Senin, 05 Mei 2008

Rekor dan Legitimasi Kota Budaya

Oleh: Bandung Mawardi

Rekor. Kata itu terkadang memberi kekaguman dan keprihatinan. Rekor identik dengan pencapaian sesuatu yang tak biasa atau melampaui kelumrahan. Apa yang bisa terpahamkan ketika rekor itu ada dalam ekspresi kebudayaan? Jawaban atas pertanyaan itu ditentukan oleh perspektif dan fakta kebudayaan yang ada.

Kota Solo mulai memiliki kebiasaan dalam perkara mencatatkan rekor dalam pelbagai acara ekspresi kebudayaan. Rekor mutakhir yang ada di Solo terjadi pada 26 April 2008 dalam Festival Sabuk Wala di jalan Slamet Riyadi. Pemecahan rekor untuk pemakaian sabuk wala itu melibatkan 4700-an anak dari beberapa TK dan SD di kota Solo. Festival Sabuk Wala yang diadakan Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Solo dan Tim Penggerak PKK Kota Solo itu dimasudkan untuk melestarikan kebudayaan Jawa. Perkara menarik dari festival itu adalah adanya hubungan antara pemecahan rekor dan pelestarian kebudayaan. Hubungan itu tentu mengandung suatu dilema terkait dengan apresiasi kebudayaan yang diarahkan untuk anak-anak dan masyarakat. Nilai apresiatif seakan menjadi pelengkap dalam kepentingan pemecahan rekor.

Apresiasi untuk kebudayaan menjadi perkara penting ketika melihat bahwa ada sekian persoalan dan fakta yang membuat masyarakat abai atau kurang memberi perhatian atas kebudayaan Jawa. Pelaksaan pelbagai festival atau acara besar memang memberi suatu optimisme bahwa ada perhatian dan kepentingan melestarikan kebudayan Jawa. Pehatian atau sensasi yang ada dari acara itu mesti mendapatkan perhatian lanjutan dengan program atau pendidikan yang mementingkan kesadaran dan tindakan riil. Kebudayaan tidak mungkin eksis dengan sekadar pemecahan rekor tanpa apresiasi dan kreativitas yang konstruktif.

Acara pemecahan rekor yang lain terjadi dalam Festival Dalang Wanita Tingkat Jawa Tengah yang diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Tengah (26-27 April 2008). Festival itu diadakan oleh Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Pemecahan rekor diberikan untuk pihak penyelenggara yang mampu mengadakan pentas wayang kulit oleh enam dalang wanita dengan lakon yang berbeda.

Pemecahan rekor itu terkait dengan ekspresi kebudayaan Jawa yang membutuhkan perhatian dan apresiasi masyarakat. Rekor dan apresiasi seakan berada dalam tegangan hubungan antara yang pragmatis dan kreatif. Rekor tentu memiliki nilai sensasional dan nilai strategis untuk pencitraan kota dan kebudayaan. Apresiasi justru menjadi perkara sampingan yang mungkin kurang mendapatkan perhatian untuk pelestarian dan pengembangan ekspresi kebudayaan Jawa.

Pemecahan rekor dan ekspresi kebudayaan layak dikritisi dengan pelbagai refleksi dan orientasi kebudayaan mutakhir. Rekor itu diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan menjadi suatu bentuk penghargaan sensasional. Ketentuan-ketentuan apa yang mungkin diajukan untuk memberi penghargaan atas pelbagai ekspresi kebudayaan?

Kota Solo kerap mencatatkan diri dalam pemecahan rekor. Pelbagai ekspresi kebudayaan Jawa seakan layak dan harus mendapatkan rekor. Acara membatik, menari, makan nasi liwet, dan lain-lain selalu terkait dengan pemecahan rekor. Barangkali dalam pemecahan rekor itu ada niat pencitraan diri dan strategi pragmatis untuk mengurusi ekspresi kebudayaan dan pencitraan kota Solo.

Apresiasi yang dimaksudkan sebagai bentuk menikmati dan menilai ekspresi kebudayaan terbebani oleh kepentingan-kepentingan pragmatis. Apresiasi yang konstruktif memang membutuhkan sistem dan perhatian besar dari pemerintah kota dan instansi-instansi yang berkepentingan. Apresiasi terhadap ekspresi kebudayaan Jawa mestinya memiliki ancangan dan realisasi yang positif.

Dunia pendidikan mestinya menjadi perhatian besar untuk menumbuhkan apresiasi terhadap eskpresi kebudayaan. Pelibatan anak-anak sekolah dalam pelbagai acara besar atau festival untuk pemecahan rekor memang memberi pengaruh untuk kesadaran apresiatif tapi ada masalah dalam apresiasi itu. Anak-anak seakan menjadi objek yang menentukan untuk pemecahan rekor dan kurang memainkan peran sebagai subjek pelaku atau apresiator yang aktif.

Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Solo dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah mestinya menyadari alasan dan orientasi dalam penyelenggaraan suatu acara kebudayaan. Pemecahan rekor memang bisa mejadi suatu pencapaian tambahan tapi apresiasi tidak boleh dijadikan perkara sampingan. Apresiasi adalah pelibatan aktif yang memungkinkan niat melestarikan atau mengembangkan kebudayaan Jawa itu bisa direalisasikan. Pemecahan rekor seakan jadi pencapaian sesaat yang kurang memiliki pengaruh dalam waktu lama. Apresiasi mesti mendapatkan perhatian lanjut dengan program-program rutin atau menjadi bahan materi dalam pengajaran di sekolah-sekolah.

Rekor yang kerap menjadi sensasi di kota Solo tentu menjadi dalih untuk menguatkan citra dan legitimasi sebagai kota budaya. Citra dan legitimasi itu menjadi semu ketika tidak ada kebijakan dan program yang apresiatif dan kreatif. Pemerintah kota mesti menyadari bahwa strategi untuk pencitraan kota memerlukan sistem, dana, fasilitas, dan apresiasi. Pemecahan rekor harus dilihat sebagai pemicu untuk program apresiasi dan kreativitas yang berkelanjutan. Pemecahan rekor bukan tujuan tapi sekadar sarana.

Refleksi diperlukan untuk menilai kembali pemecahan rekor atas ekspresi kebudayan Jawa. Pemahaman atas kebudayaan mesti diletakkan sebagai pengertian kerja yang memungkinkan terjadinya inovasi dan pembaharuan. Kebudayan tidak harus dipahami sebagai pengertian sifat atau benda yang mesti dilestarikan dengan kebijakan-kebijakan pragmatis. Begitu.



(Dimuat di Harian Joglosemar, 29 April 2008)

Tidak ada komentar: