Senin, 19 Mei 2008

“Zikir Sosial” Taufiq Ismail

(Membaca Puisi Religius dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia)
Oleh: Haris Firdaus

/1/
Seorang penyair tak bisa dengan begitu saja diringkus dalam satu kategori berdasar puisi-puisi yang dominan ia tulis. Bagaimanapun, penyair—sebagai manusia—selalu lebih kompleks daripada puisi-puisi yang ia ciptakan. Karenanya, telaah atas karya seorang penyair bisa mengambil banyak sudut pandang dan gagasan.
Seorang penyair yang banyak menulis tentang puisi protes, misalnya, tak bisa dengan begitu saja disebut sebagai “penyair protes” dan oleh karenanya puisi-puisinya yang tak termasuk ke dalam puisi protes bisa diabaikan begitu saja. Mengikuti pendapat Goenawan Mohammad, lebih baik kita bicara tentang karya, dan bukan tentang penyair.1
Artinya, pembicaraan dalam sastra lebih baik dimulai dari telaah real atas karya sastra dan tidak buru-buru mengambil kesimpulan atas dasar nama sastrawan. Seperti dikatakan Goenawan, tidak semua puisi yang diciptakan penyair besar itu bagus. Juga, tidak semua puisi penyair yang tak dikenal itu buruk.
Dalam konteks inilah pembicaraan tentang karya Taufiq Ismail hendak dikemukakan. Taufiq Ismail, bagaimanapun, terlanjur dicap sebagai “penyair protes” karena sajak-sajaknya dalam Kumpulan Tirani dan Benteng. Tapi, sebenarnya tidak semua puisi Taufiq melulu bercerita soal protes sosial.
Melalui esai ini, hendak dikemukakan dan dibahas puisi-puisi Taufiq yang berkaitan dengan persoalan religiusitas. Religiusitas bisa diartikan sama dengan kamus sebagai “perasaan keagamaan”. Atau, bisa pula memakai pendapat Paul Tillich yang menyebut religiusitas sebagai “dimensi kedalaman”. Dalam konsepsi Tillich, religiusitas tak selalu berkaitan dengan pemelukan agama secara formal.2
Taufiq Ismail sendiri memahami religiusitas lebih sebagai bagian dari proses keberagamaannya. Mengambil pendapat Suminto A. Sayuti, Taufiq seringkali mendudukkan puisinya sebagai “doa” dan “ibadah”.3
Adapun acuan utama yang dipakai sebagai sumber dalam pembahasan ini adalah kumpulan puisi Taufiq yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia atau MAJOI. Buku tersebut dipilih karena di sana dihadirkan puisi-puisi Taufiq dari beragam jenis baik ditilik dari sudut isi maupun gaya ucap.4
Karena nafas religius yang terdapat dalam puisi Taufiq sangat dipengaruhi oleh Islam sebagai agama yang dianutnya, esai ini akan diawali dengan sebuah pembicaraan mengenai sastra, agama, dan kompleksitas hubungan keduanya.

/2/
Relasi sastra dengan agama bukanlah suatu soal yang bisa dengan mudah diselesaikan. Goenawan Mohammad pernah membuat sebuah ulasan cukup panjang tentang “sastra keagamaan”.5 Meski esai Goenawan itu dibuat secara khusus untuk menyoroti perkembangaan sastra bernafaskan agama pada awal 1960-an, gagasan di dalamnya tetap perlu ditengok guna mendapat sedikit penjelasan tentang relasi sastra dengan agama.
Bagi Goenawan Mohammad, sastra keagamaan adalah sebuah genre sastra yang bermaksud (dengan sadar) memberikan jawaban terhadap situasinya dengan berbasiskan nilai-nilai yang bersifat tradisional keagamaan.
Latar belakang munculnya sastra keagamaan, menurut Goenawan, bisa ditilik dari dua motif. Pertama, motif-motif kesusastraan, yakni persoalan pencarian identitas sastrawan-sastrawannya. Kedua, motif di luar kesusastraan, yakni pengaruh penggolongan dan rivalitas antar-golongan di dalam masyarakat.
Identitas seorang sastrawan, dalam dunia sastra memang sangat perlu guna memberikan ciri khas pada karya-karyanya dan juga agar peminat sastra mudah mengingat sastrawan tersebut. Identitas dalam sastra—salah satunya—bisa didapat seorang pengarang dengan cara menciptakan karya-karya dengan ciri tertentu, secara terus-menerus.
Goenawan mengungkap, ada beberapa pengarang yang berusaha menemukan identitas kepengarangannya dengan menulis karya yang masuk dalam genre sastra keagamaan. Artinya, minat dan keinginan yang mendorong mereka berkutat dengan sastra keagamaan adalah semata-mata demi pencapaian identitas yang mapan.
Seandainya analisis Goenawan tentang motif pertama ini benar, maka seperti dikatakannya pula, sastra keagamaan tak akan bisa bertahan lama. Keberadaannya pun tak bisa dipertanggungjawabkan karena dua alasan.
Pertama, karya yang dibuat demi penciptaan identitas tertentu bukanlah sebuah karya yang serius. Karya tersebut bisa dianggap sebagai sebuah eksperimen belaka.
Kedua, pencarian identitas dengan mengkhususkan penulisan pada lingkungan hidup tertentu adalah sebuah kesalahan. Identitas keluar dari kepribadian sebagai sebuah “sikap hidup” sehingga yang terpenting sebenarnya bukan hanya “apa” yang dituliskan, tapi juga “apa dan bagaimana” cara menuliskan itu.
Penggolongan dalam masyarakat yang makin tajam memang bisa membuat kemunculan sastra keagamaan. Kebebasan berpikir yang tumbuh di masyarakat membuat tiap orang bebas mengemukakan pendapatnya. Akibatnya, benturan gagasan dan beda kategori ide adalah sesuatu yang wajar.
Dalam dunia sastra, kecenderungan tersebut memunculkan banyak kategori sastra, salah satunya sastra keagamaan. Tapi, lagi-lagi Goenawan mengatakan bahwa motif kedua ini pun tak cukup menopang kehadiran sastra keagamaan.
Alasan Goenawan adalah bahwa agama yang terlibat dalam soal rivalitas antar golongan lama-kelamaan akan kehilangan sumber rohaninya. Kehilangan yang demikian ini akan berdampak pada hilangnya vitalitas dan semangat dari karya sastra yang mengambil sumber penciptaan dari agama karena agama juga telah “kehilangan” energinya.
Analisis Goenawan tadi sampai pada kesimpulan bahwa sastra keagamaan, dalam arti genre sastra yang mengambil nilai-nilai tradisional agama sebagai jawaban atas sebuah situasi, tidak mampu menemukan alasan untuk hadir dan bertahan.

/3/
Sampai di sini, pembicaraan akan saya lanjutkan dengan mengemukakan sebuah esai Ajip Rosidi.6 Pada tahun 1968, Ajip pernah menulis sebuah esai yang membicarakan puisi-puisi Taufiq Ismail yang berbau keislaman. Sajak-sajak yang dibicarakan Ajip adalah karya-karya Taufiq yang dibuat sebelum terbitnya buku Tirani dan Benteng.
Pembicaraan tentang beberapa puisi Taufiq tersebut menjadi penting untuk melakukan pembandingan dengan sajak-sajak religius Taufiq yang dibuat lebih kemudian dan bisa kita temukan dalam MAJOI.
Menurut Ajip, beberapa sajak Taufiq yang religius dipengaruhi oleh kisah-kisah kehidupan Nabi Muhammad SAW seperti yang bisa kita temukan dari kitab-kitab hadist. Tentu saja, sejarah Muhammad SAW tersebut telah mengalami interpretasi dari Taufiq dan kemudian telah diberi sentuhan personal.
Karena itu pula, menurut Ajip, membaca sebagian sajak Taufiq tadi harus dengan “persiapan-persiapan”, terutama dengan memelajari kisah hidup Nabi Muhammad SAW. Bila tidak, kata Ajip, sajak-sajak itu “tidak akan berbunyi sama sekali”.
Yang juga lebih penting untuk dikemukakan di sini adalah penilaian Ajip yang mengatakan bahwa sajak-sajak Taufiq yang bernafaskan keislaman tidak lagi hanya menjadikan Islam sebagai “latar belakang”. Latar belakang agama, dalam sajak Taufiq, menjadi sikap dalam menghadapi berbagai masalah.
Bagi Ajip, meski banyak penyair yang beragama Islam, hanya sedikit penyair yang secara sadar mau menggali khasanah keislaman untuk kemudian digubah dalam sajak. Taufiq Ismail, menurut Ajip, adalah salah satu penyair yang berhasil menggali khasanah keislaman dalam sajak-sajaknya.
Kalau telaah Ajip benar, maka bisa diambil kesimpulan bahwa puisi-puisi Taufiq Ismail yang ia bahas masuk ke dalam genre yang oleh Goenawan Mohamad disebut sebagai “sastra keagamaan”. Sebab, seperti dikatakan Ajip, puisi Taufiq bukan lagi hanya menjadikan Islam sebagai “latar belakang”, tapi juga sebagai sebuah sikap dalam melakukan penyelesaian atas sebuah masalah.

/4/
Pertanyaan yang segera muncul selanjutnya adalah: apakah puisi-puisi religius Taufiq Ismail dalam MAJOI juga bisa digolongkan ke dalam sastra keagamaan—dalam artian puisi-puisi tersebut menyodorkan nilai-nilai agama sebagai sebuah sikap? Pertanyaan itu, mau tak mau, mesti dicari jawabannya dengan melakukan pembahasan langsung atas puisi-puisi religius dalam MAJOI.
Salah satu puisi dalam MAJOI yang terasa jelas aroma religiusnya adalah puisi yang berjudul “Doa”: Tuhan kami/ Telah nista kami dalam dosa bersama/ Bertahun membangun kultus ini/ Dalam pikiran yang ganda/ Dan menutupi hati nurani// Ampunilah kami/ Ampunilah/ Amin// Tuhan kami/ Telah terlalu mudah kami/ Menggunakan asmaMu/ Bertahun di negeri ini/ Semoga Kau rela menerima kembali/ Kami dalam barisanMu// Ampunilah kami/ Ampunilah/ Amin.//
Puisi itu dibuat tahun 1966 dan pernah dimuat dalam kumpulan puisi Tirani dan Benteng.7 Melihat angka tahun pembuatannya, bisa didiuga bahwa puisi ini dibuat sebagai tanggapan Taufiq atas kondisi Indonesia pada tahun 1966. Saat itu, Indonesia sedang dilanda kekalutan yang luar biasa mengenai masa depannya sebagai bangsa.
Keadaan ekonomi yang berantakan, kondisi politik yang kacau balau, kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang, ditambah dengan kecamuk huru-hara demonstrasi, membuat Indonesia sebagai negeri yang hiruk-pikuk dengan berbagai ragam cobaan.
“Doa” menggambarkan bagaimana Taufiq memandang semua persoalan yang ia saksikan hadir bertubi-tubi di depannya. Sebagai insan religius yang taat, Taufiq melihat masalah-masalah itu sebagai buah tangan manusia yang banyak melakukan perbuatan dosa. Kezaliman yang dibiarkan berlarut-larut, menurut Taufiq, adalah sebuah “dosan bersama” karena kediaman terhadap kezaliman itu pada akhirnya hanya akan melanggengkan “kultus” yang berakibat buruk.
“Doa” jelas tidak hanya menjadikan nuansa keagamaan sebagai latar belakang. Sebaliknya, puisi itu memang menjadikan keyakinan dan ketundukan pada Tuhan—yang merupakan ajaran pokok agama—sebagai inti persoalan. Sikap Taufiq yang terlihat dalam “Doa” tak pelak mencerminkan sikap seorang penganut iman sejati. Dalam menghadapi segala soal di depannya, Taufiq mengambil sikap khas seorang yang taat agama: mengembalikan muara penyelesaian persoalan itu pada Tuhan.
Dalam puisi berjudul “Lima Syair Tentang Warisan Harta”, Taufiq Ismail menceritakan lima kisah teladan tentang bagaimana memerlakukan harta warisan. Cerita yang dikutip Taufiq berasal dari sejarah beberapa tokoh penting di dunia. Kesamaan cerita-cerita itu adalah lima tokoh yang diceritakan Taufiq sama-sama memerlakukan harta sebagai titipan Tuhan yang seharusnya “dikembalikan” dengaan cara menyedekahkannya pada orang yang kekurangan.
Simak penggalan puisi tersebut: Inilah syair pertama tentang secercah sejarah/ Mengenai nabi Muhammad menjelang wafat/ Ketika sakit beliau sudah terasa berat/ Pada tabungannya yang sedikit jadi teringat/ Menyedekahkannya belumlah lagi sempat/ Maka Rasulullah berkata pada Aisyah/ “Aisyah, mana itu asharafi?/ Sedekahkanlah segera di jalan Allah/ Berikanlah secepatnya pada orang tidak berpunya/ ....//
Berturut-turut setelah bait tersebut, Taufiq menceritakan tentang Khalid bin Walid, Umar bin Khatab, Aurangzeb, dan Sultan Shalahudin. Kelimanya diceritakan sebagai orang yang sangat berhati-hati dalam memerlakukan harta yang mereka miliki. Hampir semuanya menganggap harta bukanlah sesuatu yang terlampau penting. Dengan menceritakan kisah itu, Taufiq sebenarnya tengah berusaha memaparkan sikapnya pula tentang harta. Dan, sikap Taufiq yang demikian itu, seperti bisa kita duga, tentu dilatarbelakangi oleh ajaran agamanya: Islam.

/5/
Puisi “Sajadah Panjang” adalah pernyataan Taufiq yang mengharukan tentang pengabdiannya pada Tuhan: Ada sajadah panjang terbentang/ Dari kaki buaian/ Sampai ke tepi kuburan hamba/ Kuburan hamba bila mati// Ada sajadah panjang terbentang/ Hamba tunduk dan sujud/ Di atas sajadah panjang ini/ Diselingi sekedar interupsi/ Mencari rezeki, mencari ilmu/ Mengukur jalanan seharian/ Begitu terdengar suara azan/ Kembali tersungkur hamba// Ada sajadah panjang terbentang/ Hamba tunduk dan rukuk/ Hamba sujud dan tak lepas kening hamba/ Mengingat Dikau/ Sepenuhnya.//
Metafora “sajadah panjang” adalah metafora yang jelas mendekatkan kita pada simbol Islam. Tapi yang terpenting sebenarnya adalah kenyataan bahwa metafora itu merupakan simbol pengabdian total. Melalui metafora itu, Taufiq hendak melukiskan dirinya sendiri sebagai seorang yang selalu “tunduk dan sujud” di hadapan Tuhan.
Kesibukan duniawi memang tak ditinggalkan sama sekali. Cuma, kesibukan itu hanyalah semacam “interupsi” yang sejenak saja. Begitu selesai urusan tersebut, pengabdian melalui “sajadah panjang” itu akan kembali dilanjutkan. Di sini, agama lagi-lagi tak berperan sebagai sekadar “latar belakang”. Agama—setidak-tidaknya mewujud dalam nilai-nilainya—dalam puisi tersebut adalah pokok soal terpenting.
Melalui “Sajadah Panjang”, Taufiq sebenarnya sedang melakukan semacam pengingatan pada para pembaca puisinya tentang Tuhan. Tendensi ini, sebenarnya sama dengan pengakuan Taufiq Ismail sendiri. Tahun 1984, ia memang pernah membuat pengakuan bahwa karya sastra yang ditulisnya adalah “sebuah zikir”.8
Artinya, melalui puisi-puisi yang ditulisnya, Taufiq hendak membawa para pembacanya mengingat Sang Pencipta. Prinsip yang demikian, menurutnya, dilandasi keinginan agar puisi yang ia buat masuk sebagai kategori “kesenian yang mengekspresikan keislaman”.
Tapi pengingatan Taufiq tak berarti bahwa dia hanya membuat puisi tentang Tuhan saja. Sebaliknya, Taufiq justru lebih banyak membuat puisi berdasar realitas sosial yang ia hadapi. Justru dengan membahas persoalan-persoalan sosial dalam puisinya, secara tak langsung Taufiq ingin membawa pembacanya menyadari kehadiran Tuhan.
Pada titik inilah saya ingin menyebut kecenderungan dalam puisi-puisi religius Taufiq sebagai “zikir sosial”: ia hendak mengajak masyarakat luas mengingat Tuhan, bukan dengan jalan menyebut kata-kata tertentu dalam bilangan yang khusus, tapi dengan melihat berbagai realitas sosial yang timpang dalam masyarakat.
Zikir sosial itu, pada hakekatnya merupakan ekspresi dari Islam. Taufiq memang terlihat amat berhasrat mengekspresikan keislaman dalam karya seni yang ia hasilkan. Hasrat yang demikian timbul karena adanya kesadaran bahwa dirinya hendak menjadi seorang muslim yang kaffah atau total.
Muslim yang kaffah, kata penyair kelahiran Bukittinggi itu, bukan hanya muslim yang melafalkan syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan puasa, mengeluarkan zakat, atau pergi beribadah haji. Muslim yang total bukan hanya melaksanakan rangkaian formalitas ibadah saja, tapi senantiasa kehidupannya bernaung di bawah panji Islam.
Maka, bagi Taufiq yang hendak menaruh hidupnya di bawah panji agama yang dianutnya, kesenian yang ia produksi pun harus berada dalam naungan Islam. Totalitas kehidupan Taufiq memang diarahkan pada sebuah kehidupan di luar dunia ini: sebuah kehidupan yang dipercaya oleh para pemeluk agama sebagai “kehidupan yang sebenarnya”.
Dalam sebuah kesempatan lain, Taufiq pernah mengatakan bahwa tujuannya menciptakan puisi adalah untuk beramal saleh.9 Baginya, hidup ini adalah sebuah sajadah yang terbentang dari kaki buaian sampai tepi lahat. Kegiatan utama dalam sajadah itu adalah shalat. Kegiatan lain hanya semacam penyela dari shalat. Tapi, yang penting pula adalah bagaimana mentransformasikan kegiatan sehari-hari agar menjelma menjadi derivasi dari shalat.
Akherat, itulah tujuan kesenian Taufiq. Cuma, mencapai akherat bukan berarti meninggalkan dunia. Maka, berbeda dengan kecenderungan puisi sufistik yang menekankan pada ekspresi religius saat melakukan interaksi personal dengan Tuhan serta berusaha menghindari narasi tentang dunia, puisi Taufiq justru menggunakan dunia sebagai kendaraan menuju Tuhan.
Bagi Taufiq, tugas manusia sebagai khalifah di dunia menunjukkan bahwa manusia sama sekali tidak boleh meninggalkan dunia. Melalui kehidupan sosial, yaitu interaksi manusia dengan sesamanya dan dengan makhluk Tuhan yang bukan manusia, seorang manusia bisa berangkat melakukan pendekatan terhadap Tuhan. Di sini, kecenderungan puisi Taufiq sebagai zikir sosial makin terasa.
Salah satu interaksi sosial yang juga bisa dianggap sebagai jalan pendekatan kepada Tuhan adalah pembelaan terhadap orang-orang yang lemah. Taufiq Ismail menyadari hal yang demikian. Ia menyadari bahwa usaha membela kaum tertindas dari kezaliman yang menimpa mereka bukan hanya sebuah kerja demi kemanusiaan, tapi sekaligus juga demi keimanan dan pengabdiannya pada Tuhan.
Kesadaran ini pula yang membuatnya menulis puisi “Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu”: Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh/ menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamartidurku/ bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan/ mengepulkan debu yang berdarah,//.../Palestina, bagaimana aku bisa melupakanmu,// Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka,/ menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi/ pergelangan tangan dan lengannya...// Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu/ Tanahku jauh, bila diukur kilometernya beribu-ribu/ Tapi azan Masjidil Aqsha begitu merdu/ Serasa terngiang-ngiang di telingaku.//
Puisi itu adalah sebuah pembelaan Taufiq terhadap penderitaan yang diderita masyarakat Palestina. Sebagai sesama muslim, jelas Taufiq sangat terpengaruh oleh perang di Palestina yang banyak menewaskan manusia. Kesadarannya sebagai sesama muslim, dan juga sebagai manusia yang berhati peka, membuat dia tak bisa melupakan apa yang terjadi di Palestina.
Puisi “Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu” juga bagian dari sebuah zikir sosial. Ketika menciptakan puisi itu, Taufiq tak hanya sedang merenung sendirian saja tentang Palestina. Melalui puisi itu, ia memang hendak menyentil perasaan umat Islam lainnya. Taufiq sedang berkabar melalui puisi itu seperti kecenderungan umum puisinya—yang menurut Putu Wijaya—memang hampir selalu bertendensi menyampaikan kabar.10
Dalam puisi “Mendoakan Khatib Jum’at Agar Mendoakan”, tendensi zikir sosial juga hadir. Puisi tersebut seperti hendak mengingatkan para khatib yang berkhutbah dalam ibadah sholat Jumat agar senantiasa mendoakan manusia-manusia yang menderita karena perang, bencana alam, ataupun sebab yang lain.
Simak puisi tersebut: Berminggu-minggu debu Galunggung menyusupi kota-kota/ Beratus ribu saudara kita jatuh sengsara/ Di Kalimantan berjuta hektar hutan terbakar/...// Ada perang panjang di Palestina, Kashmir, Afghanistan, dan Filipina Selatan/ Beratus-ribu perempuan, lelaki, dan kanak-kanak digilas penderitaan/.../ Aku masuk sebuah masjid suatu Jum’at tengah hari/ Tak kudengar khatib mendoakan mereka/...// Mengapa khatib tak pernah mendoakan ummat yang miskin tertindas// Aku ingin kita sama-sama berdoa/ Mendoakan khatib-khatib setiap sebelum shalat Jum’at/ Di epan gerbang masjid kita masing-masing/ Agar mereka tidak lupa mendoakan penderitaan manusia/ ....//
Selain pembelaan terhadap kaum tertindas yang tak berdaya, kesadaran Taufiq tentang religiusitasnya juga dipengaruhi oleh keinsyafannya akan waktu yang terbatas bagi manusia. Penyair itu memang telah sampai pada kesadaran bahwa waktu yang dimiliki manusia untuk hidup memang sangat singkat. Karenanya, efisiensi penggunaan waktu hidup tersebut mesti diusahakan semaksimal mungkin.
Dalam MAJOI, kita bisa menemukan sebuah puisi yang mengekspresikan persoalan kematian secara tulus dan mendalam. Puisi yang berjudul “Sebuah Ziarah, ke Kubur Sendiri” adalah puisi yang secara khusus bicara dengan nada reflektif yang mendalam tentang kematian yang akan dialami penyairnya kelak.
Puisi yang didekasikan untuk orang tua Taufiq yang telah banyak membimbing kehidupannya itu antara lain berbunyi: ....Dalam ribuan saf yang amat teratur membelintang/ Antara Arafah dan Muzdalifah/ Aku membungkuk sedikit/ Mengintip kuburku/ Apa jenis tanahku/ Apakah tanah khatulistiwa/...// Di bawah kemah di Arafah/ Diterjang panas 50 derajat/ Hamba letakkan tulang-belulang hamba/ Sejajar sumbu bumi/ Hamba terbaring/ Mayat hamba terbaring/ Ini sebuah simulasi/...//
Sebagai seorang seniman, Taufiq menyadari bahwa “masa dinas” kesusastraan yang ia miliki sangat pendek. Ia hanya akan memiliki waktu untuk aktif bersastra beberapa puluh tahun saja. Maka, segala potensi yang ia miliki mesti diarahkan pada pencapaian “tugas” kesenimanannya, yaitu menciptakan keindahan.
Tapi, keindahan ala Taufiq bukan sekadar keindahan. Keindahan, baginya, selalu harus dikaitkan dengan Tuhan yang Maha Pencipta. Mungkin saja sebuah ekspresi bisa dianggap indah dengan ukuran manusia. Tapi, dalam ukuran Tuhan, keindahan itu barangkali tak ada artinya. Maka, segala usaha pencapaian keindahan, menurut Taufiq, adalah sebuah upaya “meniru Keindahan-Nya”.
Tentu saja, upaya “peniruan” itu tak akan mencapai kualitas yang sempurna. Artinya, tak mungkin manusia mampu menyamai keindahan yang diciptakan Tuhan. Tapi, dengan demikian bukan berarti upaya “peniruan” itu harus segera ditinggalkan. Justru dengan kesadaran untuk melakukan “peniruan” itulah manusia berusaha sedekat mungkin dengan Zat yang telah menciptakannya itu.
Meski waktu untuk melakukan upaya itu juga sangat terbatas, tapi usaha tersebut, bagi Taufiq, tetap mesti dilakukan. Dengan kesadaran untuk melakukan “peniruan” atas keindahan yang diciptakan Tuhan itulah Taufiq berpuisi.

/6/
Keinginan melakukan zikir sosial, amal saleh, dan peniruan terhadap keindahan Tuhan adalah tiga pokok penting dalam puisi-puisi Taufiq Ismail. Ketiganya pula yang membuat Taufiq mendudukkan diri sebagai penyair yang jelas-jelas berpihak.
Dalam sebuah catatan kebudayaan yang ia tulis di Majalah Horison, Taufiq mengatakan bahwa “betapa pun sukar dan seperti mustahilnya, tetap kita menyeru kebaikan melawan kemunkaran”.11 Seruan itu, selain karena keyakinannya sebagai muslim yang kaffah, tentu saja dilatari oleh kondisi Indonesia yang banyak mengalami kesulitan hidup dalam lapangan moral, politik, dan ekonomi.
Puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” adalah penjelasan paling gamblang dan masuk akal tentang salah satu dorongan kenapa akhirnya Taufiq Ismail memilih jalan sebagai penyair yang terlibat dalam gerak amar ma’ruf nahi munkar.
Simak penggalan puisi tersebut: ...Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak/ Hukum tak tegak, doyong berderak-derak/ Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak/ .../ Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kaca mata/ Dan kubenamkan topi baret di kepala/ Malu aku jadi orang Indonesia.//
Sampai di sini, saya ingin mengambil kesimpulan bahwa puisi-puisi religius Taufiq Ismail bisa menjadi tak hanya karena tekad dia secara pribadi yang memang hendak menjadikan puisinya sebagai ekspresi keberagamaan, tapi juga karena pertemuannya dengan realitas sosial Indonesia yang penuh persoalan. Di situlah puisi Taufiq menjadi sebuah zikir sosial.

Tidak ada komentar: