Selasa, 06 Mei 2008

Chairil Anwar dalam Risiko


Oleh: Ridha al Qadri

Chairil Anwar hadir dalam “revolusi”. Pada saat yang sama, “penyair” adalah individu yang merefleksikan risiko eksistensi. Karena itu, situasi artistik puisinya adalah tegangan biografis di tengah khaos. Bagaimanakah “seni” puisi seperti ini jadi bagian “revolusi”?

I

Selama bulan-bulan di tahun 1942, seorang lelaki berusia 20 tahun, penuh gairah, mulai menyusuri jalan-jalan di Batavia, menjelang Jepang mengganti pendudukan Belanda di tanah Inlander, dan setelah ia pergi dari Medan karena membenci ayahnya. Batavia, waktu itu, beda dengan tempat kelahirannya. Batavia berarti wilayah di mana segala hal dari Eropa mendapat jalan terbuka, dan ke kota itu pula perhatian membentuk “Indonesia” tertuju. Sedangkan ia, Chairil Anwar, anak bupati yang kemauannya mesti terpenuhi, justru bersemangat dengan segala hal dari Eropa.

Di Batavia, tahun itu, ia bergaul dengan gadis-gadis Belanda Indo, sambil meyakini sebuah sajak Sentot yang disalin Multaluli, “Hari Akhir Olanda di Jawa”, yang meneriakkan tantangan, serta ancaman menodai putri-putri penjajah. Tiap hari ia dan orang-orang melihat poster-poster pembebasan bangsa, mendengar ide pembaruan sejak De Indische Partij dan Sarekat Islam di wilayah sosial-politik-agama, hingga Poedjangga Baroe dalam sastra dan budaya.

Tahun itu pula, orang-orang makin mendesak untuk merubah dan membentuk bangsa. Sebab, Indonesia tahun itu adalah kelanjutan masa sebelumnya, zaman yang menuntut harga kemanusian dan kebangsaan. Akan tetapi, membentuk manusia dan bangsa, era kolonial itu, berarti menjalani kontradiksi revolusi.

Jepang menghalangi revolusi dalam hal apa pun. Sedangkan revolusi adalah bentuk penyangkalan hegemoni sekaligus afirmasi kedaulatan manusia.

Sajak “Diponegoro” ditulis dalam garis afirmasi dan negasi itu: “punah di atas menghamba/binasa di atas ditinda”. Dalam bait ini, pengubahan posisi melukiskan pergulatan derajat terjajah yang hendak dilampaui. Bahkan, penyangkalan itu menerima konsekuensi paling akhir, yakni, “binasa”. Di sana, ia menyarankan status otonomi, agar harga diri manusia tak lagi direndahkan.

Pada zaman revolusi itu, di mana sistem dan relasi masyarakat bergeser dan kacau, Chairil Anwar menyebut puisinya dalam rangka “perhitungan habis-habisan” dengan sekitarnya. Kemudian, perhitungan diletakkan menurut pandangan “harga sebagai manusia dengan kepribadian”. Kesimpulan ini dinyatakan dalam surat untuk H.B. Jassin pada 8 Maret 1944.

Satu tahun sebelumnya, ia menulis sajak-sajak mengenai hasrat cinta pada perempuan. Tapi, ia seolah tak ingin menyerahkan diri sepenuhnya pada wanita, seperti pada sajak “Tak Sepadan” dan “Sia-sia”. Sedangkan sajak “Sendiri” menampilkan sepi dan kalut seseorang “dari segala/yang minta perempuan untuk kawannya.” Risau akan hasrat pada perempuan justru membuat ia memanggil-manggil sosok Ibu.

Secara bersamaan, malam-malam tahun 1943 itu, Chairil terlihat memenuhi hasrat seksual dengan Marsiti di Stasiun Senen, sambil membaca buku sastra di samping pelacur itu. Di Batavia itu, keterpisahan dengan keluarga membawa Chairil dari sebuah tempat yang dianggap gaduh ke tempat tenang. Sajak “Pelarian” dan “Suara Malam” memperlihatkan bahwa tempat tenang baginya ada di luar rumah, yang bertolak dari risau “ke mana/untuk damai dan reda?.”

Seperti dapat kita baca dari sajak-sajak dan kisah hidupnya, perempuan adalah bagian yang intim. Tapi, perhatian itu selamanya merisaukan proses individuasi Chairil. Hasrat cintanya menghendaki relasi yang tak menentang cara berpikir Chairil. Seperti dalam bait ini: “Aku mau bebas dari segala/Merdeka/Juga dari Ida.” Atau: “sebab perempuan susah mengatasi/keterharuan penghidupan.” Atau dalam baris reflektif tahun 1947: “cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”.

Dalam keadaan demikian, subjektifitas Chairil mendapat prioritas berlawanan dengan hasratnya. Gairah cintanya sangat besar. Sedangkan dorongan subjektifitasnya lebih besar. Dengan begitu, bagi Chairil, cinta yang menentang kepribadiannya justru tak akan ia terima.

Dari sini, sajak Chairil Anwar menampilkan sekian perhitungan kontradiktif atas nilai pribadinya. Ia menganggap “harga sebagai manusia dengan kepribadian” sebagai nilai paling tinggi. Maka, ia tak menghendaki penghalang atas nilai-nilai subjektifnya. Pada pemahaman ini, harga kemanusiaan yang Chairil bayangkan adalah perjuangan subjektifitas.

Niat seperti itu menuntut segala hal dari individu sebagai pokok. Sebagai konsekuensi, ia mengarahkan diri dalam perkembangan kreatif menciptakan nilai-nilai sendiri bagi dunianya. Dengan kata lain, subjektifitas menyusun cara pandang yang menganggap individu sebagai sumber nilai, bukan ditentukan nilai dari luar dirinya. Cara pandang inilah yang identik dengan humanisme.

II

Dalam hal Chairil, pada awalnya bukanlah nilai-nilai subjektif yang ditentukan. Tapi, subjektifitas, atau harga manusia, dimulai ketika hasratnya menemui kontradiksi.

Mengenai relasi hasrat dan subjektifitas, Jaques Lacan memberi banyak perhatian. “Hasrat”, dalam pengertian filsuf Prnacis ini, muncul dari “subjek yang kekurangan”. Hasrat lahir dari dorongan seseorang atas sesuatu yang diinginkan. Apa yang diinginkan bisa berupa benda atau yang bukan benda, pada makanan, tempat, pengakuan, atau orang lain. Pemenuhan hasrat berarti kebutuhan “subjek yang kekurangan” itu tercapai atau terpuaskan.

Seperti yang terlihat pada Chairil, hasratnya tak terpisahkan dengan prioritas subjektif. Subjektifitas mengacu pada segala sesuatu dari pelaku atau pribadi yang mengarahkan pikiran, emosi, tubuh, indera, visi, dan intuisi ke dunia di luar dirinya. Subjektifitas itu “dalam dunia“ sekaligus “untuk dunia”.

Subjektifitas itulah asal individualisme Chairil, seperti keyakinan penyair modern sejak Charles Baudelaire, Arthur Rimbaud, dan Stephan Mallarme. Namun, dalam rentang hidup Chairil, hasrat dan subjektifitasnya itu terus menemui negasi dan halangan. Kontradiksi subjektif yang ia alami itu berasal dari orang lain dan kenyataan zaman revolusi.

Pada Maret 1943, “Aku” (Kalau sampai waktuku...), ditulis dalam keadaan siap melawan bahaya, tapi, juga rasa muak pada orang lain yang merendahkan harga dirinya. Setelah itu, sajak “Hukum” ditulis sebagai gambaran individu yang penuh cita-cita, yang “banyak menangkis pukul” dera nasib. Orang dalam kedua sajak ini adalah gambaran seorang pejuang.

Bulan itu pula Chairil jatuh cinta pada Soemirat. Ia mengabadikannya, saat malu-malu dan saling berpandangan (sajak “Lagu Biasa”), dan fantasi sentimentil bermesraan di tempat penuh kembang dan udara hangat (sajak “Taman”). Bahkan, ia telah menganggap Soemirat sebagai “tunangan”. Sebuah sajak untuk Soemirat pada awal tahun 1944 menampilkan ekspresi, seruan, dan gelora cinta tersebut: “kucuplah aku terus, kucuplah/dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku...” (sajak “Sajak Putih”). Dalam sajak ini, hasrat cinta Chairil mengacu pada tubuh yang ingin menyerap kasih dan gairah demi membentuk hidup bersama.

Secara bersamaan, ketika pendudukan Jepang memicu ambruknya ketertiban sosial, Chairil makin rawan oleh “dunia” yang menentang dirinya (sajak “Kesabaran”). Karena risau dengan kondisi yang tak aman itu, semakin mendekatkannya pada dilema, yakni keadaan terombang-ambing antara tempat yang tentu atau tempat yang tak menentu. Baru kemudian, dari dilema ruang ini, Chairil membayangkan sebuah rumah dalam sajak Slauerhof bagi kebahagiaannya, sebuah cita-cita mempunyai dan memenuhi tempat tinggal dengan “unggun-timbun sajak” (sajak “Rumahku”, April 1944).

Bulan sebelumnya, Maret 1944, harapannya tersebut sudah mendekati kegagalan. Bulan itu, Chairil ikut Soemirat pulang ke Jawa Timur, dengan niat sekalian melamar pada orang tua kekasihnya. Malangnya, keluarga Soemirat tak suka kelakuan Chairil, ditambah pendapatan menulis puisi yang tak menentu. Ia dianggap belum layak jadi suami. Tapi, ia justru minta ongkos naik kereta ke Jakarta pada ayah Soemirat. Dalam kereta inilah diabadikan perasaan “sayatan terus ke dada”, saat melihat senja dan purnama justru melengkapkan kisah cinta yang celaka (Sajak “Dalam Kereta”).

Tahun itu menunjukkan bahwa hasrat Chairil mendapat kasih Soemirat dan hasrat membentuk “rumah” menemui jalan buntu. Tak ada restu orang tua merendahkan harga dirinya. Dengan demikian, terdapat halangan terhadap harapan, atau subjektifitasnya. Maka, ia mengalami penyangkalan cita-cita.

Penyangkalan adalah kontradiksi, yang mengacu pada segala negasi. Pada keadaan itu, berlangsung suatu pertentangan. Dalam filsafat Alain Badiou, negasi adalah keadaan-keadaan yang saling berlawanan. Sedangkan seseorang yang mengalami kontradiksi mungkin bisa membawa dirinya pada sikap destruksi, penghancuran, hingga perlawanan. Akan tetapi, sebaliknya, ia dapat pula menyusun pengalihan, penyimpangan, atau distorsi.

Subjektifitas yang menemui kontradiksi tetap akan ada, namun, akan mencari disposisi ke lain arah. Bahkan bisa berbalik, subjek ini mengukuhkan diri sebagai lawan bagi yang di luar dirinya, yakni penolakan pada segala sesuatu yang dianggap menyangkal subjektifitasnya. Dalam hal seperti inilah seseorang mengawali kesadaran individualnya.

Dari sini, bila Chairil sebagai penyair hendak melihat “jiwa sendiri” sebagai manusia, maka, ia meneropong jiwanya bersama penghalang yang menekan keinginan-keinginannya.

Dengan demikian, kepribadian Chairil adalah hasrat subjektif yang terancam patah dan retak. Tapi, ia juga afirmasi terus menerus pada hasrat dan subjektifitas yang tak terbatas. Terutama jika dorongan subjektif yang besar itu hadir pada zaman perang, yang hampir tak ada jaminan, atau dalam lingkungan yang kacau. Singkatnya, secara bersamaan, ia hadir dalam sebuah tatanan yang khaos: keadaan berantakan, kacau, goyah, tak aman, tak stabil, tak menentu. Khaos sosial adalah wilayah ambruknya masyarakat tanpa ada pertimbangan jaminan hidup.

Lalu, seperti apakah subjektifitas penyair yang berlangsung dalam lingkungan yang kacau ini?

III

Subjektifitas yang menemui penghalang justru bisa membentuk negatifitas. Pada satu kesempatan, ia cenderung mengukuhkan cara pandang perlawanan. Khususnya, jika subjek itu ada dalam lingkungan dan sejarah penjajahan. Sedangkan sastra yang lahir di tengah revolusi sering bertolak dari sikap perlawanan itu dengan pelbagai variasi.

Edwar Said, dalam Kebudayaan dan Kekuasaan, punya rumusan yang bisa berlaku untuk mewakili kondisi kolonial ini. “Kebudayaan dan bentuk-bentuk estetika”, kata Edwar Said,” berasal dari pengalaman sejarah.” Dalam pembahasan yang luas, Said memperlihatkan bagaimana pertumbuhan kebudayaan dan kesenian sering memuat respon dan ungkapan terhadap bentuk-bentuk imperialisme.

Poedjangga Baroe adalah wakil yang dekat dengan pandangan Said tersebut, meski banyak yang mengawali gerakan intelektual Indonesia sejak “politik etis” berlaku. Rumusan penting zaman kolonial itu adalah bagaimana menciptakan kemajuan bangsa terjajah untuk menentukan nasibnya sendiri. Sutan Takdir Alisjahbana menganjurkan tanggung jawab sosial sebagai pokok pembebasan dan kemajuan. Bersama Armijn Pane dan Amir Hamzah, ia meletakkan garis pembaharuan sastra dan kebudayaan yang mengawali polemik orientasi kultural.

Agaknya, pada awalnya bukan soal bagaimana arah kultural Indonesia diletakkan. Menurut Asrul Sani, bahwa hal yang mendasari pertumbuhan sastra hingga zaman Chairil adalah “tradisi humanisme”. Pandangan inilah yang mengusulkan “martabat manusia” sebagai “kebenaran baru” bagi Indonesia. Hal ini disebabkan transformasi “humanisme” oleh intelektual Pribumi melalui bahasa Melayu. Tentu saja, setelah bahasa ini berangsur-angsur jadi bahasa nasionalisme kebudayaan.

Tradisi humanisme adalah pijakan kultural di tengah penjajahan. Ada pun alasan yang mendasar, karena imperialisme mendekatkan tatanan sosio-budaya Indonesia ke dalam pola hegemoni. Sistem kolonial inilah yang menjauhkan nilai kemanusiaan yang mestinya jadi pegangan hidup. Justru dengan itu, seluruh gerakan kemerdekaan, terutama kebudayaan dan sastra, mendapat titik pernyataan. Humanisme jadi pencarian baru mengatasi kekacauan dan derita bangsa. Meski pun “humanisme” itu dijalankan dengan bermacam cara pandang.

“Martabat manusia” atau “harga sebagai manusia” itulah yang jadi pemikiran Chairil untuk memposisikan diri dalam sejarah penjajahan. Dalam hal puisi, menulis berarti menggunakan bahasa yang mengungkapkan afirmasi kemanusiaan. Tapi, secara bersamaan, kemanusiaan zaman kolonial adalah kemanusiaan yang ditindas.

Maka, perlu suatu puisi yang antagonis, sekaligus memberi tekanan sikap optimis. Chairil Anwar mengawalinya lewat bait “biar peluru menembus kulitku/aku tetap meradang menerjang”. Tak ada keharuan dari sajak ini. Tak terasa pula kemarahan. Sebab, dalam kondisi lemah itu, perjuangan bukanlah sejenis kemarahan. Dalam “Kita Guyah Lemah”, sajak dalam pidato Chairil tahun 1943, kondisi yang lemah justru dihadapkan pada pergulatan mengatasi kelemahan itu: “segala erang dan jeritan/kita pendam dalam keseharian...//mari tegak merentak”.

Hampir tak ada keindahan dalam sajak-sajak ini. Itu pun jika keindahan diartikan sebagai lukisan kenyataan yang membuat senang atau gembira. Dalam kebanyakan sajaknya, justru kenyataan yang dihadirkan terasa pekat, gelap, penuh bahaya, dan menantang. Sedangkan keindahan, bagi Chairil, hanya dapat dicapai dengan semacam daya, melalui kekuatan, tenaga, atau dengan “vitalisme”. Karena itu ia menyimpulkan, bahwa “keindahan” hanya dicapai melalui “persetimbangan perpaduan dari getaran-getaran hidup.”

Keindahan yang terdiri dari sekian getaran hidup adalah sesuatu yang beragam, beda, dan tegang. Getaran hidup merupakan keadaan-keadaan, atau perasaan-perasaan, yang tak seimbang, tak sejajar, kontras, beragam, terpisah, tak satu arah. Kondisi ini membentuk tegangan. Tegangan dari getaran hidup adalah kondisi manusia dengan sekian kontradiksi.

Kontradiksi-kontradiksi inilah yang membawa manusia pada kontras-kontras dan beda situasi dalam dunia. Sedangkan Chairil justru memanfaatkan kondisi-kondisi manusia yang kontras ini. Ia memadukan dan menyatukan bermacam kondisi manusia yang berlawanan itu ke dalam cara berpikirnya sebagai seniman, atau dalam visi seorang penyair.

Dengan demikian, penjadian “dunia” yang terlukis dalam sajaknya adalah “alam penghidupan” yang memprihatinkan dan perasaan luka yang tak tertahan. Bagi Chairil, seorang penyair harus mengarahkan “dasar pikirannya” ke tengah perasaan “suka dan duka”, untuk mencapai penciptaan kembali dunia yang paling dekat dengan cara pandangnya. Bagi Chairil, seorang penyair harus mengukur kekuatan dunia yang terlihat, yang kontras dan bertentangan sekalipun, untuk memusatkan “tenaga perasaan-perasaannya” menyerap dan membentuk sebuah pernyataan. Dalam hal itu, bagi Chairil, “hahan-bahan bahasa” mesti dikuasai dan dimanfaatkan penyair dalam menyatakan “dunia” tersebut. Variasi-variasi bahasa, menurutnya, sangat menentukan bagaimana pikiran dan perasaan seniman memperoleh bentuk yang istimewa.

Perasaan, pikiran, suka, dan duka, saling dipadukan membentuk layar “dunia”. Dengan begitu, kenyataan yang berlawanan hal yang lazim dalam susunan sajak. Hal demikian dihadirkan seperti dalam bait ini: “aku hidup/dalam hidup di mata tampak bergerak/dengan cacar melebar, barah bernanah/dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga” (“Aku” – Melangkahkan aku...)

Dalam sajak ini, penderitaan justru dijalin dengan rasa atau sikap yang tak pahit. Antara cedera dan bahagia tak disediakan jarak. Di sana, kondisi yang berlawanan justru serentak dihadirkan. Dengan pandangan itu, tenaga hidup sangat dibutuhkan ketika ia hendak melampaui situasi-situasi yang nyaris membuat hancur: “berilah aku tempat di menara tinggi...//atas keramaian dunia dan cedera” (“Kepada Pelukis Affandi”). Seperti yang dimaksud sajak ini, dengan daya yang kuatlah, ia akan menghadapi dan mengalihkan diri dari satu kondisi ke lain kondisi.

Pada tahun-tahun itu pula, keadaan lingkungan hidup Chairil dibentuk oleh perang. Perang adalah kekacauan, di mana tiap tatanan, penghargaan, dan nilai-nilai, telah roboh. Dalam masyarakat khaos itu, Chairil justru mendesakkan perhitungan terhadap lingkungan yang tak menghargai harga kemanusiaan tersebut. Perhitungan Chairil adalah menuntut diri mengubah kondisi sekitarnya. Untuk mengalihkan kondisi itu, ia harus membentuk diri, atau memperjuangkan martabatnya.

Maka, ia mencela tiap hal yang menggugat otonomi. Ia membantah segala ancaman yang menyerang nilai individu sebagai sumber keyakinan. Bahkan, ia siap menantang tiap konsekuensi yang datang dari bahaya revolusi. Ia menghadapkan nilai dirinya dengan ketidakpastian melawan penghalang kemanusiaan. Dengan kesimpulan, ia adalah individu di tengah bahaya.

IV

Antara individu dan bahaya itu, Alain Badiou mengajukan satu hal yang sering membuat cemas, tapi juga lazim, genting, dan perlu. Hal yang juga disadari Chairil. Hal itu adalah “risiko”.

Risiko, dalam pengertian Alain Badiou, adalah sesuatu yang niscaya dalam dunia. Ia menekankan arti “risiko” dalam wilayah filsafat dan dunia kontemporer. Ia melihat bahwa kadang manusia mengalir dalam dunia tanpa siap menerima konsekuensi-konsekuensi peralihan kondisi. “Dunia kita bukanlah hadiah sebuah janji”, kata Badiou, “tapi, sedikit demi sedikit, kita kehilangan kapasitas untuk mengarahkan eksistensi pada risiko atau bahaya-bahaya perubahan hidup.” Kemudian, untuk menghadapi bahaya hidup itu, filsuf Prancis ini menyarankan, justru “eksistensi menghendaki perhitungan yang rumit terus menerus.”

Dengan pemahaman Badiou, hal yang serupa dapat kita temui dalam sajak Chairil Anwar yang ditulis di akhir November 1946, yang berjudul “Kepada Kawan”. Meski pun Chairil memberi arah dan tekanan yang berbeda. Subjek dalam sajak ini eksplosif, ganas, berani, bertenaga, disertai gairah dan imperatif menghadapi bahaya, sekaligus ikhtiar merevisi terus menerus segala hal yang sudah dilakukannya: “isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,/tembus jelajah dunia ini dan balikkan.../hancurkan lagi apa yang kau perbuat.”

Dalam sajak ini, seorang individu tak harus memadamkan hasrat dan semangat. Di samping itu, seorang individu mesti mengarahkan diri pada dunia yang terus menerus bergerak. Tapi, risiko yang ditekankan dalam sajak itu berupa segala perhitungan yang disebabkan oleh segala sesuatu yang hadir dari musuh. Risiko diletakkan dalam kesadaran ruang otonomi, yakni, kedaulatan harga diri menentang hegemoni di lingkungan hidupnya. Dalam hal ini, pengertian Chairil dekat dengan pandangan Anthony Giddens, bahwa, risiko berarti kalkulasi pada konsekuensi hidup yang mungkin segera dialami.

Dalam tiga tahun sebelumnya, Chairil memandang risiko hidup ibarat “lautan maha dalam/mukul dentur selama/nguji pematang kita.” (sajak “Penghidupan”). Pada pemahaman demikian, risiko tak terpisahkan dengan rintangan dan ketidakpastian. Dengan begitu, risiko tampil di saat momen menghitung pertahanan hidup, antara untuk kalah atau untuk menang.

Pada sajak “Perjurit Jaga Malam”, pemahaman akan risiko lebih dekat pada kesadaran waktu. Dalam sajak untuk Baharudin dan Rivai Apin ini, kemungkinan dari memimpikan “kemerdekaan” adalah menjelajah wilayah yang gelap tanpa tahu kapan nasib baik didapat: “aku tidak tahu apa nasib waktu”. Memang terasa pesimis, seperti Sutan Takdir Alisjahbana mengartikan sajak-sajak Chairil. Tapi, sepertinya, bukan pesimisme yang jadi soal.

Permasalahannya, tiap risiko adalah perhitungan yang panjang. Terdapat sikap main-main dan keberanian untuk menerima hal-hal yang belum terjadi atau belum pasti itu. Karenanya, risiko hanya ditanggung oleh subjek yang singular, atau individu tunggal. Menurut Badiou, singularitas merupakan faktor mendasar dari eksistensi. Jika subjek menyangkal singularitasnya, atau ketika ia menolak dirinya sebagai individu yang mesti siap menerima konsekuensi, maka, eksistensinya mudah goyah, hancur, rapuh, dan lemah.

Itulah mengapa, singularitas dalam filsafat Alain Badiou adalah jalinan antara “kejadian dan kebenaran.” Pemahaman ini berarti seorang individu tak hanya menyerah pada peristiwa yang akan dialami. Sebab, singularitas berarti pertemuan antara subjek dengan dunia. Pertemuan itu berlangsung melalui pergantian dan peralihan peristiwa yang tak terbatas. Di saat yang sama, subjek yang mengalami perubahan peristiwa mesti menimbang, menilai, memperhitungkan, atau menengok pada kebenaran-kebenaraan dari dirinya terus menerus.

Argumentasi Badiou, subjek dalam “filsafat singularitas” adalah subjek yang terus menjadi, becoming, dengan meluangkan penalaran yang terus diperbarui. Ia seperti semboyan “hancurkan lagi apa yang kau perbuat”. Ia menyediakan tangkapan dan putusan pikiran pada yang akan berlangsung dan yang tengah dialami. Inilah “progam” filsafat, seni, sastra, politik, dan apa saja yang dimaksud Alain Badiou dengan dunia kontemporer.

Badiou menekankan “peristiwa”, event, atau momen bagi subjek “menjadi”. Menurutnya, tiap “peristiwa” membuka jalan bagi subjek ke masing-masing “kesempatan”. Apa pun “peristiwa” yang dialami tiap orang membawanya pada retakan komitmen, atau pada permainan “kesempatan”, sekaligus ke dalam ketidakpastian kalkulasi. Dalam pemahaman Chairil Anwar, di sana berlangsung tindakan “menimbang dan memutus”.

Dari pemahaman yang lebih dekat pada relasi “peristiwa” dan “kesempatan” inilah, subjektifitas atau sikap mengunggulkan nilai individu dalam diri Chairil mengalami sekian tantangan, atau mengalami sekian retakan. Dalam zaman perang itu, retakan subjektif adalah robekan-robekan nilai individu ketika menghadapi destruksi sosial, atau dalam kondisi kacau. Ia semacam luka. Akan tetapi, luka, atau, retakan subjektif itu tak berlaku permanen. Sebab, seorang individu tetap mendapat “kesempatan” yang berulang.

Kesempatan berarti sebuah celah, sela-sela momen untuk menyodorkan pikiran dan perhitungan. Di sana, ada jarak yang diukur, di mana otonomi manusia hendak dipertaruhkan. Jarak yang membuat cemas, bimbang, berisiko, menantang, menegangkan, atau dalam refleksi Chairil, yakni “antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga.” (sajak “Tuti Artic”)

V

Di Batavia itu, antara tahun 1942-1949, Chairil Anwar adalah penyair di tengah konflik sosial. Dari sebuah zaman yang tak memberi jaminan untuk selamat, ia menuliskan sajak-sajaknya. Dari suatu dunia saat “bahaya datang dari tiap sudut”, atau dari masa yang disusun kekacauan, Chairil Anwar bertahan pada “harga sebagai manusia”.

Dengan demikian, pengalaman perang, ketika seseorang menegakkan kedaulatan diri, adalah sebuah kondisi saat ia dihantam dera tanpa henti. Ia tak pernah tahu kapan reda akan tiba, seperti “racun” yang terpaksa direguk tiap pagi, ibarat hari-hari saat harapan terus menerus terpukul dan patah (sajak “1943”). Harga kemanusiaan saat perang, seperti mempertahankan kemanusiaan tanpa kepastian untuk selamat. Seluruh perhitungan, tiap kalkulasi, segala kapasitas bertahan dari konsekuensi, dalam zaman khaos itu, akhirnya, tak sebanding arti “kalah” atau “menang”.

Dengan konsekuensi, humanisme, atau pandangan apa pun yang mengunggulkan martabat individu, atau subjektifitas yang didesakkan pada realitas, adalah nilai-nilai yang hanya “sempat” terwujud di dunia. Humanisme bukan berarti pandangan nilai yang kekal, atau konsep yang utuh dan tegak, tapi, ia adalah tuntutan terus menerus agar memperoleh realisasi.

Dengan kata lain, keyakinan ini “seperti kapal pecah di dasar lautan”, yang “jemu dipukul ombak besar”. Meskipun pandangan ini adalah arah bagi subjek merdeka, atau tujuan bagi tiap eksistensi, atau titik tolak seseorang membentuk dunianya, di saat yang sama, ia tak pernah terpisah dengan ancaman.

Pada tiap dorongan menegakkan kemanusiaan, akhirnya, humanisme niscaya menemui kontradiksi dan risiko. Walaupun, dalam kesempatan demikian, seseorang tak pernah menghendaki penghalang untuk mewujudkannya. Maka, humanisme adalah daya tarik dan daya tolak yang tak terbatas. Humanisme selalu menunggu memperoleh kesempatan “menjadi”. Ia adalah “kebenaran” yang belum memperoleh wujud. Ia adalah nilai yang dibentuk kembali saat otonomi tempat orang berdiri mulai guncang. Ia adalah non-wujud yang memberi wujud pada tindakan kemanusiaan.

Dari sini, bait “punah di atas menghamba/binasa di atas ditinda”, adalah pernyataan memahami konsekuensi melawan hegemoni. Melawan penjajahan sama saja menghitung risiko yang panjang. Dan risiko paling akhir, ketika menuntut nilai individu kepada musuh, adalah ajal.

Dengan begitu, menulis puisi bersama semangat revolusi adalah tak memberi arti sepenuhnya pada kemalangan. Segala luka dan celaka, akibat krisis masyarakat, dalam sajak-sajak Chairil, dihadirkan bersamaan dengan membatalkan kemutlakkan maknanya. Tragedi perang tak dapat dihindari, tapi, ia hanya sebagian perhitungan yang belum hakiki.

Sebaliknya, Chairil memanfaatkan tragedi untuk menghapus kekangan tragedi itu sendiri. Kesengsaraan dilepaskan dari makna-maknanya yang cenderung membuat gentar dan takut. Situasi dari “kecemasan derita” dituliskan sebagai kenyataan yang mesti diterjang. Setiap sentimentalitas dan kelemahan, dera dan duka, dihilangkan batas-batas artinya.

Hasilnya, sekian puisi dengan pengalaman pahit dan cinta, luka dan harapan, derita dan mimpi, tragedi dan bahagia, yang masing-masing berlawanan, bertabrakkan, saling menyangkal, membantah, menolak, dan saling menahan ketunggalan arti. Dengan begitu, sajak-sajak Chairil tak memberi ruang yang luas bagi satu situasi. Ia tak menghendaki sebuah peristiwa dilihat lewat satu interpretasi.

Sampai di sini, sajak-sajak Chairil Anwar adalah layar subjektifitas. Di tiap bagiannya, berlangsung “peristiwa subjek” yang diproduksi. Peristiwa subjek itu tak pernah seragam. Bahkan, sering menunjukkan situasi dan keadaan yang bertolak belakang. Puisi, sebagai wilayah penciptaan, adalah dari mana segala hal dari relasi subjek dan dunia tampil. Pada momen seperti itu, puisi adalah semacam seni.

VI

sSeni, art, bukan saja “yang indah”, beauty. Ia juga bukan hanya “yang menyenangkan” atau yang membuat “gembira” dan “nikmat”. Seni marangkum semua itu. Ia bukan sifat atau kualitas saja, tapi, sesuatu yang aktif.

“Seni”, dalam pemahaman Alain Badiou, “adalah proses suatu kebenaran”. Kata “proses” di sini mendapat tekanan. “Kebenaran” dalam seni itu hadir secara aktif, bergerak, tampil, dan “kebenaran” itu selalu berarti “kebenaran” yang dirasakan atau yang dicerap. Kebenaran dalam seni hadir sebagai “yang sensible atau yang sensual”. Sedangkan pikiran tak jadi kontrol. Pikiran justru menunggu dan membiarkan seluruh kenyataan tampil dari relasi subjek dengan dunia. Pikiran cenderung menyerahkan diri ke dalam keadaan, atau pada kesempatan-kesempatan di sela-sela momen artistik.

Justru pikiran yang akan menyusun kembali yang terlihat, yang terdengar, terasa, dialami, dan yang terpikirkan oleh subjek puisi ke dalam bahasa. Pikiran itu membentuk, membuat, menyatakan, memilih bahasa, dan menyusun perasaan seniman agar memperoleh “bentuk”. Dalam pemahaman Chairil, seniman “mesti bisa menimbang, memilih, mengupas, dan kadang-kadang sama sekali membuang.”

Pikiran, dalam hal puisi, berarti gerak transformasi “yang dirasa”, atau semacam kebenaran itu, ke dalam “penjadian” yang menyerupai ide atau gagasan. Penjadian itu merangkum perasaan dan pikiran sekaligus. Penjadian itu tak ditentukan hukum material. Sebaliknya, produksi subjektifitas itu membatasi unsur material. “Seni”, sekali lagi dari Alain Badiou, “adalah produksi atau penciptaan atas rangkaian-rangkaian subjektifitas yang tak terbatas melalui cara-cara terbatas mengurangi unsur material.”

Dari cara pandang “seni puisi” ini, kita maklum saat di depan puisi. Terutama di depan puisi yang baik. Di depan puisi, kadang ada yang tampil sebagai gagasan, atau semacam rasa yang sekejap hadir dan hilang. Ada rahasia yang muncul dan tenggelam, menuntut tafsir dan penyelaman. Ada sesuatu yang terbuka dari dalam. Sesuatu itu bagi Badiou, juga bagi Martin Heidegger, adalah kebenaran itu sendiri. Bagi mereka berdua, seni merupakan salah satu cara bagi “kebenaran” mendapat jalan membuka dirinya ke dalam dunia. Di sana, terutama pada puisi yang baik, terletak visi yang tak sengaja ditangkap, tak dipaksakan mendesak, namun, visi atau gagasan itu hadir dan terasa. Ia adalah rahasia eksistensi manusia. Bahkan, kadang, visi itu terlihat seperti gagasan baru

Dengan demikian, dari sajak-sajak Chairil, eksistensi itu memperoleh bentuk dari tegangan subjek yang penuh risiko. Tegangan ini membawa sekian pikiran dan perasaan, yang tampil, terbuka, dan muncul di celah “peristiwa subjek” dalam dunia. Situasi artistik sajak-sajak Chairil Anwar mengalir dari tegangan relasi antara perasaan yang kacau dengan subjektifitas yang ingin penuh, tetap, dan total.

Di sana, tangkapan pikiran hadir sewaktu-waktu. Seperti dalam sajak “Tuti Artic”, yang diawali ketidakpastian harapan: “antara bahagia sekarang dan nanti jurang menganga...”. Dan di akhir sajak, refleksi muncul secara mengejutkan: “cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”. Di sana, ada “kebenaran” yang jadi konklusi, atau kesimpulan sementara yang dilihat penyair. Dengan demikian, seni sebagai proses dalam jalinan “kejadian dan kebenaran” memperoleh ruang manifestasi.

Di lain sajak: “bukan maksudku berbagi nasib,/nasib adalah kesunyian masing-masing”. Atau pernyataan di sajak lain: “menunggu reda yang mesti tiba.” Dan juga: “hidup hanya menunda kekalahan.” Atau: “bukan kematian benar menusuk kalbu”.

Pikiran-pikiran ini lahir dari kondisi khaos, ketika hasrat subjek menghadapi kenyataan-kenyataan yang nyaris membuatnya retak atau patah. Pikiran-pikiran itu mengandung semacam kebenaran, kebenaran yang dirasakan secara tragis, tanpa memberi makna yang tunggal.

Dari sini saya ingin menutup pembicaraan terhadap Chairil Anwar dengan mengutip pernyataan filsuf Spanyol, Miguel de Unamuno, dalam Tragic Sense of Life: “sejak kita hanya hidup dalam dan dengan kontradiksi-kontradiksi, sejak hidup adalah tragedi, dan tragedi adalah perjuangan terus menerus, tanpa kemenangan atau harapan akan kemenangan; hidup adalah kontradiksi.”

Akhirnya: selamat menulis puisi, membaca dan mendengarkan manusia!

Januari-Februari 2oo8

(Dimuat di Littera Edisi II Maret-April 2008)

Tidak ada komentar: