Selasa, 09 Juni 2009

Kota Solo dan Etnisitas

Bandung Mawardi

Solo dalam pembayangan masa lalu dan refleksi masa sekarang adalah kota etnis. Pembayangan itu muncul karena Solo memiliki jejak historis yang panjang sebagai pusat kebudayaan dan kekuasaan Jawa. Etnisitas tentu menjadi lambaran dalam konstruksi kota dan pembentukan normativitas kehidupan manusia dengan acuan kultural Jawa. Masihkah etnisitas itu tampak dan terasakan dalam progresivitas zaman yang tunggang langgang ini?
Pencarian jejak-jejak etnisitas di Solo saat ini memang susah dalam realisasi bentuk dan nilai. Pengelanaan di Solo seperti pengelanaan di kota modern yang menguburkan atau menyembunyikan masa lalu. Jalan-jalan penting di Solo menjadi bukti representatif proses kepunahan arsitektural etnis. Bangunan-bangunan yang berdiri di sepanjang jalan telah menampilkan diri yang modern dan alpa atas kejawaan sebagai acuan etnisitas.
Sisa-sisa tinggalan arsitektur dengan sentuhan Belanda dan Jawa memang masih tampak kokoh dan jadi juru bicara sejarah kota. Kondisi ini beda dengan nasib arsitektural Jawa yang meredup karena usia, gerusan zaman, atau kekalahan publik untuk menghidupi dengan kesadaran historis dan identitas. Etnisitas Jawa dalam arsitektur tentu menjadi corong dari pembentukan peradaban dan bukti olah teknik-estetika yang merepresentasikan cara manusia mengajukan jawaban untuk merayakan hidup.
Balai Kota Solo mungkin jadi anak tiri arsitektur kota yang dengan eksplisit memunculkan sentuhan etnisitas. Kejawaan tampak sebagai konsekuensi dari peran Balai Kota sebagai rumah besar untuk rakyat. Eksplisitas itu tak menimbulkan efek besar untuk keberadaan bangunan-bangunan instansi pemerintah, instansi swasta, atau rumah-rumah dari penghuni kota. Etnisitas memang hadir sebagai legitimasi atas kekuasaan dan kebudayaan Jawa yang memusat di Balai Kota. Pemusatan etnisitas secara historis secara dominan pun masih ada di Keraton Kasunanan dan Istana Mangkunegaran. Sejarah dan proses pemunculan etnisitas tak menemukan pola pewarisan yang membuat tata kota Solo identik dengan etnisitas.
Kota Solo justru dengan geliat yang mencengangkan tumbuh sebagai kota metropolitan dengan pengabaian etnisitas. Juru bicara etnisitas secara arsitektural terkalahkan oleh pemunculan bangunan mall, perkantoran, kompleks perumahan, pertokoan, rumah makan, rumah, atau tempat hiburan yang cenderung memakai arsitektural modern. Sentuhan etnisitas tampak kecil dan kerap terabaikan. Fakta itu tampak dari program revitalisasi pasar-pasar tradisional yang kehilangan ciri etnisitas dalam arsitektur atau ketidaksanggupan pemerintah kota untuk menjadi contoh dalam tampilan kantor-kantor pemerintahan.
* * *
Etnisitas dalam pengertian lain dipraktikkan oleh Pemkot Solo dengan penulisan aksara Jawa di papan-papan bangunan instansi pemerintahan dan ruang publik. Arsitektur yang miskin etnisitas hendak diobati secara naif dengan kehadiran aksara Jawa. Program pencantuman aksara Jawa itu mungkin sebagai afirmasi terhadap identitas dan etnisitas Jawa tapi tak implikatif karena seperti pamer diri yang genit.
Pengabaian etnisitas pada konstruksi kota tentu menimbulkan risiko reduktif terhadap pemahaman dan kepemilikan publik atas jejak historis dan proses transformasi identitas kultural. Aksara Jawa tak cukup representatif untuk menjadi bukti etnisitas karena tak diimbangi dengan program pembentukan masyarakat literasi dalam konteks kejawaan melalui instansi pemerintah, lingkungan pendidikan, dan ruang-ruang kebudayaan. Publik justru mungkin memandang dan membaca pameran aksara Jawa itu sebagai pewartaan historis yang tak komunikatif atau lekas tertutupi oleh fakta-fakta bias modernisasi kota.
Kehadiran aksara Jawa tentu kontras dengan konstruksi bahasa Indonesia dan Inggris yang menguasai ruang-ruang kota. Kontras itu ada karena mayoritas bahasa yang bertaburan dan bersebaran di kota melalui papan nama, baliho, spanduk, poster, atau billboard adalah komunikasi massif dengan bahasa Indonesia. Kondisi itu malah diimbuhi dengan kehadiran parade bahasa Inggris yang dijadikan sebagai simbol modernitas dan globalisasi. Fakta ini yang tampak dari kampanye Solo sebagai spirit of Java. Kampanye dengan bahasa Inggris ini seperti tikaman pedang atas tubuh sendiri dalam etnisitas kejawaan.
* * *
Etnisitas yang memudar di kota juga terasakan dalam realisasi program-program seni-kultural yang kurang edukatif dan kreatif. Catatan tahun 2008 menyebutkan bahwa Pemkot Solo kerap jadi penyelenggara atau sponsor untuk program-program dengan tawaran etnis Jawa demi memecahkan rekor MURI. Program-program itu melibatkan siswa, mahasiswa, guru, seniman, dan publik sebagai bentuk perayaan etnisisitas. Perayaan yang dilakukan memang tampak riuh tapi miskin dengan kesadaran reflektif dan pemaknaan yang relevan dengan situasi kekinian. Program dengan tawaran etnis pun sedikit yang menemukan realisasi sebagai program yang istiqomah demi edukasi.
Program edukatif semestinya bisa direalisasikan dengan merayakan etnisitas melalui dokumentasi dan pewartaan jejak-jejak etnisitas yang ada di kampung-kampung. Perayaan etnisitas ini mungkin dilakukan dengan program penelitian dari kalangan akademik atau peneliti kebudayaan. Penelitian ini tentu harus diniatkan sebagai ikhtiar membuka kembali khazanah etnisitas yang terwarisi melalui folklor, pakaian, arsitektur, bahasa, batik, kerajinan, atau makanan. Penelitian untuk etnisitas mungkin jadi program kontributif jika dipublikasikan untuk pelbagai kalangan sebagai acuan revitalisasi kota dan etnisitas.
Program edukatif dan kreatif yang melibatkan partisipasi publik bisa jadi taktik untuk mendokumentasikan etnisitas. Dokuemntasi bisa melalui pengungkapan cerita-cerita kampung dalam bentuk tulisan dan lisan. Program dokumentasi ini edukatif karena disampaikan oleh orang-orang kampung yang memiliki sejarah etnisitas dan pola pewarisan dalam tegangan zaman. Partisipasi publik dalam program dokumentasi cerita kampung tentu bakal memunculkan perayaan etnisitas yang plural di Kota Solo. Perayaan etnisitas adalah perayaan dari kesadaran publik dan mungkin untuk tak tunduk terhadap program-program yang pragmatis. Begitu.

Dimuat di Kompas Jateng (9 Juni 2oo9)

Tidak ada komentar: