Bandung Mawardi
Kisah Raja Jawa belum mau usai. Kisah itu dibeberkan dengan riuh dalam pamrih pengusulan Paku Buwono X (1866-1939) menjadi pahlawan nasional. Usulan ini direalisasikan dengan penyelenggaraan seri diskusi dengan judul “Seminar Nasional: Peran Sri Susuhunan Paku Buwono X dalam Perjuangan dan Pergerakan Nasional Indonesia” di Jakarta, Yogyakarta, dan Solo (20 Mei 2009). Buku untuk lambaran mengenangkan dan membuktikan kontribusi Paku Buwono X dilabeli Sri Susuhunan Paku Buwono X: Perjuangan, Jasa, dan Pengabdian untuk Nusa Bangsa. Seri seminar dan penerbitan buku diprakarsai oleh Dr. BRA. Moeryati Soedibyo selaku cucu Paku Buwono X.
Ikhtiar itu menjadi dilema dalam pengertian optimistik dan pesimistik. Sokongan tulisan-tulisan dari Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat (UGM), Prof. Dr. Sri Juari Santosa (UGM), Dr. Sutiyono (UNY), Purwadi, Toto Sugiarto, Hariwijaya, dan lain-lain mengesankan ada optimisme bahwa Raja Jawa itu patut jadi pahlawan Indonesia. Optimisme itu ditunjukkan dengan pengungkapan data-data dan argumentasi-argumentasi untuk menunjukkan kesahihan tentang kontribusi Paku Buwono X. Apakah optimisme ini kelak menemukan jawaban sempurna?
Pertanyaan itu patut diajukan dalam konteks pemahaman kultural dan kekuasaan Jawa. Paku Buwono X itu raja adalah fakta besar tapi untuk jadi pahlawan justru menimbulkan keganjilan. Dalil untuk keganjilan: Menjadi raja sudah tapi menjadi pahlawan belum? Pertanyaan dalam pemaknaan politis: Kedudukan raja (Jawa) itu di bawah, sejajar, atau di atas dengan kedudukan pahlawan (Indonesia)? Mungkinkah dalam sosok Paku Buwono X memiliki gelar sebagai raja dan pahlawan?
* * *
Kuntowijoyo dalam Raja, Priyayi, dan Kawula (2004) memberi deskripsi dan tafsir analitis terkait dengan Paku Buwono X. Pembahasan Kuntowijoyo tidak mengesankan penulisan sejarah (biografi) konvensional tapi cenderung sebagai sejarah mentalitas, sejarah kejiwaan, dan sejarah sensibilitas. Model penulisan sejarah ini memberi keterbukaan tafsir kompleks atas posisi Paku Buwono X dalam konteks sosial, kultural, ekonomi, agama, dan kekuasaan. Kuntowijoyo mengajukan asumsi bahwa Paku Buwono X menanggung kompensasi politis dan ekonomis dengan penguatan simbol-simbol kultural di masa kolonialisme. Asumsi itu jadi acuan kritis untuk menilai bahwa Paku Buwono X merupakan sosok penguasa konservatif dengan model pemeliharaan dan pembesaran simbol-simbol kultural Jawa secara personal dan publik.
Paku Buwono X lahir pada 29 November 1866, menjadi putera mahkota pada 4 Oktober 1869 saat usia tiga tahun, menjadi raja di Surakarta pada 30 Maret 1893, mengangkat diri dari Sunan menjadi Susuhunan pada 3 Januari 1901, dan meninggal pada 20 Februari 1939. Biografi politik ini menunjukkan proses Paku Buwono X menerima, memahami, dan mengelola kekuasaan dalam bayang-bayang kolonialisme. Kekuasaan rentan untuk definitif karena ketegangan dan kompensasi politik antara pihak Belanda dengan keraton. Model kekuasaan itu mungkin memberi pengaruh signifikan pada Paku Buwono X untuk memainkan simbol-simbol kultural sebagai cara menutupi “kekalahan” praktik politik dan ekonomi terhadap Belanda.
Relasi kultural dan kekuasaan menjadi pertaruhan Paku Buwono X sebagai reprsentasi paham kekuasaan tradisional Jawa. Representasi ini lalu mesti berhadapan dengan praktik politik kolonialisme dan laju gerak kultural dalam remang tradisionalitas dan modernitas pada abad XX. Kondisi itu jadi pertanyaan pelik untuk penemuan dan realisasi jawaban tanpa konfrontasi atau konflik terbuka. Paku Buwono X sebagai raja mengalami dilema-dilema tanpa janji muluk dan utopia realistis.
Deskripsi dan tafsir mumpuni atas dilema Paku Buwono X hadir mengesankan dalam buku Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942 (1990) garapan George D. Larson. Dilema pelik dibarengi dengan posisi Solo sebagai ruang pergerakan politik, agama, ekonomi, dan kultural. Masa kekuasaan Paku Buwono X riuh dengan pelbagai bentuk pergerakan atas nama resistensi terhadap kolonialisme. Resistensi pun tak luput dari dualisme untuk sadar atas pamrih nasionalisme Indonesia atau penguatan identitas kultural (Jawa) dan agama (Islam). Pola-pola pergerakan masa awal abad XX memberi pengaruh penting untuk posisi Paku Buwono X sebagai penguasa tradisional di hadapan operasionalisasi kekuasaan kolonialisme dan rintisan kesadaran nasionalisme.
* * *
Kisah-kisah Paku Buwono X dalam perspektif Kuntowijoyo dan George D. Larson tentu bisa menjadi bekal untuk membaca secara kritis laku kultural dan politik sebagai acuan pemerolehan gelar pahlawan. Definisi pahlawan menjadi perkara pelik ketika direlasikan dengan lakon Raja Jawa dalam pembuktian kontribusi terhadap keraton (Jawa) dan Indonesia. Kesamaran definisi membuat pembacaan terhadap Paku Buwono X sebagai raja dan kemungkinan sebagai pahlawan jadi rentetan tanya tanpa jawaban tuntas.
Simaklah Peraturan Presiden RI Nomor 33 Tahun 1964 tentang definisi pahlawan: (1) warga negara RI yang gugur dalam perjuangan yang bermutu dalam membela bangsa dan negara; (2) warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Definisi ini kentara mengandung arahan bahwa subjek pahlawan itu tentara, prajurit, atau militerisme. Fakta dari definisi pahlawam membuat daftar panjang pahlawan Indonesia didominasi oleh kalangan militer sejak Orde Lama dan menjadi mode laris pada Orde Baru.
Usulan untuk mendapatkan gelar pahlawan pada Paku Buwono X sesuai definisi itu mungkin jadi abu-abu. Paku Buwono X adalah raja dan pemerolehan gelar pahlawan bakal terkesan militerisme. Raja lalu seperti “sejajar” dengan prajurit atau tentara? Pesimisme patut diajukan untuk menguji “kebenaran” opini umum dan gerakan pengusulan Paku Buwono X sebagai pahlawan.
Paku Buwono X telah mencatatkan diri sebagai penguasa Jawa dengan pelbagai pertaruhan politik, ideologi, identitas, ekonomi, agama, dan kultural. Catatan masa lalu tentu jadi biografi Jawa dalam tegangan bayang-bayang kolonialisme dan eksistensi paham kekuasaan Jawa. Biografi Raja Jawa itu butuh tafsiran kritis dan komprehensif tanpa harus tergesa atau memaksakan diri untuk diusulkan sebagai pahlawan dengan prosedur baku milterisme. Paku Buwono X cukupkah menjadi raja? Mestikah menjadi pahlawan?
Dimuat di Suara Merdeka (31 Mei 2oo9)
Selasa, 09 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar