Jumat, 05 September 2008

Keluarga, Sastra, Media

Oleh: Bandung Mawardi

Keluarga menjadi perhatian pengarang sejak Balai Pustaka (1920-an) sampai hari ini. Kisah keluarga bisa dibaca dalam novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Di Tengah Keluarga, Keluarga Permana, Para Priyayi, Canting, Nayla, dan lain-lain. Kisah-kisah keluarga dalam teks sastra itu terus mengalami ketegangan antara pewarisan nilai-nilai lokal, agama, modernitas, dan godaan-godaan mutakhir. Keluarga berada dalam kondisi mapan, sehat, rusak, sakit, pecah, atau mati dengan pelbagai persoalan ekonomi, ideologi, agama, politik, dan lain-lain.
Keluarga dalam teks-teks sastra itu adalah kish-kisah tertentu yang mereprsentasikan situasi perubahan kondisi keluarga di Indonesia. teks-tek sastra itu bisa menjadi acuan untuk membaca dan menafsirkan ulang kondisi keluarga hari ini. Novel Salah Asuhan (Abdul Moeis) mengisahkan keluarga dalam tegangan tradisi dan modernitas ketika Indonesia masih repot menghadapi kuasa kolonialisme. Keluarga Permana (Ramadhan KH) mengisahkan keluarga dalam situasi sosial Indonesia yang ingin membentuk diri dengan pencapaian-pencapaian ekonomi dan politik. Kisah kecil mengenai keluarga itu menjadi representasi kelengahan dan kelemahan institusi keluarga dalam proses transformasi sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Kisah keluarga yang mengejutkan hadir dalam novel Nayla (Djenar Maesa Ayu). Novel Nayla mengisahkan keluarga dalam kondisi kesemrawutan dan krisis besar pada “dunia dan abad yang berlari”.
* * *
Keluarga sebagai institusi sosial mengalami transformasi dari keluarga tradisional ke keluarga modern. Transformasi itu membawa risiko-risiko besar untuk mencari-menemukan sesuatu dan kehilangan sesuatu. Keluarga tradisional yang meyakini ikatan kuat darah dan nilai-nilai berubah ke arah yang rentan untuk pecah. Keterpecahan itu sekadar menyisakan label keluarga karena individu-individu ada dengan pilihan bebas untuk peran dan nasib. Individu-individu dalam keluarga menemukan kebebasan dan menerima risiko untuk kesadaran kolektif keluarga yang mulai rentan.
Keluarga-keluarga artifisial tercipta karena diinginkan dan memberi kompensasi tertentu. Keluarga itu lahir dari televisi, komunitas, partai politik, pengajian, dan lain-lain. Kehadiran “keluarga” itu seakan menjadi intitusi tandingan yang memakai referensi dan sistim liberal dibandingkan keluarga yang asal. Pilihan untuk menikmati kehidupan “keluarga” itu menjadi persoalan untuk pengalaman identitas individu-kolektif yang ambivalen dan dilematis.
Francis Fukuyama dalam buku Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru (2005) menjelaskan suatu perubahan nasib keluarga dengan acuan pandangan klasik: “Sebagian besar teori sosial klasik dari awal abad ke-19 bertolak dari asumsi bahwa ketika masyarakat menjadi modern, peranan keluarga akan semakin tidak penting dan digantikan oleh ikatan-ikatan sosial yang semakin bersifat pribadi.” Hal itu mungkin berlaku di Eropa yang mengalami pelbagai revolusi politik, sosial, ekonomi, media, dan komunikasi. Mungkinkah itu terjadi di Indonesia? Pertanyaan yang bisa terjawab: pergantian peranan keluarga itu sudah terjadi.
* * *
Apa kabar keluarga hari ini? Keluarga Indonesia mengalami godaan besar dalam fakta-fakta sosial terkait dengan media. Keluarga telah menjadi komoditi untuk kepentingan-kepentingan besar yang bisa terbaca dari sekian fakta-fakta media. Melihat acara-acara televisi hari ini adalah melihat permainan yang cenderung manipulatif ketika keluarga menjadi komoditi. Keluarga hadir dengan pencitraan media yang memiliki orientasi sensasional dan komersial.
Berita-berita keluarga-keluarga artis yang pecah (konflik, kekerasan rumah tangga, perceraian, selingkuh) menjadi tontonan dan kisah yang meminta penonton untuk mengonsumsi, memikirkan, dan intervensi. Sinetron-sinetron tak pernah absen dengan menghadirkan kisah-kisah keluarga yang konflik, rusak, dan pecah karena urusan uang, cinta, warisan, kedudukan, harga diri, dan lain-lain. Kisah-kisah keluarga dalam sinetron-sinetron berhadapan dengan keluarga-keluarga riil yang duduk berkumpul di depan televisi. Keluarga yang menonton televisi tanpa sadar mengalami keberjarakan individu dan mungkin abai terhadap eksistensi keluarga faktual. Kisah keluarga yang memiliki kuasa adalah sinetron dan keluarga yang menonton berada dalam posisi tunduk.
Kisah-kisah keluarga dalam televisi menemukan eksplanasi dalam media cetak (koran, majalah, tabloid) yang memberikan porsi besar untuk pemberitaan artis, sinetron, dan acara-acara televisi. Keluarga terus digoda dan diarahkan oleh kuasa media untuk menjadi keluarga dalam jalan besar industrialisasi dan komersialisasi. Keluarga sebagai komoditi memberikan pengaruh dan risiko besar untuk perubahan keluarga-keluarga Indonesia.
* * *
Kisah keluarga Indonesia mengalami kejutan-kejutan besar yang menyimpan “kuman” dan “teka-teki’. Keluarga kehilangan identitas asal dan berjalan jauh hendak memiliki identitas-identitas mutakhir. Kuman yang mungkin ada adalah krisis keluarga untuk melakukan penguatan individu dan kolektivitas dalam arus hidup yang berkelimpahan nilai, doktrin, informasi, mimpi, dan gosip. Krisis itu mungkin risiko dari tegangan dan akumulasi proses pembentukan identitas individu dan sosial. Peter L. Berger menyebut proses sosiologis pembentukan identitas itu dalam rumusan: eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi.
Sosiologi keluarga modern terus berhadapan dengan pola perubahan yang kompleks dan cepat. Identifikasi dalam konstruksi dan menguatkan identitas diri-kolektif dalam keluarga sudah beralih ke kiblat sinetron, iklan, acara gosip (infotainment), dan lain-lain. Hal-hal yang diinginkan dan dimiliki cenderung pada identitas parsial. Substansi identitas keluarga menjadi perkara yang kurang terpikirkan karena ada alasan-alasan untuk adaptif dalam waktu singkat dengan rasionalisasi dan estetisasi.
Keluarga-keluarga yang menjadi perhatian publik mulai menampakkan fenomena krisis nilai dan identitas. Keluarga artis terus dihadirkan dengan keentengan hidup yang hedonis dan glamour. Nilai-nilai keluarga diolah dengan pola yang srampangan. Konflik keluarga artis hendak mengabarkan bahwa identitas keluarga gagal dikonstruksi karena godaan-godaan karier, publisitas, sensasi, dan uang.
* * *
Keluarga dalam sastra dan televisi adalah keluarga dengan tafsir dan realisasi yang terbuka untuk nostalgia dan utopia. Kisah keluarga yang mengejutkan datang dari penyair Afrizal Malna dalam puisi “Keluarga Indonesia dalam Ambulans” (1995). Ungkapan itu hendak mengabarkan bahwa ada situasi krisis, sakit parah, dan kondisi darurat yang dialami oleh keluarga-keluarga di Indonesia. Ungkapan Afrizal Malna itu hendak memperingatkan bahwa ada garis tipis antara kehidupan dan kematian keluarga. Begitu.

Dimuat di Surabaya Post (24 Agustus 2008)

Tidak ada komentar: