Hoed terhadap pelbagai perubahan sosial dan kebudayaan.
Kehadiran buku ini merupakan pembuktian antusiasme intelektual dari Benny Hoedoro Hoed pada usia tua untuk memberi kontribusi dalam kahzanah studi semiotik dan kebudayaan di Indonesia. Haryatmoko dalam “Prakata” menilai bahwa kunci keberhasilan Benny Hoedoro Hoed dalam membuat paparan dan analisis yang komprehensif mencakup tiga hal: (1) penguasaan linguistik dan familiaritasnya dengan mentalitas pemikiran Prancis; (2) kemampuan penulis untuk memberikan contoh-contoh relevan untuk membantu menyederhanakan konsep-konsep pelik ke model-model skematis yang memberi pola pemikiran; dan (3) kemampuan penulis menerapkan dan mengembangkan pelbagai teori dalam analisis budaya dan politik.
Penilaian itu memberi klaim bahwa buku Semiotika Budaya dan Dinamika Sosial Budaya patut mendapat perhatian dan menjadi buku acuan untuk para peneliti dalam studi semiotik dan kebudayaan. Kehadiran buku ini hendak mengabarkan bahwa semiotik merupakan sesuatu yang tetap relevan dan penting dalam wacana intelektual hari ini di Indonesia. Benny Hoedoro Hoed mengingatkan: “Semiotik memberikan kemungkinan kepada kita untuk berpikir kritis dan memahami bahwa tidak ada satu otoritas yang berwenang memberikan makna atau penafsiran atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya kita.” Begitu.

Dimuat di Suara Pembaruan (21 September 2oo8)

Tidak ada komentar: