Senin, 23 Februari 2009

Menulis dan Konsekuensi

Bandung Mawardi

Kabut Institut (Pusat Studi Sastra, Filsafat, Agama, dan Kebudayaan) didirikan pada 18 Januari 2006. Komunitas ini mengimani dan mengamini kerja kultural dengan membaca, menulis, dan diskusi. Kerja awal dilakoni dengan kegandrungan melakukan pembacaan dan penilaian atas sekian esai, puisi, novel, buku, atau risalah untuk mengolah kompetensi intelektual.
Kabut Institut membuat aksentuasi dalam jagat menulis dengan pelbagai risiko. Pilihan tema dan bentuk tulisan menjadi perayaan pluralistik. Proses menulis kerap diawali dengan pertemuan atau komunikasi melalui sms dan email untuk memerkarakan hal-hal tertentu. Komunikasi dan interaksi itu memungkinkan tiap orang memiliki perspektif beda dan kritis. Perbedaan itu justru jadi pembuka jalan untuk menulis dengan gairah kompetitif. Penguatan dilakukan dengan menulis esai pendek atau panjang untuk dipresentasikan bersama.
Laku menggemaskan kerap terjadi ketika 5 orang penulis di Kabut Institut saling melakukan kritik. Pola sugestif ini menciptakan gairah untuk melakukan apologi atau sadar diri dengan mengangankan dan merealisasikan tulisan dalam parameter lebih tinggi. Kegairahan pun tercipta dengan saling memberikan julukan sebagai konsekuensi ketekunan menulis atau frekuensi publikasi tulisan di media.
Heri Priyatmoko menerima julukan sebagai “ksatria koran” karena tulisan sering dimuat di koran. Haris Firdaus merasa naif dengan julukan “juragan tulisan” karena rajin menulis untuk blog. Bandung Mawardi pasrah dengan julukan “resi di atas angin” karena membuat tulisan dengan bahasa kaku dan wagu. Ridho al Qodri dijuluki “sufi esai” karena membuat perhitungan matang dalam menulis esai meski lambat. Yunanto Sutyastomo mendapat julukan “priyayi artikelis” karena menulis dengan spirit kepriyayian.
Menulis memiliki makna sebagai realisasi dan representasi untuk membaca dan menilai pelbagai hal. Risiko dari menulis memang kerap memberi pilihan-pilihan manis dan sinis. Menulis kadang membuat dunia jadi terang dan gelap. Kondisi itu ditentukan oleh tanggapan dan bentuk apresiasi ketika tulisan termuat di koran atau majalah. Tulisan jadi pertaruhan harga diri dan kompetensi penulis.
Kabut Institut melakukan kerja kultural besar dengan membuat acara Workshop Penulisan Kritik, Esai, dan Jurnalisme Sastra (2008) di Solo. Acara itu jadi bukti untuk silahturahmi dalam olah dan ulah menulis. Menulis menjadi spirit dan konsekuensi untuk manusia sadar diri dan membebaskan diri dari kedunguan. Silahturahmi penulis itu membuat gairah menulis menemukan dalil dan risiko.
Komitmen untuk misi pembelajaran menulis dilakukan Kabut Institut dengan program Pengajian Kalimat. Program ini merupakan ikhtiar dalam pembelajaran menulis selama 5 kali pertemuan dengan kurikulum ambang batas. Pengajian Kalimat dilaksanakan di Kartasura (Sukoharjo) selama bulan Februari 2009 dengan 9 peserta. Belajar menulis bersama itu jadi konsekuensi dan kompensasi Kabut Institut untuk merealisasikan angan masyarakat literasi. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (14 Februari 2oo9)

Eksplorasi Candi Sukuh

Bandung Mawardi

Candi Sukuh adalah situs sejarah di lereng Gunung Lawu. Keberadaan candi itu diperkirakan ada sejak abad XV. Candi Sukuh sebagai situs sejarah di Kabupaten Karanganyar terkenal dengan julukan “candi porno”. Candi Sukuh identik dengan kisah Sudamala dan relief lingga-yoni yang merepresentasikan seksualitas. Soekmono (1986: 114) menyebutkan bahwa relief di Candi Sukuh itu sederhana dan wagu seperti buatan orang-orang terpencil atau bukan ahli pahat batu.
Candi Sukuh selama ini terkesan kurang mendapat perhatian dari Pemkab Karanganyar. Program wisata sekadar jadi klaim tanpa realisasi yang konstruktif. Fenomena itu adalah sisi kecil kegagalan Pemkab Karanganyar dalam penurunan kunjungan wisata pada tahun 2008. Candi Sukuh memang bukan sekadar objek wisata tapi kunjungan yang sedikit membuat Candi Sukuh jadi sepi dan mungkin terabaikan.
Perhatian justru muncul dari kalangan seniman. Penari kondang Suprapto Suryodarmo (Padepokan Lemah Putih) kerap mengadakan festival seni di Candi Sukuh sebagai bentuk ikatan historis, batiniah, dan estetika. Laku seni itu melibatkan pelbagai seniman dari Indonesia dan luar negeri. Para seniman melakukan eksplorasi sebagai ikhtiar membaca dan menafsirkan alam, manusia, dunia, dan hidup.
Festival seni di Candi Sukuh pun melibatkan masyarakat dalam laku spiritual untuk mengekspresikan pujian dan permohonan keselamatan pada Tuhan. Candi Sukuh menjadi lokus untuk syukur manusia atas limpahan nikmat dan tanda peringatan untuk menyadarkan manusia atas ekologi dan humanitas dalam interaksi sosial. Pelbagai laku seni dan spiritualitas itu menunjukkan bahwa candi tidak sekadar sebagai objek wisata atau penelitian arkeologis.
Penari Mugiono pun pernah melakukan eksplorasi seni di Candi Sukuh dalam repertoar tari Mencari Mata Candi. Candi menjelma ruang meditasi, ruang inpirasi, panggung tari, dan sumber imajinasi. Pembacaan dan pemahaman candi sebagai ruang publik untuk seni dan spiritualitas tentu melengkapi pandangan candi sebagai situs sejarah. Pemanfaatan sebagai ruang publik tentu harus menaati undang-undang dan etika untuk pemunculan manfaat yang positif dan konstruktif.
Keberadaan Candi Sukuh mesti jadi perhatian kolektif dengan sinergi dari energi pemerintah, seniman, arkeolog, sejarawan, dan masyarakat. Candi Sukuh mungkin jadi ruang publik untuk eksplorasi seni, spiritualitas, pengetahuan sejarah, atau pendidikan kultural. Eksplorasi terhadap Candi Sukuh memang terbuka dengan pelbagai ide dan tindakan.
Eksplorasi dari seniman patut diikuti dengan perhatian Pemkab Karanganyar memberi perhatian maksimal atas Candi Sukuh. Eksplorasi kontruktif bisa dilakukan dengan melibatkan pelbagai institusi pendidikan, seni, dan kebudayaan untuk menjadikan Candi Sukuh sebagai acuan dalam pembelajaran sejarah dan ekspresi kultural. Program itu bisa dilakukan dengan pertimbangan memberi manfaat untuk pelbagai pihak dalam mengapresiasi dan mengeksplorasi Candi Sukuh secara positif dan konstruktif. Begitu.

Kompas Jateng (1o Februari 2oo9)

Minggu, 22 Februari 2009

Sejarah Bioskop di Solo

Heri Priyatmoko

Kota Solo tempo doeloe disebut sebagai -meminjam istilah Kuntowijoyo- “jantung Pulau Jawa”. Sebab, kota ini menjadi pusat pemberhentian penumpang KA yang hendak ke jurusan Batavia, Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang. Banyak dari mereka yang menikmati keindahan kota dan hiburan, termasuk bioskop.
Dalam tulisan ini saya ingin mengulas perjalanan sejarah bioskop di Solo mulai awal kemunculannya sampai tahun 1990-an. Film dan bioskop di awal kehadirannya dianggap sebagai ikonografi modernitas dunia hiburan perkotaan. Pada dekade pertama abad ke XX, tidak lama dari titik penemuannya, hiburan baru ini merayap ke segenap penjuru dunia, mengisi waktu luang orang-orang kota. Ikonografi modernitas hiburan ini sampailah di Solo, kira-kira tahun 1910-an.
Sebelum muncul bentuk bioskop permanen yang juga masih sangat sederhana (gedung/theather), telah ada lanyar tancap, yang oleh warga disebut gambar sorot atau gambar hidup. Filmnya bisu, hanya gambar bergerak. Mereka hanya menyaksikan gambar yang disorotkan dari proyektor ke layar. Lantas, pemilik layar tancap menyediakan sebuah orgel-elektrik besar sebagai instrumen pengiring gambar-gambar bisu yang ditampilkan. Jika hujan datang, penonton seketika bubar menyelamatkan diri dari guyuran air hujan.
Tidak lama kemudian muncullah bioskop tenda keliling. Bagi yang hendak menonton, harus membayar ongkos karcis sebesar 10-15 sen. Penduduk menamakannya “bioskop pes”. Pasalnya, film yang diputar tentang penyakit pes di pedesaan. Film ini sengaja dikampanyekan atas instruksi pemerintah Belanda untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat agar membiasakan hidup sehat dan bersih biar terhindar wabah pes, lantaran penyakit ini meneror penduduk dan bikin pusing pemerintah kolonial.
Tenda bioskop dihias sedemikian rupa dengan dekorasi bendera dan umbul-umbul. Salah satu sisi bagian dalam tenda terpampang sebuah layar besar di mana gambar idoep diproyeksikan. Sisi-sisi lainnya ditempeli poster-poster film unggulan yang hendak diputar. Lantai tenda dilapisi vloer dan alas semacam tikar. Meski sarana pertunjukan film terbilang masih sederhana, tenda bioskop tampil cukup menghebohkan untuk ukuran seabad lalu (Taufanny Nugraha, 2007). Dari malam ke malam bioskop terus memperoleh animo yang baik dan selalu penuh penonton. Rasa penasaran orang atas film-film yang akan dihidangkan seolah tak kunjung reda. Saat cuaca kering maupun hujan, saban malamnya orang-orang berbondong ke Alun-alun dan segera memenuhi tenda bioskop.
Saat itu bioskop lazim tampil sebagai bagian dari sebuah gedung kesenian (roemah koemedie). Film dalam bioskop ialah salah satu bentuk pertunjukan yang ditawarkan di roemah koemedie, di samping pertunjukan konvensional seperti koemedie stamboel, tonil, dan konser orkes musik.
Masuknya perusahaan listrik swasta NV Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM) di Solo turut mempengaruhi perkembangan bioskop. Sebelumnya penduduk hanya menikmati gelaran tradisional. Seperti, sekaten, malem selikuran, wayang, dan tayub. Setelah adanya SEM, bisnis bioskop semakin diminati. Misalnya, pendirian Bioskop Sriwedari, Nieuw Bioscoop di Pasar Pon, dan Schouwburg Poerbajan (sekarang eks Bioskop Fajar). Hiburan ini menyedot penonton dari berbagai pelosok daerah. Diberitakan oleh Residen Surakarta, F.P Sollewijn Gelpke bahwa priyayi dari Sragen, Klaten, dan Wonogiri melihat film bioskop yang dibintangi Charlie Chaplin, Rudolf Valentino, Herald Loyd, dan Gloria Swanson (Arfani, 2008).
Dalam awal pemutaran film Indonesia, terlebih dahulu adalah di Kota Bandung. Sebab, di Bandung penguasa daerahnya sejak dulu ikut berperan menjalin kerja sama dengan para sineas. Film perdana yang dibikin di Indonesia adalah Lutung Kasarung (1926) produksi NV Java Film, garapan G. Krugers dan L. Heuveldorp. Ini tak lain berkat kepedulian Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah V yang sohor disebut Dalem Haji. Beliau termasuk salah seorang bupati yang menyukai cerita-cerita legenda Sunda. Pemain-pemain “Lutung Kasarung”, semuanya orang pribumi, antara lain para priyayi, di bawah pimpinan Raden Karta Barata (Eddy D. Iskandar, 2008).
Tahun 1980 merebak belasan bioskop di Kota Bengawan. Antara lain, Bioskop Star di Widuran, Dhady Theatre dan Ura Patria (UP) Theatre di Pasar Pon, Galaxy Theatre di jalan Perintis Kemerdekaan (Purwosari), Solo Theatre di Sriwedari, Nusukan Theatre di Nusukan, Regent Theatre di Jalan Veteran, Golden Theatre di Wingko, Bioskop Trisakti, President Theatre, dan Rama Theatre (sebelah Barat Panggung Jebres), serta Bioskop Kartika di Beteng.
Cara mereka mengiklankan film yaitu dengan memasang papan yang bertuliskan nama bioskop dan jam main filmnya di titik-titik wilayah yang strategis. Di bawahnya ada lembaran tulisan yang berisi judul film, nama aktor dan artisnya. Selain itu, pihak bioskop juga mengiklankan dengan menggunakan mobil berkeliling kota. Bagian depan mobil diselimuti kain gambar film dan dilengkapi corong untuk menyiarkan judul dan bintang film.
Di tahun 1990-an hadir konsep bioskop modern yang disebut 21 (twenty one), yang diwakili oleh gedung bioskop megah Atrium 21 yang terletak di Solo Baru. Bioskop ini sangat besar dengan 8 teater dan filmnya update. Namun, ketika kerusuhan Mei 1998 (bersama Studio Theatre di Singosaren) bioskop mewah tersebut dibakar massa. Hadirnya alternatif hiburan dalam bentuk vcd, dvd, dan siaran teve swasta, berdampak pada mulai sepinya peminat bioskop. Para pengelola juga mengeluhkan terbatasnya akses mendapatkan film baru. Untuk memperoleh film Indonesia baru, mereka menunggu paling tidak 2-6 bulan setelah jaringan bioskop di kota-kota besar selesai memutarnya. Tetapi manakala mereka telah menerima jatah, vcd dan dvd bajakan film itu sudah banyak beredar pula. Akhirnya mereka tergilas dan banyak yang kolaps.
Kini, sebagian besar artefak sisa kejayaan bioskop di Solo masa kolonial telah punah disulap menjadi bangunan-bangunan baru. Sementara sedikit sekali sisa yang masih bisa kita temukan artefak bioskop zaman Orde Baru hingga detik ini. Sekarang, bioskop seakan tidak lagi bisa dikenali melalui rupa fisiknya. Bioskop dewasa ini tampil sebagai bagian dari bangunan besar pusat belanja (town square, mal atawa plaza). Tiada lagi dijumpai bioskop dalam “gedung bioskop”.

Dimuat di Majalah GONG No. 107/X/2009

Indis

Heri Priyatmoko

Selepas seminar Dialog Publik Benteng Vastenburg di Bale Tawangarum kemarin, Mas Bogel tidak langsung balik ke rumah. Ia mampir ke warung langganannya di Gajahan. “Janur gunung, Mas. Kemana saja kok lama tidak nampak batang hidungnya?” sapa Mbak Estik, pemilik warung, sedikit bercanda.
“Sebulan di Arsip Nasional Jakarta mencari dokumen sejarah Benteng Vastenburg,” jawab enteng Mas Bogel.
Tanpa diminta, Mbak Estik segera membikinkan es jeruk kesukaan tamunya ini. “Apa sih peran Benteng Vastenburg di masa lalu, yang sampai detik ini terus diperdebatkan?” tanya Mbak Estik.
“Melihat dengan mata fisik, bangunan di depan kantor pos itu memang tinggal seongak tembok. Namun membaca dengan mata budi, tahukah kita, benteng ini penuh riwayat sejarah. Bangunan tersebut selain untuk pertahanan militer Belanda, juga sebagai civic center. Dari hasil kajian morfologi perkotaan, kalau tidak ada Benteng Vastenburg tidak mungkin Solo tumbuh sebagai kota,” tegas Mas Bogel.
Bukti simbol perkotaan masih ada di sekitar benteng. Seperti Gereja St. Antonius, Javasche Bank (BI), kantor pos, kantor residen (sekarang Balaikota), dan pemukiman Indis-Eropa Loji Wetan.
“Mas, berarti di Solo tempo doeloe pernah hadir kebudayaan Indis, dong?” sela Reni, adik Mbak Estik, yang sejak tadi nguping dan tertarik dengan pembicaraan ringan ini.
“Betul, Ren. Yang dimaksud kebudayaan Indis atau Indo ialah hasil akulturasi antara budaya Barat dengan budaya yang telah ada di tingkat lokal. Percampuran ini meski dipaksakan penguasa Eropa, namun lambat-laun terserap jua,” terang Mas Bogel seraya tangannya mencomot martabak.
Toewan-toewan kulit putih datang ke Hindia Belanda dilarang membawa istri. Maka untuk membereskan urusan dapur, mereka mempunyai koki, lazim disebut nyai. Tidaklah heran bila kehidupan bersama (samenleving) ini membuahkan anak yang disebut Indo. Gaya hidup Indo seperti orang Eropa pada umumnya. Yang wanita tidak memakai jarik dan pria memakai kemeja, bersepatu dan menganut monogami. Dimana tingkah laku mereka menyerupai orang Eropa, kian tinggi pula derajatnya.
“Lha bagaimana gerak sejarah orang-orang Indo ini selanjutnya, Mas?” tanya Mbak Estik karena tak pernah mendengar tema kebudayaan Indis di Solo diangkat dalam forum diskusi.
“Saat Jepang kalah dalam PD II, terjadi chaos atau situasi yang disebut periode bersiap. Suatu keadaan dimana rakyat melawan Belanda untuk mempertahankan orok Indonesia. Bersamaan itu pula, banyak orang Eropa dan Indo yang memutuskan kembali ke negara asalnya (repatriasi). Setelah Belanda mengakui kemerdekaan RI tahun 1949, orang Indo yang masih di Indonesia memilih untuk kembali ke Belanda. Sebagian lagi menyebar ke Papua New Guinea, Amerika Serikat dan Kanada,” Mas Bogel panjang lebar.
“Setelah terusir dari Bumi Pertiwi, bagaimana orang-orang Belanda ini menilai Kota Solo?” Reni kembali sodorkan pertanyaan.
“Mantan Residen Solo, M.B van der Jagt dalam Memoires menulis, orang-orang Belanda tidak bisa menahan kerinduan akan “surga yang hilang”. Mereka menyolek Solo sebagaimana kota-kota lainnya menjadi kota yang cantik. Bahkan lebih cantik dari pada tanah airnya sendiri,” jawab Mas Bogel.
Mbak Estik segera mengaitkan kondisi Solo sekarang. Dalam benak Mbak Estik, apa yang dilakukan Pak Jokowi suatu tindakan yang jempol, memoles Solo dengan semangat Solo’s past is Solo’s future. Turis kian tertarik karena Solo tempat nostalgia yang susah dilupakan. Mungkin generasi sekarang keturunan keempat dan kelima dari kelompok Indis yang pertama. Tapi, tradisi orang Eropa yang perlu kita sadari yaitu mereka gemar melacak jejak dan merenda masa lalu leluhurnya ketika di Indonesia. Artinya, ini peluang pariwisata Solo tempo doeloe.

Dimuat Suara Merdeka 21 Februari 2009

Minggu, 08 Februari 2009

Mengaji Ibu

Bandung Mawardi

Ibu dalam sejarah peradaban manusia kerap menjadi pusat atau sumber dari nilai-nilai dan tatanan hidup. Peran ibu itu memiliki acuan legitimasi dari teologi dan mitologi. Pengesahan secara rasionalitas modern pun membuat ibu semakin menempati posisi strategis dalam lakon peradaban. Ibu sejak babak historis sampai hari ini memang dominan membuktikan diri sebagai sosok kunci dalam memberi wajah dan arah lakon hidup manusia. Ibu pun menjadi realitas tak selesai dalam tafsir dan selalu menyimpan misteri kehidupan.

* * *

Ibu kerap menjadi representasi kosmis. Johan Jacob Bachofen (1982) menganggap ibu adalah alam sebagai pusat kehidupan dan kebudayaan. Ibu dalam konsep kosmologis memang menjadi pusat untuk realisasi nilai dan laku hidup. Ibu adalah dalil dan orientasi untuk melakoni hidup dengan tatanan nilai positif, produktif, dan konstruktif. Nilai-nilai itu merupakan penerjemahan dan pembuktian sosok ibu dalam mengabdikan diri untuk membuat hidup pantas dilakoni. Ibu sebagai pusat kosmis seperti takdir tanpa revisi.

Erich Fromm dalam The Art of Loving (1962) mengartikan ibu dengan metafor liris: “Ibu adalah rumah dari mana manusia datang. Ibu adalah alam, tanah, lautan.” Metafor itu mengingatkan manusia pada fragmen-fragmen peradaban dari referensi-referensi alam. Ibu sebagai rumah adalah asal dan tujuan. Rumah tentu memberi limpahan nilai dan anutan untuk hidup dalam absorsi cinta dan kasih. Ibu dalam pengertian alam, tanah, dan lautan mengandung makna kompleks. Ibu sebagai alam tentu mengajarkan hidup secara produktif dan konstruktif. Ibu sebagai tanah mengajarkan keimanan atas sumber hidup dan kerja. Ibu sebagai lautan adalah khazanah dalam keluasan dan kedalaman nilai-praksis hidup.

* * *

Ibu memang simbol universal dari pelbagai nilai. Ibu dengan nilai-nilai universal memiliki keunikan dalam pijakan lokal-kultural. Ibu dalam kultur Jawa memiliki nilai universal dalam konstruksi unik dan otentik-lokalitas. Robert R. Jay (1963) mengungkapkan: “Ibu adalah pusat keluarga.” Ibu memiliki otoritas-kuasa dalam lakon hidup keluarga mulai dari perkara asap dapur sampai menentukan skenario masa depan keluarga.

Ungkapan dari Robert R. Jay bisa dikomparasikan dengan studi deskriptif Hildred Geertz dalam Keluarga Jawa (1983). Ibu memang tidak memiliki otoritas puncak dalam sistem patriarki di Jawa. Ibu dalam struktur keluarga Jawa menempati posisi penting karena kesanggupan menerima peran dengan keterlibatan (total) untuk tanggung jawab dan risiko. Otoritas ibu terbentuk dan terealisasikan dari kompetensi, kharisma, dan olah lahir-batin untuk memberi bobot dan makna hidup dalam keluarga.

Ibu dalam keluarga Jawa adalah simbol tatanan hidup dalam jalinan sistem dan mekanisme tradisi-kultural Jawa. Peran itu dalam proses perubahan zaman kerap mendapati gugatan karena stereotipe kepasrahan dan inferiorisasi-domestik. Gugatan muncul karena kesadaran gender dan perubahan sistem-tata nilai kehidupan modern. Tegangan nilai-nilai tradisi dan tuntutan modernitas terkadang menempatkan ibu dalam dilema secara kodrat dan kompetensi diri.

Ibu dalam tegangan tradisionalitas-modernitas memang menunjukkan pola-pola variatif untuk mencapai kompromi atau pemihakan. Kodrat ibu kerap menjadi acuan dan sasaran dari keputusan-keputusan etis, politis, atau kultural. Ibu memang melahirkan dan mengasuh anak sesuai kodrat. Peran-peran ibu dalam konteks ekonomi, pendidikan, agama, politik, dan kultural terus mendapati godaan untuk kesanggupan melakukan transformasi dari dunia domestik ke dunia publik. Godaan ini memang mengandung risiko. Ibu hidup dalam rumah dan ibu hidup di luar rumah adalah perkara pelik dan dikotomik.

Simone de Beauvoir (2003) mengungkapkan bahwa ibu memenuhi kodrat dengan melahirkan dan mengasuh anak. Takdir menjadi ibu adalah tanda terhadap panggilan hidup. Kodrat itu bukan hukuman atau kutukan tanpa ada kebebasan dan otonomi diri. Ibu dalam melakoni kodrat memiliki hak untuk produktif dan aktif dalam memikirkan diri dan dunia. Pemilikan otoritas untuk masuk dan terlibat dalam pelbagai dimensi hidup merupakan hak ibu untuk melegitimasi eksistensi dan identitas. Ibu memiliki jalan masuk untuk memenuhi kompetensi sebagai manusia-publik dalam karier atau hak-hak sosial.

* * *

Sejarah ibu sebagai sosok positif, produktif, dan konstruktif tak bebas dari ancaman dan godaan. Ibu pun mungkin untuk menjadi sosok menakutkan, kejam, buruk, atau destruktif. Pemunculan ibu sebagai simbol negatif memang sudah muncul dalam jejak historis dalam teologi dan mitologi. Ibu-negatif menjadi bentuk peringatan atau tanda seru kegagalan atau kelengahan dalam mengonstruksi diri sebagai ibu sesuai kodrat dan pencapaian diri.

Ibu dalam mitos atau cerita rakyat kadang menghadirkan imaji atas identitas diri negatif karena faktor internal-eksternal. Ibu mengutuk, menghukum, membunuh, melukai, membenci, atau menyiksa menjadi bentuk akumulasi kata benda-kata kerja-kata sifat mengenaskan. Ibu dengan representasi-representasi itu memang menjadi negasi dari ibu-positif. Imaji terhadap ibu-negatif memang tidak mendominasi lakon ibu dalam peradaban manusia tapi memberi bekas luka dan duka.

Ibu-negatif pada hari ini justru menjadi komoditi industri media. Televisi menjadi juru bicara primer atas konstruksi ibu-negatif dalam menu sinetron dan gosip artis. Pemahaman terhadap ibu mulai mendapati godaan sensasional dan kontroversial. Ibu dalam sinetron-sinetron Indonesia adalah representasi negatif dengan dalil-dalil mencemaskan dan mengenaskan. Sinetron sebagai dewa televisi telah melakukan transformasi massif atas sosok ibu dalam kedok hiburan dan kolonisasi waktu senggang.

Ibu dalam sinetron kerap hadir dalam karakter-karakter menegangkan: ibu tukang muslihat, ibu jahat, ibu tukang mengadu, ibu pemarah, ibu sinis, ibu materialistis, ibu tukang membual, ibu serakah, ibu otoriter, atau ibu sadis. Peristiwa atau adegan ibu dalam menjalani aksi-aksi negatif cenderung menjadi negasi kodrat ibu sebagai sosok penuh cinta dan kasih. Ibu dalam dandanan menor, mata melotot, otot tegang, senyum sinis, tangan mengepal, mulut mengumbar kata kasar, dan nafas sesak menimbulkan keprihatinan dan kengerian. Ibu dalam gosip artis pun muncul sebagai sosok mengerikan karena ketidaksanggupan menata hidup dalam makna positif, produktif, dan konstruktif.

Representasi-representasi itu seperti menu baku dalam sinetron tanpa ada peringatan keras dari penonton atau institusi kritik media. Fenomena tragis adalah umat penonton dari sinetron dan gosip artis mayoritas kaum perempuan dan ibu. Mekanisme menonton menjadi mekanisme transformasi nilai dalam kesadaran atau bawah sadar. Penonton tunduk mengaji ibu dalam tendensi-tendensi negatif. Penonton dengan pamrih mengaji ibu-positif bakal mendapati godaan-godaan imperatif dan sugestif.

* * *

Refleksi atas sosok ibu terus tertutupi oleh bias-manipulasi industri media dan keramaian fakta sosial. Laku mengaji ibu terkadang kehilangan jejak asal dalam anutan-anutan kodrat. Ibu adalah sosok fenomenal dalam fragmen-fragmen peradaban manusia. Ibu terus mengalami tegangan untuk menjadi ibu-positif atau ibu-negatif.

Silakan mengaji ibu dengan puisi Ibunda (1983) anggitan Linus Suryadi AG untuk tidak melupakan kodrat ibu: Ibunda / di mana pun sama / tahan derita / lebih ketimbang ayah .... Tidak berontak / dan murka / tapi sabar dan nrimo / lego lilo .... Pasrah bongkokan / awal kebangkitan / dalam proses / penjadian kasih sayang. Kutipan puisi bisa menjadi memori kolektif untuk resistensi atas ekspansi sinetron dan gosip artis dalam mendestruksi ibu untuk keluarga-keluarga Indonesia. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (7 Januari 2oo9)

Banjir di Joyotakan

Heri Priyatmoko

Siswanto tampak termenung sendirian di dapur. Ia masih teringat dengan apa yang kemarin pagi dilihatnya ketika berangkat jualan ke Pasar Klewer. Di Joyotakan, ratusan warga tumplek blek di sepanjang jalan raya. Mereka mengungsi karena rumahnya tergenang air. Mereka pun mencari tempat berlindung seadanya. Hanya beralaskan tikar dan pating kruntel. Siswanto tidak bisa membayangkan bagaimana nasib orang sepuh dan balita yang kedinginan dan kelaparan karena pasokan makan terbatas.
Yatmo yang melihat ayahnya duduk sendirian, segera ia samperin. “Ada apa Pak, kok surup-surup ngalamun?” tanya Yatmo sembari mengambil kursi dan duduknya persis di depan bapaknya.
“Itu lho nang, saya kasihan melihat masyarakat Kelurahan Joyotakan yang saban-saban hujan deras lima jam saja pasti terkena banjir,” ungkap Siswanto dengan raut muka sedih. Memang, kemarin (29/01) hujan deras membasuh Kota Solo sejak siang hingga tengah malam. Akibatnya, tidak hanya di Joyotakan yang dilumat banjir, Solo bagian barat seperti daerah Pajang, Laweyan, Baron dan Tipes juga terkena luapan air Sungai Premulung, Sungai Jenes, Sungai Laweyan, dan Sungai Tipes.
“Kelurahan Joyotakan adalah daerah langganan banjir karena daerahnya sangat cekung,” Yatmo menjelaskan.
Yatmo beberapa waktu lalu sempat ngobrol di wedangan Tanjung Anom dengan sohibnya yang menjadi Ketua LPMK Kelurahan Joyotakan, Julianto. Ia mencatat keluhan Julianto, bahwa sesungguhnya sejak tahun 2006 silam, warga sudah mengusulkan perbaikan tujuh pintu air yang rusak parah, mengingat vitalnya sebagai pengatur air. Sebab, bila pintu air itu rusak, air dari sungai bisa masuk ke daerah Joyotakan. Dan sebaliknya, air dari Joyotakan tidak bisa keluar. Sayangnya, usulan tersebut belum mendapat respons serius oleh Pemkot.
Menurut Julianto, tepatnya di RW 3 dan 4 ada talud yang rusak dan retak, tapi belum mendapat perhatian jua. Padahal panjangnya dua kilo, dan retakannya mencapai per lima meter atau sepuluh meter. Diperparah kondisi saluran atau selokan untuk membuang limpahan air terbilang sempit dan tidak sebanding dengan debit air yang datang.
Setelah minum wedang teh, Siswanto ngomel “bencana yang membuat beberapa bangunan SD, SMP, dan STM yang ada di Joyotakan terendam berimbas pada aktivitas belajar mengajar tersendat. Kemudian kemacetan lalu lintas tak terelakan dan rutinitas kerja warga terganggu”.
“Ada yang lebih mengkhawatirkan lagi, Pak, yaitu trauma psikologis korban banjir, terutama anak-anak. Karena itu, pembangunan serta perbaikan pintu air dan talut di Kalurahan Joyotakan harus menjadi prioritas utama Pemkot. Aneka program lain yang tidak terlalu mendesak semestinya ditunda, sebab ini menyangkut nasib ribuan orang. Apalagi Kelurahan Joyotakan itu terhitung kelurahan yang padat penduduk,” komentar Yatmo.
Hujan adalah rahmat bagi petani, tetapi hujan sudah menjadi bagian bencana untuk warga Joyotakan. Maka, selain Pemkot memprioritaskan Joyotakan dan menerapkan peraturan kebersihan dengan konsisten, di satu sisi warga Joyotakan pun berkewajiban menjaga kebersihan lingkungannya sendiri, khususnya membuang sampah.
“Oiya, mumpung ini masa kampanye, alangkah baiknya masalah pencegahan banjir tersebut diusung sebagai bahan kampanye para caleg. Saya yakni pasti mendapat banyak dukungan, termasuk suara masyarakat sekitar korban banjir,” ujar Siswanto.
“Betul, Pak. Tapi masyarakat yang cerdas harus bikin kontrak politik. Ini untuk menagih bila besok caleg itu menang, sementara misi kampanye pencegahan banjir belum direalisasikannya,” Yatmo bersaran.
“Mathuk, nang. Semoga para wakil rakyat yang menang nanti bisa mengakhiri penderitaan warga yang menjadi langganan banjir,” Siswanto marem mendengar saran anaknya.

Dimuat di Suara Merdeka, 2 Februari 2009

Merenda Masa Lalu di Solo (Utara)

Heri Priyatmoko

Membayangkan duduk menggelar tikar di bawah pohon rindang sembari melihat bunga teratai di kolam adalah sesuatu yang menyenangkan.
Sambil merasakan tusukan angin sepoi-sepoi segar di kulit ari, mendengar suara cicit burung dan melihat keceriaan anak-anak bersampan ria, seolah menjadi sebuah kenikmatan tiada tara. Suasana seperti itu bisa ditemukan di Solo utara, tapi tempo doeloe.
Kota Solo yang sebentar lagi menginjak usai ke 264 tahun, ternyata banyak meninggalkan kisah indah bagi wong Solo. Dalam tulisan ini, saya akan mengulas sejarah taman kota di Kampung Lor (Mangkunegaran) yang tak kalah indahnya dengan Kebon Raja (Taman Sriwedari) di Kampung Kidul (Kasunanan). Ruang publik yang hilang dan kini hanya bisa ditemukan dalam memori kolektif masyarakat, yaitu Taman Tirtonadi dan Minapadi.
Keraton Mangkunegaran mencapai zaman keemasan ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Mangkunagoro (MN) VII (1916-1944). Bermodal setumpuk uang kas praja, MN VII yang berotak brilian dan lulusan Leiden, Belanda itu, ingin menyolek daerah kekuasaannya menjadi cantik dengan memakai konsep garden city Negeri Kincir Angin.
Pada riwayatnya, pembuatan Taman Tirtonadi sebetulnya tindak lanjut dari usaha MN VII bersama Belanda untuk mengatasi banjir tahunan yang acap melumat Kota Solo.
Maka dibuatlah Kali Anyar atau banjir kanal yang diarahkan ke timur menuju ke Bengawan Solo. Juga dibangun tanggul dari utara Balekambang hingga Kandang Sapi. Guna memanfaatkan air Kali Pepe yang mengalir melalui pintu air Kali Anyar dan sekaligus memoles pemandangan, dibikin kolam kecil dan dihiasi bunga teratai. Kemudian kolam itu diberi nama Tirtonadi atau oleh MN disebut Partinah Park, yang diadopsi dari nama salah satu puterinya.
Dikisahkan oleh Soeyadi (1983), saban sore, taman ini dipenuhi anak-anak kecil dan pelajar yang bermain naik ombak banyu, timbangan dan bandhulan. Sementara muda-mudi memadu kasih di taman pada malam hari dengan menikmati keindahan bulan dan suara jangkrik. Novel sejarah Solo Di Waktu Malam karangan Kamadjaja (1950) merekam bagaimana warga Solo benar-benar termanjakan oleh keberadaan ruang publik ini. Penduduk sekitar pun dapat mengais rezeki dengan berjualan bermacam-macam makanan dan minuman di dalam taman. Interaksi sosial terjadi dan kapital sosial tumbuh di sini. Dampaknya, hubungan sosial dan kerukunan masyarakat terjaga.
Tak berselang kemudian, MN VII membuat telaga kecil untuk memancing ikan dan bersampan. Telaga itu diberi nama Minapadi. Taman kian menarik karena dibangun jembatan penghubung antara Tirtonadi dan Minapadi yang disebut kreteg senggol, lantaran jaraknya sempit sehingga orang yang berpapasan pasti bersenggolan.
Keindahan serta kesejukan suasana di taman itu mengilhami Gesang mengangkat nama Tirtonadi dalam sebuah lagu. Satu petikan bait lagu itu, Tirtonadi yang permai, di tepi sungai mengumandangkan sampai di negara Jepang. Pasalnya, ketika itu ”saudara tua” Jepang menjajah Indonesia. Saat revolusi kemerdekaan, kedua taman itu akhirnya minim perhatian.
Setelah era kemerdekaan, keberadaan ruang publik itu malah semakin tenggelam. Perebutan ruang terjadi. Wilayah ini berkembang menjadi pusat aktivitas transportasi berupa terminal bus dan nama Tirtonadi diabadikan menjadi nama terminal kelas A. dengan adanya terminal, kondisi taman semakin tidak karuan dan kumuh. Adanya tempat pencucian mobil, tambal ban, dan orang jualan kijing menambahkan kesumpekan.
17 Februari adalah ulang tahun kelahiran Kota Bengawan. Berawal dengan merenda masa lalu, kita kembali ke kondisi sekarang. Solo sebagai kota modern di mana terdapat banyak orang hidup di dalamnya tentu sarat masalah yang kompleks. Kini, Walikota Joko Widodo bekerja keras tak ubahnya seperti MN VII yang berusaha menata kota. Beliau mengembalikan fungsi ruang publik dan tamanisasi di sepanjang bantaran sungai dengan pendekatan hati bukan dengan tangan besi.
Kerja ini semestinya kita hargai. Penghargaan itu diwujudkan dengan kebersamaan kita untuk turut serta memelihara taman kota, bukan justru merusak, menyerobot tanah, dan mencorat-coret (vandalisme). Tanpa cinta, semuanya akan sia-sia. Umur kota kian menua, kita harus mendukung program Pemkot dalam membumikan semangat Solo’s past is Solo’s Future.

Dimuat di Solopos, 3 Februari 2009

Rabu, 04 Februari 2009

Etika (Politik) Jawa: Amung Lamis?

Bandung Mawardi

John Pamberton dalam buku On the Subject of “Java” (1994) mengisahkan kegagalan administrasi-politis untuk melakukan riset pada tahun 1980-an tentang hubungan budaya dan politik Jawa dengan rezim Orde Baru (Soeharto). Tema itu diajukan untuk membaca Jawa dalam pemilu 1982. Kegagalan prosedural justru mengantarkan Pamberton pada studi unik untuk membaca Jawa sebagai konstruksi implikatif terkait dengan pelbagai konteks politik, seni, ekonomi, spiritualitas, dan kultural. Jawa pun terpahami dalam tanda petik karena menjadi tanda penting dalam perpolitikan Indonesia tapi tidak terbuka utuh. Jawa selalu mengandung tabir rahasia untuk minta terjemahan atau penafsiran mutakhir sesuai arus jaman.
Kisah kecil dari Pamberton itu patut jadi fragmen awal untuk membaca etika (politik) Jawa saat ini menjelang pemilu. Pamberton penasaran dengan politik semantik Orde Baru dalam memaknai pemilu sebagai “pesta demokrasi”. Pengartian itu adalah ritualisasi politik dengan melibatkan elemen-elemen lahir batin dari rakyat Indonesia. Pemilu di Jawa pun dimaknai dengan pelbagai laku dari jagad batin (sakral) sampai jagad politik (profan).
Laku politik memang membuat sekian orang jadi repot ketika ingin masuk panggung sebagai aktor (caleg). Mereka mesti membuat sekian pertaruhan: pamrih politik, etika, kalkulasi ekonomi, harga diri, status sosial, atau pengabdian. Pertaruhan itu tampak dalam keramaian wajah dan jargon politik di jalan, televisi, koran, radio, rumah, atau ruang publik. Aktor-aktor politik membuat taktik untuk bisa merasa hadir di dalam kehidupan publik. Mereka ingin kehadiran representatif dalam spanduk, poster, baliho, atau iklan menjadi komunikasi intim dengan calon publik pemilih.

Amung lamis?
Pertanyaan pelik: “Bagaimana implikasi laku aktor-aktor politik itu dalam ranah etika politik dan etika Jawa?” Kampanye dengan tebar foto wajah dan jargon politik adalah kelumrahan dalam pasar politik. Sistem dan medium untuk kampanye itu ingin mencapai pada kalkulasi maksimal untuk pemerolehan simpatik dari publik pemilih. Kampanye pun diimbuhi dengan iklan-iklan menggoda dan melenakan di media massa. Kampanye dalam model-model itu memang mengandung spirit demokratis tapi menyimpan dilema etis.
Barangkali orang-orang mahfum bahwa kehadiran foto wajah dan jargon politik dari aktor-aktor politik itu hampir homogen. Mereka minta doa restu dan dukungan. Mereka pun tak lupa memberi janji indah dan melenakan entah demi apa dan siapa. Mereka tanpa sungkan memuji diri sendiri sebagai aktor politik pilihan. Wajah sebagai representasi dalam pengertian E. Levinas adalah makna kehadiran tak terelakkan. Kalimat permintaan dan janji politik adalah tegangan pamrih dan etika politik. Pamrih politik dalam kasus perpolitikan mutakhir kerap menundukkan etika politik. Janji tinggal kenangan ketika kursi sudah tercapai. Etika jadi “amung lamis”.
Perbedaan kecil tampak dari aktor-aktor politik dalam membuat pola komunikasi dengan pendekatan kejawaan. Beberapa aktor melakukan komunikasi politik melalui instrumen-instrumen Jawa dengan pemanfaatan bahasa Jawa, ikon-ikon Jawa, seni, dan ritual Jawa. Pemanfaatan bahasa Jawa hendak membuka dialog intim dengan nuansa dan politik rasa. Bahasa Jawa mungkin jadi alat untuk membuat aktor dan publik pemilih ada dalam dunia kolektif kejawaan. Rasa politik dengan bahasa Jawa itu kental terasa dalam iklan di radio dan televisi lokal.
Pemakaian ikon-ikon Jawa kerap tampak dalam pakaian, wayang, relief, bangunan, atau motif-motif benda. Ikon-ikon itu menjadi juru bicara untuk mempengaruhi publik atas pencitraan dari aktor politik. Kejawaan jadi komunikasi efektif dan efisien untuk mendekatkan aktor dengan latar kultural Jawa. Foto aktor dalam pakaian khas Jawa tentu menebarkan sihir atau imaji Jawa dengan sekian polesan dan estetisasi untuk meminta perhatian publik. Ikon-ikon Jawa memang dengan mudah dihadirkan aktor politik untuk menjadi spirit dalam merebut suara dari pemilih.
Seni sebagai alat politik sudah memiliki sejarah sejak masa lampau. Pemakaian seni sebagai komunikasi politik di Jawa tampak dalam pertunjukkan wayang, kethoprak, karawitan, campursari, tayuban, dan lain-lain. Seni khas Jawa itu pun kental denga pesan politik untuk kepentingan aktor politik. Pilihan seni sebagai jalan komunikasi cenderung dengan pemahaman ada inklusivitas dan resepsi terselubung dalam relasi aktor politik dan publik. Seni jadi pertaruhan politik dengan embel-embel “nguri-nguri seni” atau seni sebagai pengabdian tanpa pamrih.
Komunikasi politik pun masuk dalam ritual-ritual Jawa. Intervensi itu terjadi dengan dalih memberi spirit atau antusiasme etnis. Ritual sebagai laku lahir-batin untuk nilai-nilai sakral mengalami kebangkrutan dengan intervensi langsung atau tak langsung dari aktor politik. Ritual pun kerap dipakai sebagai legitimasi atau pengesahan melalui mekanisme lain di luar prosedur politik konvensional. Ritual seperti jadi lambaran politik.

Laku Politik
Laku politik dari aktor-aktor politik itu dalam tataran tertentu rentan dengan penabrakkan etika politik dan etika Jawa. Frans Magnis-Suseno dalam Etika Politik (1991) mengartikan etika politik sebagai lambaran etis dalam dimensi kehidupan politis manusia. Etika politik adalah legitimasi untuk laku politik. Pengertian itu bisa dijadikan acuan untuk membaca laku politik dengan pelbagai wajah dan jargon politik. Representasi dan pencitraan diri dalam poster, spanduk, baliho, atau iklan adalah pola politik modern. Pola ini cenderung sebagai narsisisme politik. Politik memusat pada pemujaan individu atas pelbagai hal dari, oleh, dan untuk diri sendiri.
Narsisisme politik itu tentu menjadi peringatan atas etika politik. Aktor politik dengan narsisisme itu bisa sekadar memanfaatkan publik untuk legitimasi politik dengan mengorbankan lambaran etis sebagai juru bicara kepentingan rakyat. Etika dalam narsisime politik ini jadi virus ganas dalam politik dan kehidupan publik dalam anutan etika Jawa.
Laku politik memang rentan dengan fenomena konflik atau harmoni. Narsisisme politik bisa jadi titik kritis atas nasib politik demokrasi. Etika tentu mungkin jadi kontrol dan kritik untuk laku dan risiko politik. Etika Jawa sebagai anutan dalam politik mengajarkan relasi individu dan publik dengan nilai-nilai untuk harmoni atau keselarasan. Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa (1984) mengingatkan bahwa etika Jawa menganut pada paham rukun dan hormat. Realisasi prinsip-prinsip itu ada dalam pelbagai sisi kehidupan masyarakat Jawa dari kehidupan keluarga sampai kehidupan politik.
Bisakah etika Jawa jadi anutan dalam politik? Pertanyaan ini pelik ketika dihadapkan dengan realitas politik hari ini. Orang Jawa sebagai aktor politik terkadang lupa atau mengabaikan etika Jawa karena kalkulasi politik praktis dan pragmatis. Aktor politik terkadang menganggap ertika Jawa justru menjadi halangan karena susah dijadikan sebagai spirit untuk pertarungan politik. Pemahaman keliru ini semakin jadi dalih untuk para aktor politik menabrak etika demi lakon politik. Aktor politik dengan implisit dan eksplisit terus melakukan pencitraan diri dengan risiko menantang atau menyaingi aktor lain. Pola persaingan tanpa lambaran etika (politik) Jawa ini mungkin jadi titik awal untuk pemunculan “lakon politik tak etik”.

Dimuat di Suara Merdeka (1 Februari 2oo9)

Afrizal Malna: Bahasa adalah Hantu yang Mengancam

Bandung Mawardi

Bahasa adalah hantu untuk memberi ancaman hidup dan mati atas kelahiran puisi. Afrizal terus mengurusi bahasa sebagai dalil dan risiko. Eksplorasi dan eksplanasi tentang bahasa bertebaran dalam tubuh puisi.. Afrizal dalam puisi-puisi lama tampak mengimani dan mengamini bahasa melawan rezim. Puisi-puisi lama Afrizal kerap mengandung “dendam di setiap akhir kalimat”. Dendam itu perlahan menyusut dalam puisi-puisi mutakhir. Penyusutan dendam itu tak merampungkan kritik Afrizal atas rezim bahasa. Bacalah petikan puisi soda susu dan bahasa indonesia buat radhar sebagai sambungan maklumat bahasa dengan pengenduran dan kegamblangan: bahasa Indonesia seperti rumah sakit / yang meninggalkanmu seorang diri / dengan soda susu di sebuah makan / malam. Dendam bahasa mengantarkan sepi, alienasi, dan resistensi.
Bahasa Indonesia memang mengandung hasrat hidup dan hasrat mati. Afrizal Malna sejak awal hidup dan tumbuh dalam bahasa Indonesia dengan sekian tanda tanya dan tanda seru. Bahasa Indonesia untuk puisi adalah menciptakan kehidupan dan kematian di antara kamar mandi dan peti mati. Afrizal mahfum bahwa melahirkan puisi dengan bahasa Indonesia seperti melahirkan perih dan tawa kecil. Bacalah petikan puisi rendra diares ini: lubang bahasa mengucapkan perih atas rezim bahasa: aku besar dalam bahasa indonesia yang dijaga oleh tentara, / bebek-bebek yang setiap lehernya / menyimpan sebutir peluru. Lalu kata-/ kata terasa pahit memasuki / kalimat, untuk melihat keadaan di / sekelilingku. Masa lalu itu terus mengiringi usia lelaki gundul dan tubuh tua untuk melahirkan puisi lalu tumbuh menyapa siapa saja.
Puisi adalah alasan migrasi dari kota ke kota tanpa henti. Istirahat di sebuah kota selalu menjadi resah untuk pindah tanpa melupakan jejak. Puisi pun jadi alasan untuk migrasi estetika dengan bahasa. Puisi hidup dan mati karena bahasa. Afrizal melakoni migrasi untuk puisi sebelum kota jadi mati dan bahasa jadi basi. Penemuan dan kehilangan memberi tanda tanya dan tanda seru untuk masih mengimani dan mengamini puisi. Afrizal dalam puisi pindah ke kota lain dengan satire mengisahkan kesibukan penyair melahirkan puisi: kami sibuk / mencari kota. tempat puisi bisa mem- / bangun atap bahasa. Kalimat ini mengisyaratkan hasrat penyair hidup dalam otoritas bahasa.
Penyair dan puisi adalah perkara genting dalam laku Afrizal ketika awal menulis puisi dan repot mengalami gundah dan kemalasan menulis puisi. Afrizal selalu tak selesai untuk memberi tanya dan merumuskan jawaban atas puisi. Afrizal mengurusi puisi sebagai ambang batas peti mati dan takdir kehidupan karena bahasa. Bahasa ingin direalisasikan sebagai nasib.
Nostalgia dan gairah untuk menulis selalu rentan dengan lelah dan sekarat. Afrizal pun dengan lugas sejak lima tahun lalu mengatakan lelah mengurusi sastra. Afrizal pun merasa lelah untuk mengurusi puisi dalam periode tertentu. Bahasa dalam puisi Indonesia mutakhir kerap mengandung obat tidur. Afrizal tak ingin tidur nyenyak tanpa pertaruhan dan janji atas kenikmatan tanpa akhir. Lelah dan sekarat dialami Afrizal. Pengganti untuk penolakan tidur adalah sibuk memasuki tari dengan segala risiko. Afrizal pun pernah dengan kalem mengaku: “Aku penari. Aku bukan penyair.” Pengakuan itu mengejutkan dan kecut.
Kesanggupan memasuki kembali puisi membuat Afrizal harus membuat rumusan lain sebagai lanjutan atau jalan lain dari jalan lama. Afrizal pun sanggup melahirkan kitab puisi Teman-temanku dari Atap Bahasa. Puisi-puisi dalam kitab itu merepresentasikan belokan gairah, pengulangan, dan kebingungan. Bacalah dan pilahlah puisi-puisi Afrizal dalam kitab itu dengan penentuan kriteria. Puisi-puisi Afrizal dalam curiga penulis telah mengalami lompatan jauh menuju tepi lirik.
Afrizal kentara mengusung getir dari kamar tidur atau buku harian seorang lelaki pemurung. Simaklah petikan puisi taman bahasa ini: aku sedang / bersedih, karena tidak bisa menulis pu- / isi. hanafi bilang para penyair takut / mengosongkan kamarnya sendiri dari / sampah bahasa .... kini aku tak menulis puisi lagi. dan / tak tahu lagi caranya bersedih ... Konstruksi bahasa Afrizal lahir dari detik-detik sekarat di ruang istirahat. Bahasa jadi perkara genting dalam puisi dengan bahasa getir.
Jejak langkah panjang si kepala gundul dan tubuh kurus sampai pada babak mengejutkan ketika majalah Tempo memilih Afrizal Malna sebagai Tokoh Seni (Puisi) untuk tahun 2oo8. Pilihan itu menggenapi sekian penobatan untuk Afrizal sebagai penyair mumpuni di Indonesia. Penyair mumpuni di ruang kecil tanpa keramaian. Penulis membaca lembaran di majalah itu dengan takjub dan mengajukan tanya lirih: “Mengapa puisi-puisi Afrizal masih belum mati?”
Tim penerima mandat dari Tempo (Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge, A.S. Laksana, dan Adi Wicaksono) mengajukan argumen bahwa “puisi-puisi Afrizal memberikan sugesti dunia sehari-hari yang tidak lazim.” Penjelasan lanjutan adalah puisi-puisi Afrizal menegaskan: “puisi pertama kali datang untuk dinikmati, bukan berpretensi untuk dimengerti. Puisi-puisinya menangguhkan konklusi. Ia tak membebaskan kata dari makna, tapi membenamkan makna baru pada kata.” Apakah legitimasi atas puisi-puisi Afrizal Malna itu memang menandakan nasib puisi Indonesia modern tidak selesai dalam perayaan puisi lirik? Puisi-puisi Afrizal Malna belum sekarat?


Dimuat di Suara Merdeka (25 Januari 2oo8)

Afrizal Malna: Puisi Belum Sekarat?

Bandung Mawardi


“Apa yang penting dalam sebuah teks bukanlah maknanya, tapi apa yang dikerjakan dan ingin dikerjakannya; beban pengaruh yang dikandung dan ditransmisikan.”
(Jean-Francois Lyotard, Drifworks, 1984)

Kepala gundul itu diam tapi mulut lelaki itu bicara lambat dan lembut. Puisi berhamburan dari kepala gundul dan tubuh kurus dalam cerewet. Puisi-puisi itu menyapa orang ramai dengan bahasa tak biasa. Tubuh kurus dan tampak ringkih itu tak bisa jadi kuburan untuk puisi. Tubuh itu adalah kebun puisi.
Afrizal Malna setengah tahun lalu mengakui: “Aku menghilangkan power dalam puisiku.” Pengakuan itu muncul dari tanya penulis: “Puisimu jadi lambat dan lembut. Apakah kau lelah dan sekarat?” Obrolan kecil itu membicarakan puisi-puisi Afrizal Malna dalam buku Teman-Temanku dari Atap Bahasa (2oo8). Penulis pun ingat dua tahun lalu lelaki dengan kepala gundul itu menjajakan puisi-puisi untuk siapa saja agar bisa terbit sebagai buku. Iklan itu usai dengan penerbitan buku dengan baju batik. Baju ganjil untuk puisi-puisi Afrizal Malna.
Penulis kerap mengajukan tanya: “Puisi-puisi ini tidakkah lekas mati di kebun puisi Indonesia?” Puisi-puisi Afrizal malah terus tumbuh di kebun belakang karena kebun depan rimbun oleh puisi-puisi lirik. Afrizal Malna dalam pertemuan akhir dengan penulis pada akhir tahun lalu masih mengabarkan: “Puisi lahirlah dari diriku.” Afrizal tak takut dan tak letih menempuh jalan sepi. Afrizal pun sadar dengan kutukan puisi lirik sebagai kutukan belum usai sampai hari ini. Puisi lirik masih menebar mantra dan sihir untuk melenakan umat puisi dalam perayaan melelahkan dan menjemukan.
Penulis curiga ketika mengkhatamkan puisi-puisi dalam buku Teman-temanku dari Atap Bahasa. Puisi-puisi itu tidak berlari seperti puisi-puisi dulu. Puisi berjalan lambat dengan suara lembut untuk menyapa dan menggoda pembaca ketika takzim menutup pintu rumah dari pasar puisi lirik. Bahasa mengalami pengolahan dalam resep dan mekanisme mencair. Puisi menjelma susu dan roti untuk santapan pagi hari. Curiga tak selesai karena puisi-puisi Afrizal tak mau diam atau mati terlalu dini.
Penulis mengalami kejatuhan imaji dan nostalgia ketika membaca puisi apakah kamu masih sekolah, jilan. Sentimentalitas dan kisah sendu memberi kutukan pada penulis karena lengah tidak menutup pintu kamar tidur. Afrizal Malna menulis: saya ingin menggambar wajah ayah. / tapi bagaimana saya bisa menggambar / wajah ayah, karena saya tidak pernah / bertemu dengan ayah. apakah ayah / terus berjalan bersama hujan? setiap / saya bertemu sungai, saya seperti / sedang memandangi ayah. Lirisisme merasuk dalam bait pembuka puisi. Afrizal fasih mengisahkan tanya dan imajinasi dengan bahasa getir.
Puisi itu mencurigakan karena Afrizal tiba-tiba membuka tubuh puisi untuk merayakan kisah getir. Kehadiran puisi ini memiliki jarak seribu kilometer dengan mayoritas puisi-puisi lama Afrizal dalam Abad yang Berlari (1984), Yang Berdiam dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), dan Kalung dari Teman (1999). Afrizal mulai membuka kembali pintu rumah sepi untuk mencari dan menemukan fragmen-fragmen hidup. Keramaian bahasa dan imaji perlahan mengalami reduksi atau kebangkrutan karena sengaja. Puisi tak betah sebagai takdir keras dan kasar.
Afrizal seperti memainkan lakon puisi dalam keremangan rumah bahasa ketika musim hujan. Melahirkan puisi seperti melahirkan kalimat-kalimat dengan doa panjang tapi melelahkan. Afrizal melahirkan puisi dengan testimoni bahasa. Bacalah petikan puisi 5o tahun usia kuping ini sebagai dalil melahirkan puisi. Kata “kuping” dalam perkara ini sengaja oleh penulis digantikan dengan kata “puisi”. Bacalah: (puisi) itu mulai merembes / kalimat-kalimat yang aku tak bisa / membacanya. kalimat yang mirip rumah. kalimat yang mirip rumah yang / sedang menghancurkan dirinya sendiri. Puisi terbuka untuk melukai atau tindakan bunuh diri dalam konstruksi bahasa. Afrizal ingin bunuh diri bahasa dalam puisi? Puisi seperti “atap bahasa yang runtuh”.
Bahasa adalah pertaruhan dan risiko untuk kelahiran puisi. Maklumat bahasa dari Afrizal bertebaran dalam pelbagai puisi, esai, cerpen, dan novel. Maklumat itu ingin membuat publik tahu ada jalan subversif untuk melawan dan menggoda rezim bahasa. Rezim ini telah menciptakan kuburan massal untuk puisi-puisi tanpa utopia. Inilah maklumat Afrizal Malna: “Kata seperti rumah, memiliki ruang luar dan ruang dalam, ruang depan, dan ruang belakang. Kata adalah representasi eksistensi ruang dalam pemahaman manusia di bidang bahasa. Manusia tak bisa membebaskan bahasa dari pelembagaan ruang yang dilakukannya.” Maklumat ini memastikan bahwa orang berhak menempuh lorong gelap bahasa atau lorong terang bahasa. Afrizal mungkin menempuh lorong gelap bahasa menuju lorong remang bahasa untuk melahirkan puisi.


Dimuat di Suara Merdeka (18 Januari 2oo8)