Senin, 19 Mei 2008

Telepon: Ekstase dan Pembenaran Diri

Oleh Bandung Mawardi


Telepon adalah kata yang lahir pada tahun 1796. Kata itu mengandung pengertian teknologi komunikasi dan tanda proses perubahan zaman. Telepon sebagai teknologi komunikasi menemukan bentuk dan fungsi riil dalam kerja Alexander Graham Bell (1874-1922) yang membuat hak paten untuk telepon pada tahun 1876. Telepon lantas menjadi kata dan benda yang membuat revolusi besar dalam teknologi komunikasi dan tatanan hidup manusia.
Telepon sebagai tanda modernitas menjadi perkara besar untuk proses perubahan sosial-kultural. Umberto Eco menyebutkan bahwa kehidupan modern yang dicirikan oleh sistem komunikasi modern melahirkan kesadaran keberadaan zaman komunikasi (age of communication). Telepon menjadi sebuah sistem komunikasi yang menguatkan kesadaran “zaman komunikasi”. Jurgen Habermas mengakui bahwa peran telepon dalam kehidupan modern adalah medium komunikasi yang tidak sekadar untuk pemenuhan keinginan menyampaikan atau menerima informasi tetapi yang substansial adalah menjadikan keinginan itu bisa diketahui.
Teknologi telepon mulai hadir di Batavia (Hindia Belanda) pada tahun 1880-an dengan kepentingan kolonial untuk komunikasi ekonomi-politik. Telepon sebagai teknologi komunikasi modern ikut menentukan konstruksi kehidupan modern di Hindia Belanda. Telepon hadir dan melahirkan kisah-kisah yang merepresentasikan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Telepon adalah pengertian besar yang memberi kontribusi dalam mengonstruksi biografi Hindia Belanda sampai menjadi Indonesia.

* * *

Kisah-kisah telepon itu hadir dalam teks-teks sastra Indonesia modern. Sori Siregar memberi tafsir dalam novel Telepon (1982). Tokoh Daud dalam novel itu menjadi representasi tipe manusia yang merasakan bosan atau jenuh menjalani rutinitas kerja dan pola hidup modern di kota. Pelarian dari bosan itu adalah telepon. Telepon adalah hasrat untuk mencari senang dan pembebasan diri dari beban. Tokoh Daud memakai telepon untuk memberikan ancaman dan teror untuk orang lain sebagai manifestasi resistensi dari depresi. Tokoh Daud telah menciptakan horor dengan telepon. Kondisi horor itu pun pada akhirnya dirasakan tokoh Daud ketika ada balasan-balasan dari orang lain. Tokoh Daud pun merasakan gelisah dan takut. Tokoh Daud dalam kondisi horor tu melihat ada kengerian dalam telepon. Telepon dalam novel Sori Siregar adalah manifestasi manusia untuk hasrat, horor, kesepian, gelisah, takut, dan depresi.
Seno Gumira Ajidarma menuliskan kisah telepon dalam cerpen “Seorang Wanita yang Menunggu Telepon Berdering” (1985). Telepon dalam cerpen itu adalah perkara ketergesaan dan keisengan. Dering telepon menjadi tanda seorang wanita tergesa memegang telepon dan melakukan komunikasi dengan harapan-harapan dari penantian. Seorang wanita menanti ada seseorang (“suami”) yang mungkin menelpon. Penantian itu melahirkan sunyian-siksa dan membuat seorang wanita sadar untuk melihat, mengamati, mengawasi telepon. Penantian untuk telepon bisa melahirkan ketotololan diri.
Penantian untuk telepon melahirkan nostalgia cinta dari komunikasi dengan telepon dalam pamrih keisengan: “Dulu kamu menelponku tepat tengah malam, ketika aku sedang sendirian di rumah dan tidak bisa tidur. Mengapa kamu begitu iseng? Begitu berani. Apakah kamu seperti aku yang suka memutar nomor-nomor dengan harapan bertemu kekasih di jalur kosong, sunyi, dan bisu?” Nostalgia itu berhenti dalam penantian yang menyiksa. Telepon yang berdering. Bunyi yang membunuh sunyi. Seorang wanita merasa telepon itu seakan memiliki nyawa. Bunyi akhir dering telepon adalah sihir. Telepon itu dihadapi dengan ragu dengan kemungkinan: orang iseng, salah sambung, atau memang seseorang yang dinantikan. Telepon membuat seorang wanita itu harus memilih untuk bahagia atau kecewa.

* * *

Afrizal Malna mengisahkan telepon dalam puisi “Jam Kerja Telepon” (1986). Puisi itu menggambarkan sistem komunikasi modern dengan melakukan pemampatan ruang dan waktu. Telepon dianggap memberi kemudahan dan efisensi dalam komunikasi. Telepon menjadi alat komunikasi modern yang mengatasi jarak dan waktu. Pemahaman dan pemakaian telepon dalam perkembangnya mengalami pergeseran fungsi dan makna: alat komunikasi, pemenuhan hasrat, dan identitas.
Tokoh Merlin dalam puisi itu mengucapkan: Saya menyaksikan orang-orang lahir dari telepon. Kelahiran identitas orang-orang modern dipengaruhi oleh tindakan komunikasi dengan telepon. Hal itu terjadi dalam suatu sistem dan proses yang mengaburkan pemahaman realitas subjek, pesan, ruang, dan waktu. Komunikasi dengan telepon direpresentasikan oleh suara yang melibatkan proses identifikasi (pembayangan-penghadiran) subjek dengan keterbatasan-keterbatasan. Tokoh Merlin merasa bahwa ada kekuatan negatif atau destruktif yang ditemukan dalam telepon sebagai alat komunikasi modern: Saya mencium bau busuk dari telepon. Telepon dalam puisi Afrizal Malna adalah kerancuan identitas, hasrat, dan realitas dalam tindakan komunikasi yang mereduksi substansi subjek, bahasa, dan pesan. Telepon adalah risiko.
Sapardi Djoko Damono menulis kisah telepon dalam puisi “Tiga Percakapan Telepon”. Telepon menjadi perkara komunikasi yang menyedihkan karena tidak ada proses yang bersambung. Komunikasi dengan telepon seakan pertemuan monolog-monolog. Tindakan komunikasi dengan telepon kerap terganggu karena bahasa, posisi, kondisi telepon, operator, dan lain-lain. Sapardi Djoko Damono dalam puisi itu membuat kalimat-kalimat yang kritis mengenai telepon dan tindakan komunikasi: “Suaramu tak begitu jelas!”, “Tapi, untuk apa kau nelpon?”, “Halo! Halo! Jangan!”
Joko Pinurbo mengisahkan telepon dalam puisi “Telepon Genggam”. Telepon genggam dalam tafsir Joko Pinurbo dalah “surga kecil yang tak ingin ditinggalkan”. Telepon genggam melahirkan kisah senang, hiburan, ekstase, tragedi, mimpi, obsesi, hedonis, birahi, dan lain-lain. Telepon (genggam) tidak sekadar perkara komunikasi. Joko Pinurbo dalam puisi “Selamat Tidur” mengisahkan telepon genggam yang capek karena ulah manusia: Telepon genggam mau tidur. Capek. Seharian bermain / monolog. Banyak peran. Konyol. Enggak nyambung. Telepon genggam terlalu dipaksa bekerja keras dengan pelbagai dalih dan pamrih.

* * *

Telepon (genggam) melahirkan kisah-kisah lain pada hari ini dengan keberadaan pelbagai jenis, bentuk, dan fungsi telepon. Kisah telepon dan telepon genggam hari ini adalah kisah industri komunikasi, industri hiburan, industri iklan, industri politik, dan lain-lain. Telepon (genggam) adalah perkara uang, status sosial, harga diri, dan identitas.
Bisakah ungkapan Martin Heidegger bahwa komunikasi adalah manifestasi eksistensi manusia menemukan pembenaran dan pembuktian pada hari ini terkait dengan telepon (genggam) dan hasrat komunikasi? Jean Baudrillard memperingatkan: “Kita tidak lagi berperan dalam drama keterasingan tapi dalam ekstase komunikasi”. Begitu.


Dimuat di Kompas (Teroka), Sabtu, 1o Mei 2oo8

Tidak ada komentar: