Oleh: Ridha al Qadri
Setiap film terdiri dari sekian gambar, atau tanda dan imaji, yang diorganisasikan melalui teknik sinematografi. Di satu pihak, objek-objek yang ditangkap oleh kamera mempunyai pola, alur, dan gerak tersendiri. Di lain pihak, kamera juga selalu digerakkan: alih sudut pandang dan pengaturan jarak gambar.
Apa yang kita sebut konsep sinematografi adalah ketika jenis-jenis imagi dan tanda saling dikombinasikan satu sama lain dalam sebuah film. Imaji sering diibaratkan sebagai gambar “tiruan” dari kenyataan. Sebuah film tidak cuma dibuat dari satu gambar saja, melainkan disusun dari perpaduan beberapa macam gambar yang terus bergerak. Tipe-tipe imagi, atau variasi-variasi gambar itu, merupakan elemen penting di mana gerak-imaji memperoleh ragam identitasnya.
Gilles Deleuze dalam jilid pertama buku Cinema (London, Continuum: 2005) menyebutkan, bahwa terdapat tiga macam tipe imaji dalam sinematografi: imaji-persepsi, imaji-afeksi, dan imaji-aksi. Tiap tipe imaji ini memiliki karakteristik masing-masing, dan saling bertukar fungsi satu sama lain. Adapun seluruh benda atau objek atau manusia dalam film membentuk signifikansi tertentu ketika kamera mendekatkan pandangan pada tipe imaji tertentu itu.
Namun, yang sering problematik dari sekian imaji sebuah film adalah seperti apa sebuah wajah ditampilkan.
Film dan Tipe Imaji
Kita dapat mengingat saat Fahri dan Maria, dalam film Ayat-ayat Cinta, berdiri di atas sebuah jembatan dan di depan mereka terbentang lanskap; sungai dan langit. Di sana, gerak kamera seakan-akan tidak terlalu fokus pada sosok dua orang tersebut. Malah kamera memberi ruang yang agak luas terhadap dinamika latar di sekitar mereka. Pembicaraan berlangsung lamban, lebih banyak kesunyian. Justru pandangan kita dipenuhi dan digerakkan oleh dunia yang mengitari mereka.
Di bagian film seperti ini, imaji yang dicerminkan dari dunia lebih banyak menyediakan cerapan bagi indera. Impresi seperti itu tidak terlalu mengundang emosi. Pada saat seperti itu, imaji merupakan kumpulan objek yang sekedar menyiapkan kesan inderawi bagi penonton. Sensasi inderawi penonton adalah maksud dari tipe imaji-persepsi ini.
Pada momen berikutnya, mungkin saja gerak kamera akan menangkap gambar seseorang yang sedang melakukan sesuatu. Dalam setting kamar, misalnya, barangkali seorang aktor sedang berinteraksi dengan beberapa benda atau orang lain. Imaji ini disebut imaji-aksi. Gilles Deleuze membedakan dua signifikansi peristiwa dari imaji ini yang bisa dikonstruksi dalam film, yakni “dari situasi ke aksi” dan “dari aksi ke situasi”.
Dalam film Telegram, yang diangkat dari novel Putu Wijaya, sang tokoh utama menghadapi situasi bingung setelah menerima kabar bahwa ibunya meninggal dunia. Suasana hidupnya jadi kurang menyenangkan. Tokoh itu, yang tinggal di Jakarta, diminta pulang ke Bali. Kondisi ini menimbulkan bermacam pikiran dan tindakan pada sang tokoh. Inilah imaji-aksi dari situasi ke aksi.
Atau kita lihat kembali ketika Robert Langdon, tokoh dalam The Da Vinci Code, berusaha melakukan sesuatu setelah cemas melihat jenazah kurator Jaques Sauniere yang dibunuh. Di sana, tindakan sang aktor diniatkan karena ipengaruh keadaan yang sedang dihadapi. Atau seperti posisi beberapa tokoh dalam film Vertical Limit, yang mesti cepat memutuskan untuk bertindak setelah panik melihat longsoran salju terlihat dari lereng gunung ke arah mereka.
Sedangkan untuk contoh dari aksi ke situasi: tokoh Ajeng dalam Mereka Bilang, Saya Monyet? ketika menulis sebuah cerpen yang menimbulkan rasa tidak nyaman antara ia dan ibunya. Hal ini dikarenakan, cerpen itu mengisahkan kembali aib keluarga, bahwa Ajeng diperkosa kekasih ibunya. Iklim keluarga menjadi tegang. Yang menarik dari film ini, antara episode masa lalu dan episode masa kini ditampilkan silih berganti. Meskipun peristiwa-peristiwa itu dihadirkan tidak linear oleh alur waktu, justru dengan begitu, peralihan antara imaji-imaji yang muncul memberi banyak penjelasan yang tak terkatakan dari dialog.
Atau dalam film Saw II, ketika seorang perempuan memasukkan kedua tangan pada kotak kaca. Awalnya ia hendak mengambil penawar racun. Ternyata, kotak kaca itu terdapat jebakan, semacam pisau, yang menyanyat kedua tangannya. Di sana kita lihat: wajah berair mata, isak tangis, dan jerit panjang kesakitan. Di ruang yang lain, orang-orang yang tak melihat peristiwa tersebut makin cemas walau cuma mendengar jerit itu. Bahkan ada yang menampakkan wajah mual karena mengerti arti jerit itu.
Wajah dalam Film
Tiap film memungkinkan tiap tipe imaji itu bergantian hadir seiring gerak peristiwa. Seluruh tipe imaji itu saling melengkapi dan kadang tumpang tindih. Pada sebuah momen, kamera mungkin akan mengurangi jarak pandang ke objek atau aktor tertentu. Deleuze menyebutnya untuk menekankan arti imaji sebagai emosi. Gambar seperti itu bertujuan membangkitkan interes pada diri penonton. Imaji-afeksi ini terjadi bila close-up kamera hendak menekankan semacam rasa dari gejala objek yang direkam.
Ketika Bruce Willis bermain di film Tears of The Sun, terasa sekali bagaimana wajahnya dikondisikan secara berbeda dengan aktingnya dalam 4 film Die Hard. Pada film pertama, banyak sekali momen bagi kamera untuk mendekati wajah Bruce Willis, sebagai Letnan dengan misi penyelamatan di wilayah perang saudara Nigeria, yang sering menampakkan raut muka ragu sekaligus peduli pada kemanusiaan. Wajah itu tidak sering marah seperti wajah yang tampil dalam Die Hard. Selain itu, nyaris tak terlihat senyum dan tawa liar sang aktor.
Dengan demikian, wajah memiliki bahasa tersendiri, walau di sana tiada sesuatu yang tertulis. Wajah mempunyai peran khusus jika ide cerita film memerlukan pengartian khusus. Dalam bahasa Deleuze: “kadang, sebuah wajah memikirkan sesuatu”.
Dengan kata lain, ekspresi wajah merupakan perluasan dari praktik komunikasi. Informasi mengenai sifat dan pikiran sebuah karakter makin mungkin dimengerti jika wajah itu menunjukkan kualitas-kualitas yang memang harus diperankan. Persoalannya akan lain jika muncul pertanyaan: demi arti apa gerak wajah yang diperbesar oleh gerak kamera itu?
Wajah Komikal
Memang tidak semua wajah dengan ekspresi sedih tidak mengundang penonton untuk tidak tertawa. Film-film komedi menunjukkan hal tersebut. Kenyataannya, kita tak begitu sedih melihat ekspresi sakit dari wajah Mr. Bean sewaktu sekian detik close-up kamera. Justru kita merasa sulit menahan geli pada wajah yang cemas itu. Kita juga tak terlalu tegang saat mengamati ketakutan tokoh-tokoh dalam Scarie Movie. Dalam film komedi, ekspresi wajah yang takut dicairkan oleh gerak kamera yang menangkap sisi komikal dari imaji. Dari imaji-imaji demikian, identitas imaji wajah tak selalu meyakinkan.
Bahkan, ekspresi wajah yang menderita, ketika didekati kamera belum tentu membangkitkan emosi menderita pula pada diri penonton. Penonton mudah simpati dan empati. Wajah sedih Fahri waktu dipenjara, dan juga wajah cemas Aisya, justru membuat penonton yakin bahwa mereka pasti bahagia. Atau setidaknya menjelang bahagia.
Maka, dalam film, kekuatan imaji wajah adalah gambar yang sanggup membolak-balik arti persepsi penonton. Pada imaji-persepsi dan imaji-aksi, distorsi makna kurang mengundang penyimpangan sensitifitas dan interpretasi penonton. Namun, beranikah para aktor dan sineas kita menjelajahi sekian kemungkinan itu? Sebab, sebaik apa pun peran Sujiwo Tedjo sebagai wartawan dalam Telegram, sangat sulit kita melupakan wajah itu, yang tetap berambut gondrong itu, bahwa kenyataannya dia seorang seniman. Atau, kelamnya sisi psikologis yang diderita tokoh dalam Mereka Bilang, Saya Monyet?, ternyata kurang tercermin dari wajah cantik yang nyaris tampil selalu stabil itu.
Dimuat Suara Merdeka (Minggu: 14 September 2008)
Bacaan:
Gilles Deleuze, Cinema 1: The Movement-Image, translated from French by Hugh Tomlinson and Barbara Habberjam, Continuum, London, 2005.
Selasa, 16 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar