Senin, 19 Mei 2008

Taufiq Ismail, Janji untuk Bertindak, dan Komunitas Terbayang

(Membaca Kumpulan Puisi Tirani dan Benteng)
Oleh: Haris Firdaus

/1/
Membaca puisi Taufiq Ismail tak mungkin melepaskan diri dari kesadaran personal penyair itu. Kesadaran personal Taufiq berangkat dari penghayatan sosial karena ia selalu melakukan apa yang oleh Suminto A Sayuti disebut sebagai “transpersonalisasi atau transubyektivikasi kehidupan.” Melalui puisi, Taufiq menggubah pengalaman individualnya menjadi pengalaman sosial yang bisa dinikmati pembacanya. Karena itu pula, unsur komunikasi sangat penting dalam puisi Taufiq walaupun itu tak berarti ia mengabaikan estetika.1
Meski tak mengelakkan adanya unsur subyektivitas dalam puisi-puisinya, Taufiq lebih banyak membuat puisi berdasar kenyataan sosial di sekelilingnya. Suminto A Sayuti bahkan menyebut sebagian puisi Taufiq Ismail sebagai “saksi sejarah”. Sebagai saksi sejarah, puisi Taufiq senantiasa hadir mengalir di tengah masyarakat pembaca sastra. Bahkan secara tersurat ataupun tersirat, dalam proses penulisan maupun proses sosialisasi karyanya, ia tak pernah lelah untuk menegur dan mengkritisi kenyataan sejarah.2
Puisi-puisi Taufiq yang bisa dianggap sebagai kesaksian sejarah adalah terutama puisi-puisi dalam Kumpulan Puisi Tirani dan Benteng, diterbitkan Yayasan Ananda tahun 1993. Tirani dan Benteng merupakan gabungan dari dua kumpulan puisi Taufiq sebelumnya, yaitu Kumpulan Puisi Tirani dan Kumpulan Puisi Benteng yang keduanya pertama kali terbit pada 1966. Kumpulan Puisi Tirani dan Benteng juga memuat puisi-puisi “Menjelang Tirani dan Benteng”.3
Sebagai “kesaksian sejarah”, Tirani dan Benteng tentu banyak menggambarkan kondisi bangsa Indonesia pada saat puisi-puisi dalam kumpulan tersebut dibuat, yaitu sekitar pertengahan tahun 1960-an. Tahun-tahun tersebut adalah tahun di mana bangsa Indonesia sedang mengalami banyak cobaan. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang didahului dengan persaingan politik yang tajam antara kelompok kepentingan politik yang ada, dibarengi dengan kenaikan harga dan inflasi membuat kondisi Indonesia saat itu bisa disebut dalam situasi krisis.
Kesadaran personal Taufiq dalam Tirani dan Benteng dipengaruhi kontestasi politik dan kebudayaan sejak tahun 1950-an sampai 1960-an. Esai ini hendak melakukan pembacaan terhadap Kumpulan Puisi Tirani dan Benteng dengan mengaitkan teks-teks di dalamnya dengan kondisi sosial saat itu dan penghayatan personal Taufiq Ismail atas kondisi sosial tersebut. Pengaitan ini terutama didasari atas tatapan paradigma kritis dalam ilmu sosial yang melihat teks bukan sebagai barang beku yang terpisah dari konteks sosial yang melingkupinya. Teks, dalam paradigma kritis, adalah tempat di mana tarik-menarik kekuasaan terjadi.4

/2/
Pada 21 Februari 1957, di hadapan sejumlah pemimpin partai dan tokoh masyarakat, Presiden Soekarno mengabarkan sebuah gagasan tentang persoalan politik mutakhir yang kelak populer dengan sebutan “Konsepsi Presiden Soekarno” atau “Konsepsi Soekarno”. Ada tiga hal pokok yang merupakan inti pemikiran Soekarno tersebut: (1) sistem demokrasi parlementer ala barat—yang tak sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia—mesti diganti dengan demokrasi terpimpin; (2) untuk melaksanakan demokrasi terpimpin, perlu dibentuk kabinet gotong royong yang anggotanya mewakili parpol yang ada; (3) pembentukan Dewan Nasional—yang anggotanya terdiri dari golongan fungsional dalam masyarakat—dengan tugas memberi nasehat pada anggota kabinet.5
Konsepsi Soekarno itu kemudian menandai tonggak baru dalam dunia politik Indonesia di mana kekuasaan presiden menjadi hampir tak berbatas. Namun, pada hakekatnya, kekuasaan Soekarno itu dipengaruhi oleh dua kekuatan politik utama, yaitu PKI dan TNI AD, dua kekuatan yang saling bersaing. Mengenai siapa di antara keduanya yang lebih dominan, Daniel Dhakidae dan Iwan Simatupang berselisih paham. Daniel lebih melihat TNI AD sebagai kekuatan dominan—bahkan menyebut saat itu telah terjadi “kedikatoran militer” di Indonesia—sedangkan Iwan melihat bahwa PKI—dan juga RRC—adalah kekuatan utama yang mengendalikan Soekarno.6
Pada 17 Agustus 1959, Soekarno kembali menyampaikan pemikirannya guna mendukung demokrasi terpimpin yang dikenalkannya dan sebelumnya telah dimantapkan dengan lahirnya Dekrit Presiden. Gagasan Soekarno itu disampaikan dalam pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato itu kemudian lebih dikenal sebagai Manifes Politik atau Manipol.
Ketika Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) mengadakan kongres di Bandung pada Juli 1960, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mengusulkan agar Manipol diterima sebagai landasan kerja BMKN. Usulan itu ditolak dan kemudian Lekra mulai menjauh dari BMKN.
Pada tahun 1961, mulailah sebuah konfrontasi di bidang kebudayaan—khususnya sastra—dengan keluarnya pendapat Bakri Siregar, salah seorang dedengkot Lekra, tentang “Sastra Indonesia dan Revolusi Agustus”. Saat itu, Bakri menuduh Chairil Anwar, HB Jassin, Idrus, dan beberapa sastrawan lainnya sebagai orang yang tak mendukung revolusi kemerdekaan Indonesia. Mereka dicap sebagai penganut humanisme universal yang akhirnya meniadakan sikap nasionalisme dan pemihakan pada revolusi. Bakri juga menyinggung cerpen-cerpen beberapa pengarang yang ia anggap reaksioner karena selalu menyudutkan perjuangan buruh dan tani.7
Tahun-tahun selanjutnya, ketegangan antara Lekra dengan pengarang-pengarang yang tak seide dengan organisasi itu tak terhindarkan. Dimulai dengan tuduhan plagiat yang dialamtkan pada Hamka, sampai kemudian memuncak dengan keluarnya Manifes Kebudayaan—yang beberapa bulan berselang dilarang oleh Bung Karno—suasana kebudayaan saat itu memang benar-benar panas. Iwan Simatupang bahkan menggambarkan bahwa rasa kebencian antar golongan yang timbul saat itu adalah sebuah kebencian yang sangat akut dan bahkan belum pernah dikenal dalam “sejarah kebencian di Indonesia”.8
Yang khas dari persaingan ide dalam kebudayaan saat itu—antara “realisme sosialis” Lekra dan “humanisme universal” Manifes Kebudayaan—adalah adanya pengaruh kekuasaan. Berbeda dengan polemik tahun 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya, berbeda pula dengan polemik tahun 1950-an—yang pada hakekatnya merupakan “pengulangan” dari polemik tahun 1950-an—polemik tahun 1960-an adalah polemik yang, meminjam kata-kata Daniel Dhakidae, “justru di sarang kekuasaan itu sendiri dan malah boleh dikatakan bahwa kekuasaanlah yang menentukan jalan pertikaian itu”.9
Di tengah kondisi yang demikianlah Taufiq Ismail berada dan mulai menemukan identitasnya sebagai pemuda, mahasiswa, calon dokter hewan, orang yang taat agama, sekaligus penggemar sastra. Pada tahun-tahun itu, Taufiq sedang belajar di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia. Di tengah kepadatan jadwal dan rutinitas eksaknya, ia mulai mencari penghiburan pada sastra, utamanya puisi.
Taufiq bergaul dengan beberapa sastrawan dan pemikir Indonesia terutama yang ada di Jakarta. Ia menyimak diskusi tentang marxisme dan leninisme dengan beberapa tokoh sastra terkemuka Indonesia seperti Arief Budiman, Goenawan Mohamad, HB Jassin, Wiratmo Soekito dan lain-lain. Diskusi dan pertemuan Taufiq dengan para cendekiawan itu kelak akan berpengaruh pada biografi dia baik dilihat dari sisi politik maupun sastra.10
Pada saat itu, Taufiq telah mulai menulis puisi. Puisi-puisinya mulai awal 1960-an sampai 1965 terhimpun dalam bab “Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng” dalam Buku Tirani dan Benteng. Kebanyakan puisi yang dibuat dalam periode itu—berdasar pengakuannya sendiri—banyak bercerita tentang “kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan, angan-angan, cita-cita dan tekad.”11
Tema-tema yang menyeruak dalam puisi periode itu bisa dianggap sebagai tema “umum” yang biasa digarap penyair dalam kondisi apapun, dan bukan merupakan monopoli Taufiq. Tapi, dalam periode ini, pandangan politik Taufiq mulai terasa dalam sejumlah kecil sajaknya. Saya kira, itulah asal mula puisi Taufiq bisa dianggap sebagai sebuah “multiteks”: sebagai teks sastra, teks sejarah, sekaligus teks politik.
Tendensi “multiteks” dalam puisi-puisinya itu tentu terbentuk dari suasana jaman yang penuh dengan pergolakan. Ketika lulus pada tahun 1963 dari Universitas Indonesia, Taufiq menghadapi sebuah kenyataan yang dirasainya pahit. Ia mengaku bahwa saat itu ia lulus “dengan rasa kacau menyaksikan pencengkeraman ekspresi di seluruh negeri”.12 Rasa kacau itu makin memuncak ketika PKI mulai melakukan manuver dalam bidang kebudayaan dengan melakukan pengganyangan terhadap tokoh yang dianggap berseberangan dengan mereka.
Kegemaran Taufiq pada puisi, bertemu dengan aspirasi politiknya sebagai kaum muda, dan keimanannya sebagai penganut Islam yang teguh. Pada pertemuan antara tiga kecenderungan dalam dirinya itulah lahir sejumlah puisi “multiteks” yang tak hanya melulu bisa ditempatkan sebagai “teks sastra”.
Puisi “Catatan Tahun 1965” adalah cikal-bakal dari apa yang saya sebut sebagai “multiteks” itu. Puisi tersebut dengan jelas menunjukkan aspirasi politik Taufiq dan kecenderungannya menjadikan puisi sebagai “saksi sejarah”—sekaligus pula menampakkan posisi spiritualnya—yang dibalut dengan kemahirannya mengolah kata menjadi puisi.
Simak “Catatan Tahun 1965”: Di lapangan dibakari buku/ Mesin tikmu dibelenggu/ Piringan hitam dipanggan/ Buku-buku dilarang/ Kita semua diperanjingkan/ .../ Hamka diludahi Pram/ Masuk penjara Sukabumi/ Jassin dicaci diserapahi/ Terbenam daftar hitam/ Usmar dimaki Lentera/ Sudjono dicangkul BTI/ Nasakom bersatu apa/ Umat dibunuhi di desa/ Kanigoro bagaimana lupa/ Kus Bersaudara dipenjara/ Mochtar diterungku/ ... / Rebutan beras antrian/ .../ Inflasi saban pagi/ Pidato tiap hari/ Maki-maki sebagai gizi/ Bahasa carut diperluaska / ... / Warna merah dikibarkan/ .../ Pawai genderang digenderangkan/ Kolone kelima disusupkan/ .../ Matine Gusti-Allah dipentaskan. //
Puisi itu dibuat Taufiq setelah menyaksikan Pawai HUT PKI pada 23 Mei 1965. Saat itu memang terjadi penyerangan dalam bidang seni dan budaya oleh simpatisan PKI terutama yang ada di Lekra. Dalam dua puisi pendeknya yang berjudul “2 September 1965, Pagi” dan “2 September 1965, Senja”, Taufiq juga merekam tentang keterkekangan dalam bersuara: Cinta pada kebebasan/ Adalah cinta terlarang/ Hari ini.// (Puisi “2 September 1965, Pagi”); dan juga Kemerdekaan masih bertahan/ Kemerdekaan untuk diam/ Senja ini.// (Puisi “2 September 1965, Senja”)
Selain dipengaruhi oleh pertentangan politik, kesadaran personal Taufiq juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi Indonesia yang terpuruk saat itu. Ia gelisah ketika tahu bahwa panen kentang milik kakaknya di Desa Pandai Sikek, Padang Panjang, ternyata gagal. Saat itu, hama tanaman menyerang banyak ladang pertanian, kelaparan timbul di mana-mana, jumlah pengemis di Jakarta meningkat drastis, dan harga barang kebutuhan pokok naik berlipat-lipat.13
Kondisi perekonomian yang sulit itulah yang kemudian diabadikan Taufiq dalam “Syair Orang Lapar”: Lapar menyerang desaku/ Kentang dipanggang kemarau/ Surat orang kampungku/ Kuguratkan kertas/ Risau// Lapar lautan pidato/ Ranah dipanggang kemarau/ Ketika berduyun mengemis/ Kesinikan hatimu/ Kuiris//...//
Setelah Gerakan 30 September meletus, Taufiq menulis “Oktober Hitam”, sebuah puisi yang menggambarkan kedukaan akibat terbunuhnya beberapa perwira penting di Angkatan Darat: Atap-atap gunung/ Dan daratan/ Meratap/ Ke mega gemulung/ Mata yang duka/ Menatap/ Sepanjang pagi murung/ Angin yang nestapa/ Berdesah/ .../ Tujuh lelaki/ Telah mati/ Pagi itu/ ...// Darah Ade, anak perempuan mungil itu/ Menetes sepanjang tongkat ayahnya/ Yang bertelekan di kuburan/ Menahan berat beban cobaan/ Tapi tetap tegak bertahan/...// Fajar kelabu/ Fajar kelam/ Pagi Pembunuhan/ Pagi yang hitam/...//.

/3/
Meletusnya peristiwa yang menelan korban tujuh perwira TNI Angkatan Darat, meminjam terminologi DS Moeljanto, adalah “akhir dari sebuah kemelut”.14 Tapi, Moeljanto tak selamanya tepat: sejarah membuktikan ketika rakyat Indonesia keluar dari sebuah kemelut pada Oktober 1965 itu, mereka pun sebenarnya sedang masuk dalam kemelut baru yang jauh lebih rumit. Relasi PKI—dan juga Lekra—dengan peristiwa itu tentu saja tak menguntungkan. PKI dianggap mendalangi peristiwa yang selama bertahun-tahun dikekalkan namanya menjadi “G30S/PKI” itu.
Lalu “pengganyangan” balik pun terjadi. Kekuatan anti komunis berkonsolidasi. Kaum muda bergerak. Didukung TNI AD, kesatuan aksi mahasiswa, pelajar, serta organisasi profesi lainnya bermunculan.15 Pada akhirnya, kebencian pada komunisme bertransformasi menjadi kebencian pada kebatilan, kesewenang-wenangan, dan kerakusan kuasa yang dimiliki pejabat pemerintah. Dibumbui oleh kondisi ekonomi yang hancur seperti gelas yang dibanting ke lantai, demonstrasi, protes, sekaligus huru-hara adalah pandangan wajar di Indonesia kala itu.
Taufiq Ismail, sekali lagi, dihadapkan pada kondisi politik yang kacau, sekaligus “menggairahkan” karena kondisi yang demikian merangsang naluri mudanya untuk ikut bergerak, ikut bertindak. Maka, kita dapati kenyataan bahwa Taufiq—yang saat itu sudah tiga tahun tidak lagi berstatus mahasiswa—ikut dalam aksi yang dirancang dan diprakarsai Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).16
Selama mengikuti demonstrasi itulah Taufiq mencatatkan pengalamannya dalam bentuk puisi. Kumpulan puisi Taufiq yang berisi cerita-cerita demonstrasi pertama kali terbit tahun 1966 atas prakarsa Arief Budiman dengan judul Tirani. Menyusul kemudian adalah kumpulan puisi Benteng yang masih bercerita tentang demonstrasi tapi lebih banyak mengambil setting di Kampus UI Salemba. Sebagai seorang yang terlibat dalam praksis politik saat itu, kita bisa memahami kenapa puisi Taufik dalam Tirani dan Benteng condong pada salah satu pihak dalam pergolakan itu, yaitu mahasiswa, kaum muda, dan rakyat kebanyakan yang tersengsarakan oleh keadaan.
Seperti telah dikemukakan, puisi-puisi Taufiq, termasuk dalam periode ini, memang menampakkan diri sebagai sebuah “multiteks”: sebuah teks yang kompleks sekaligus tidak utuh satu sama lain dalam bagian-bagiannya. Tapi, dalam pengamatan saya, teks politik mulai mendominasi entitas “multiteks” tersebut. Maka, beda dengan tinjauan Suminto A Sayuti yang cenderung hanya menempatkan puisi-puisi dalam Tirani dan Benteng sebagai “saksi sejarah”, saya cenderung lebih memilih menempatkan puisi-puisi dalam kumpulan itu sebagai sebuah teks politik.17
Alasannya, puisi-puisi Taufiq tidak hanya “mencatat peristiwa”, tapi juga sekaligus berperan dalam peristiwa politik saat itu. Teks puisi Taufiq bukan berhenti jadi dokumentasi saja tapi juga memainkan peranan dalam peristiwa politik saat itu. Sikap ngotot Arief Budiman untuk menerbitkan puisi Taufiq yang dibuatnya pada masa awal demonstrasi besar-besaran saat itu, menunjukkan bahwa puisi-puisi tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah penumbangan orde lama menuju orde baru.
Selain itu, seperti yang akan saya buktikan kemudian, puisi-puisi Taufiq dalam Tirani dan Benteng ternyata mengandung muatan-muatan politis yang tidak kecil serta tidak bisa dianggap remeh pada saat itu.



/4/
Ketika Taufiq mulai menulis puisi dalam Tirani dan Benteng, hubungan antara sastra dan politik tentu saja masih hangat. Taufiq tentu paham bahwa menempatkan “politik sebagai panglima” bagi sajak-sajaknya akan berakibat buruk. Maka, saya meyakini—sembari sedikit berbeda pandang dengan Subagio Sastrowardoyo—bahwa mewujudnya puisi-puisi Taufiq sebagai sebuah teks politik tak serta merta membuat teks-teks tersebut menjadi menyempit, paling tidak Taufiq tak berkehendak menyempitkan sajak-sajaknya.18 Subagio, ketika menelaah sajak-sajak perlawanan Taufiq saat itu melupakan satu hal yang penting: konteks sosial.
Dalam tatapan ilmu sosial berparadigma kritis yang sejarah mulanya bisa kita runut sampai Mazhab Frankfurt di Jerman, bahasa bukanlah wujud yang bisa dipisahkan dari konteks sosial. Praktek berbahasa seorang manusia, pada akhirnya, akan dibentuk oleh—sekaligus membentuk—kondisi serta struktur sosial yang ada.19 Pada pendirian ini pula, sebuah puisi—sebagai wujud dari praktek berbahasa—akan dipengaruhi oleh kondisi serta praktek sosial yang ada di sekeliling penyair. Maka, pembahasan puisi-puisi Taufiq tanpa melihat konteks sosial saat puisi-puisi itu terbit berpotensi pada pengambilan kesimpulan yang sempit.
Dalam memandang Taufiq, saya lebih banyak bersepaham dengan HB Jassin. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Angkatan 66 dan Sajak Sepi”, Paus Sastra Indonesia itu menyebut bahwa kita tidak hanya membutuhkan “sajak-sajak sepi” yang berakar dari pelepasan diri individu dari dekapan masyarakatnya.20 Dunia juga membutuhkan sajak-sajak yang merupakan hasil dari “lapangan hidup perjuangan”. Dari lapangan hidup perjuangan itu pula, kata Jassin, telah terlahir seniman-seniman yang jujur. Maka, kalau Subagio menganggap sajak-sajak Taufiq dalam Tirani dan Benteng “sama keadaanya” dengan sajak-sajak penyair Lekra, Jassin menolak anggapan itu.
Jassin bertanya, tapi kalimat tanyanya lebih mirip gugatan: “Apakah isi makna keadilan dan kebenaran pada AS. Dharta dan Taufiq Ismail sama? Dan apakah intensitas dan kesungguhan pada keduanya sama?” Kalau diperkenankan menjawab pertanyaan Jassin pada 1972 itu, saya akan dengan tegas menjawab: “Tidak!”
Bagi Jassin, “Kita tidak perlu seperti Lekra mencemoohkan seniman yang menutup diri di menara gading sebagai manusia borjuis—mereka pastilah dapat sampai pada pikiran-pikiran yang tinggi dan abadi—, tapi janganlah orang menuntut pula supaya kita sama sekali meninggalkan lapangan hidup perjuangan....”
Hubungan antara sastra, manusia, dan politik, pernah dengan sangat baik dibahas Wiratmo Soekito.21 Wiratmo, dengan diawali pembedahan pada konsep “seni untuk seni” dan “seni untuk masyarakat”, sampai pada satu kesimpulan: manusia adalah makhluk yang pada hakekatnya selalu “berkeingin untuk bertindak”. Maka, baik “seni untuk seni” maupun “seni untuk masyarakat”, kalau ia dicipta secara sungguh-sungguh pastilah merupakan sebuah perwujudan konkret dari engagement: semacam “janji untuk bertindak”.
Politik adalah sesuatu yang mengandung ambivalensi dalam dirinya. Di satu pihak, ia dihayati oleh semua manusia, tapi di lain pihak politik (berpotensi) melakukan pembinasaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pada ambivalensi politik inilah sejarah peradaban manusia terhadapkan. Taufiq Ismail, tak luput dari perjumpaan yang demikian. Ia mengalami sendiri bagaimana politik ternyata mengakibatkan, dalam kata-kata Wiratmo, “korupsi terhadap dasar dan kondisi hidup manusia”. Politik yang demikian, lagi-lagi dalam bahasa Wiratmo, adalah “suatu politik perkosaan”.22 Menghadapi “politik perkosaan”, adakah Taufiq Ismail diam saja?

/5/
Seperti dikatakan Wiratmo, seni yang baik—apapun falsafah seni yang mendasarinya—adalah manifestasi dari engagement atau “janji untuk bertindak”. Dan, bagi saya, puisi-puisi Taufiq adalah perwujudan dari janji untuk bertindak itu. Transformasi dari sekedar “janji” menjadi puisi, menurut saya, terjadi karena Taufiq menghadapi semacam “politik perkosaan” di hadapannya. Sebagai seorang yang besar dari latar belakang agama yang kuat serta memiliki kesadaran sosial yang tinggi, wajar kalau Taufiq kemudian melawan “politik perkosaan” yang ia anggap merugikan—bukan hanya dirinya, tapi terlebih lagi bagi—orang banyak itu.
Maka, sebuah sajak Taufiq yang berjudul “Dengan Puisi, Aku” menandaskan tekad Taufiq untuk menjadikan puisinya sebagai manifestasi dari janji untuk bertindak: Dengan puisi aku bernyanyi/ Sampai senja umurku nanti/ Dengan puisi aku bercinta/ Berbatas cakrawala/ Dengan puisi aku mengenang/ Keabadian Yang Akan Datang/ Dengan puisi aku menangis/ Jarum waktu bila kejam mengiris/ Dengan puisi aku mengutuk/ Nafas zaman yang busuk/ Dengan puisi aku berdoa/ Perkenankanlah kiranya.//
Puisi itu dibuat tahun 1965, seolah disiapkan sebagai semacam “alasan” atau “kredo” bagi puisi-puisi Taufiq yang ia buat di sekitar peristiwa demonstrasi tahun 1966. Dengan merujuk pada puisi itu, kita bisa memahami kenapa akhirnya Tufiq memutuskan membuat “puisi-puisi protes” pada tahun 1966.
Meski begitu, apa yang dinamakan dengan “puisi-puisi protes” Taufiq Ismail tetaplah berbeda dengan “puisi protes” para penyair Lekra. Sebab, pendasaran atas pilihan membuat “puisi protes” antara Taufiq dengan para penyair Lekra tentu saja berlainan.
Daniel Dhakidae pernah melakukan pengkajian sepintas terhadap puisi Sobron Aidit yang berjudul “Kepalaku Marxis, Diriku Leninis” dan menemukan bahwa puisi tersebut mengalami paradoks di dalamnya.23 Puisi itu, kata Daniel, telah “menundukkan” universalime marxisme ke dalam partilukarisme partai. Artinya, dalam puisi tersebut, “kebenaran universal” yang menjadi dasar penciptaan puisi telah ditafsirkan secara sepihak dan sempit menjadi sama dengan kepentingan sebuah kelompok yang amat terbatas.
Pada Taufiq, saya tak menemukan kecenderungan yang demikian. Janji untuk bertindak yang menjadi dasar penciptaan puisinya mewujud dalam bahasa yang meskipun kadang sifatnya kategoris tapi tetap mengandung “universalitas”. Meski secara sengaja menempatkan puisi-puisinya sebagai bagian dari sebuah “perlawanan politik”, Taufiq tak seratus persen menghilangkan sifat universalitas dari puisi-puisinya.
Simak puisi berjudul “Sebuah Jaket Berlumur Darah” yang secara bagus menunjukkan tegangan antara bahasa kategoris dan sikap universal: Sebuah jaket berlumur darah/ Kami semua telah menatapmu/ Telah berbagi duka yang agung/ Dalam kepedihan bertahun-tahun/ Spanduk kumal itu, ya spanduk itu/ Kami semua telah menatapmu/ ...// Pesan itu telah sampai ke mana-mana/ Melalui kendaraan yang melintas/ Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan/ ... / Prosesi jenazah ke pemakaman/ Mereka berkata/ Semuanya berkata/ LANJUTKAN PERJUANGAN!//
Tak bisa dipungkiri, bahasa kategoris memang tampak lebih dominan dalam sajak tersebut. Simbol-simbol khusus seperti “jaket berlumur darah” dan “spanduk kumal” jelas menunjukkan bahwa puisi itu ditujukan untuk satu kelompok dengan kategori tertentu yang sanggup memahami simbol-simbol yang demikian. Namun, bertemunya kata “kami” dengan “mereka” dalam puisi-puisi itu menunjukkan bahwa sikap “universal” sebenarnya tak hilang sama sekali. .
Puisi “Sebuah Jaket Belumur Darah” juga menunjukkan tendensi Taufiq untuk melakukan komunikasi dengan pembaca sajak-sajaknya sebagai sebuah kelompok yang berdiri satu pihak dengan dia. Dengan mengintrodusir simbol-simbol perjuangan yang menggugah sekaligus menggunakan kata ganti jamak dalam sajak itu, Taufiq seolah hendak mengajak pembacanya membayangkan diri mereka berada dalam satu ikatan.
Pada titik ini, puisi Taufiq adalah ajakan untuk membentuk sebuah “komunitas terbayang”. Frasa “komunitas terbayang” saya pinjam dari Bennedict Anderson ketika dia mencoba melakukan penjelasan tentang konsep “bangsa”.24
Dalam pemahaman Bennedict, bangsa merupakan sesuatu yang “terbayang” karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lainnya, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun meski demikian, di benak setiap orang yang menjadi bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.25
Sebuah kelompok yang mirip dengan bangsa—meski tentu saja lebih sempit— dalam pengertian Anderson itulah yang saya temukan dalam puisi-puisi Taufiq. Ketika membaca beberapa puisi Taufiq, saya seolah didorong untuk membayangkan sebuah kelompok, sebuah komunitas, yang secara apriori “sepihak” dengan saya. Atau, yang terjadi justru sebaliknya: saya didorong untuk melakukan pemihakan pada sebuah kelompok yang barangkali hanya ada dalam benak saya.
Dalam “Sebuah Jaket Berlumur Darah”, pembaca didorong untuk mengenali sebuah kelompok—yang diwakili kata “kami”—yang disatukan oleh simbol “jaket berlumur darah” dan “spanduk kumal”. Pada bagian akhir sajak, kelompok yang dibayangkan pembaca tadi diperluas dengan memperkenalkan “abang-abang beca” dan “kuli-kuli pelabuhan” sebagai “anggota baru” kelompok terbayang itu.
Dengan sebuah perbandingan yang tak terlampau ketat, puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” memiliki tendensi yang sama dengan novel Jose Rizal, Noli Me Tangere, dan karya Mas Marco Kartodikromo, Semarang Hitam. Tendensi yang sama itu adalah tendensi dalam pembentukan sebuah komunitas terbayang meski latar sosial dari karya-karya itu tentu saja berbeda jauh.26
Sajak “Refleksi Seorang Pejuang Tua” juga mengajak pembaca melakukan pembayangan tentang sebuah kelompok: Tentara rakyat telah melucuti Kebatilan/ Setelah mereka menyimak deru sejarah/ Dalam regu perkasa mulailah melangkah/ .../ Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya/ Kecuali dua puluh tahun lalu/ ...//
Dalam sajak itu, sebuah komunitas terbayang itu bahkan diandaikan sama padunya dengan “bangsa” Indonesia yang pada tahun 1945 melakukan perjuangan mengusir penjajah. Dalam sajak “Bendera Laskar”, Taufiq menggunakan simbol sebuah bendera yang dikibarkan di halaman kampus guna menyatukan komunitas terbayang yang ia bangun.
Salah satu hal dominan yang dilakukan Taufiq dalam rangka menguatkan komunitas terbayang itu adalah dengan melakukan identifikasi dengan masyarakat kecil. Sajak “Karangan Bunga”, “Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya”, “Bendera”, dan “Oda Bagi Seorang Sopir Truk” adalah sajak-sajak yang menunjukkan kelompok masyarakat kecil seperti penjual rambutan, anak kecil, seorang ibu tua, dan sopir truk, sebagai bagian dari komunitas terbayang itu.
Sajak “Geometri”, “Aritmatika Sederhana”, dan “Mimbar” adalah sajak yang menciptakan jarak antara komunitas terbayang itu dengan sesuatu di luar dirinya. Di sini, lagi-lagi kita bisa mengidentikkan komunitas terbayang Taufiq dengan komunitas terbayang Anderson.
Menurut Anderson, bangsa sebagai komunitas terbayang adalah sesuatu yang terbatas, dalam artian memiliki pembeda dan jarak dengan komunitas terbayang lainnya.27 Tiga sajak Taufiq yang saya sebut tadi bisa dianggap sebagai ikhtiar untuk menciptakan pembeda sekaligus sebuah usaha membuat komunitas terbayang tadi sebagai sesuatu yang terbatas. Dengan model yang seperti ini, komunitas terbayang Taufiq makin mudah disatukan identitasnya.
Identitas yang dibangun sebagai sifat yang melekat dengan komunitas terbayang milik Taufiq adalah identitas sebagai pemikul beban sejarah untuk melakukan perubahan. Simak sajak “Horison”: Kami tidak bisa dibubarkan/ Apalagi coba dihalaukan/ Dari gelanggang ini// Karena ke kemah kami/ Sejarah sedang singgah/ Dan mengulurkan tangannya yang ramah/ ...//.
Simak pula sajak “Rendez-vous”: Sejarah telah singgah/ Ke kemah kami/ Ia menegur sangat ramah/ Dan mengajak kami pergi// “Saya sudah mengetuk-ngetuk/ Pintu yang lain,”/ Katanya/ “Tapi amat heran/ Mereka berkali-kali menolakku/ Di ambang pintu.”// Kini kami beratus-ribu/ Mengiringkan langkah Sejarah/ Dalam langkah yang seru/ ...//
Tapi puncak dari penegasan identitas itu adalah sajak ““Kemis Pagi”: Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan/ Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran/ Dan menaiki kereta-kereta kencana/ .../ Dengan suara lantang meperatas-namakan/ Kawula dukana yang berpuluh juta// Hari ini kita serahkan mereka/ Untuk digantung di tiang Keadilan/ ...//. Penegasan yang tak kalah kerasnya juga bisa kita temukan dalam puisi “Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini”.


/6/
Penegasan identitas dari komunitas terbayang itu ternyata tak serta merta membuat perjuangan melawan “politik perkosaan” menjadi serba mudah. Dalam beberapa puisinya, Taufiq dengan jelas melukis sekian kendala, sekian hal yang memberati perjuangan tadi. Puisi “Memang Selalu Demikian, Hadi” dan “Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal 9 Maret” adalah dua puisi yang secara terus-terang menyoroti masalah-masalah dalam perjuangan, terutama soal pengkhianatan.
Barangkali karena hambatan-hambatan itu, perjuangan jadi tak terlampau sempurna. Dan karena itu pula sebuah perjuangan membutuhkan “estafet” untuk menjadikannya makin “sempurna”. Sebuah perjuangan yang belum sampai pada titik akhir inilah yang perlu dilanjutkan. Maka, Taufiq pun menulis: Momentum telah dicapai. Kita/ Dalam estafet amat panjang/ Menyebar benih ini di bumi/ Telah sama berteguh hati// Adikku, Kappi, engkau sangat muda/ Mari kita berpacu dengan sejarah/ Dan kini engkau di muka// (Sajak “Persetujuan”).
Estafaet itu juga tergambar dalam puisi ini: Jika adalah yang harus kaulakukan/ Ialah menyampaikan kebenaran/ Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan/ Ialah yang bernama kenyakinan/ Jika adalah yang harus kautumbangkan/ Ialah segala pohon kezaliman/ .../ Jika adalah kesempatan memilih mati/ Ialah syahid di jalan Ilahi.// (Puisi “Nasihat-nasihat Kecil Orang Tua pada Anaknya Berangkat Dewasa”).

/7/
Mewujudnya sebuah komunitas terbayang dalam puisi Taufiq Ismail membuktikan asumsi saya bahwa puisi Taufiq mengandung tendensi sebagai teks politik, meski manifestasi teks politik itu tak serta merta membatalkan kecenderungan yang saya sebut sebagai “multiteks”. Saya kira, pengaruh kondisi politik dan sosial yang diresapi Taufiq secara tak langsung menjadikan puisi-puisi yang ia buat menjadi “multiteks”: pada Taufiq, puisi bukanlah alat ekspresi semata, juga bukan sekedar sarana menggapai estetika. Di tangan Taufiq, puisi terutama merupakan manifestasi janji untuk bertindak.

(Pemenang III Lomba Karya Tulis Mahasiswa 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia)

Tidak ada komentar: