Oleh: Heri Priyatmoko
Jepang tidak akan berani menyerang Jawa seandainya rajanya masih Paku Buwana (PB) X. Begitulah kalimat yang terlontar dari mulut seorang perempuan pensiunan guru berusia enam puluh tahun pada era 1980-an saat diwawancarai John Pemberton, penulis buku “Jawa” (2003). Bagi kaum sepuh, PB X merupakan raja sejati. Maka, tidaklah heran jika Kuntowijoyo lewat penelitiannya “Raja, Kawula dan Priyayi” (2004), menemukan julukan PB X sebagai Kaisar Jawa.
Secara simbol, kedudukan PB X sebagai raja pusat dunia di mana makro kosmos dan mikro kosmos bertemu, yaitu khalifatullah dan panatagama. Sedangkan secara faktanya, posisi dia berada di bawah pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, dia menyebut residen dengan nama “bapa” dan memanggil gubernur dengan panggilan “eyang”. Dari catatan pelancong Jerman yang berkunjung ke Solo, dikatakan, raja dipandang begitu tinggi oleh rakyatnya, tapi ia tak pernah menjadi orang bebas. Hendak keluar dari keraton saja harus minta restu residen. PB X merupakan “tawanan” dalam keraton.
Seperti yang tersurat dalam laporan serah terima jabatan Residen Surakarta van Wijk tanggal 29 Desember 1913 dan Sollewyn Gelpke tanggal 4 Februari 1918 bahwa PB X memiliki karakter lemah dan manja. Suka pakaian kebesaran yang bagus, bintang penghargaan, perempuan, minuman keras dan makanan enak sampai badannya gemuk. Pengetahuan mengenai ilmu hitung dan bahasa Belanda sangat jeblok.
Agar timbangan tidak berat sebelah, maka perlulah di sini diungkapkan pula sumber yang berasal dari keraton mengenai siapa diri PB X karena sumber Belanda cukup menurunkan derajat PB X sebagai raja terbesar di dinasti Kerajaan Mataram Islam. Dalam Serat Wedhamadya dijelaskan, PB X pada ulang tahunnya yang ke-33 diumpamakan sebagai Kresna, titisan Dewa Wisnu, dewa ngejawantah. Sebelum mengenal alkohol dan bergaya hidup hedonis, PB X bertubuh ramping, kumis bagus, mulut kecil, dan bibir bagus.
Kemudian Serat Sri Karongrong karangan R.Ng. Purbadipura cetakan 1913-1914 yang ditulis untuk menyambut perkawinan PB X dengan putri Hamengku Buwana VII, mengisahkan kehidupan sehari-hari raja. Diriwayatkan, saat kunjungan raja ke “kagungan Dalem pameran” di Semarang, dengan sengaja sikap acuh tak acuh, PB X memilih tidak mengamati barang-barang pameran, melainkan duduk megah di dekat pintu masuk paviliun dan memerintahkan para pengiringnya untuk jalan terus dan menonton. PB X sering memerintahkan abdi dalem untuk menyematkan jajaran medali-medali kehormatan ke punggungnya. Ini merupakan tindakan protes terhadap campur tangan Belanda dalam urusan keraton. Ada pula cerita lucu di tempo doeloe. Kaisar Jawa ini melakukan lawatan dan menginap di hotel, kotoran beliau dikumpulkan oleh pelayan keraton untuk dibawa pulang, agar tidak terjadi kerusakan ekologi kosmik.
Daun kalender menunjuk angka 20 Februari 1939, PB X tutup yuswa. Ternyata, tanggal itu bertepatan tanggal satu sura. Sebuah hari pertama yang sangat keramat dari tahun baru Jawa bagi masyarakat Jawa. Ini perlambang bahwa bersamaan dengan mangkatnya PB X, kesaktian Pakubuwanan akan habis. Oleh karena itu, dari lusinan anak-anak PB X yang lahir, tidak satu pun memiliki bakat-bakat khusus yang harus dimiliki seorang raja.
(Dimuat Solopos, 04 Juni 2009)
Senin, 08 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar