(Resensi Novel Ma Yan Anggitan Sanie b. Kuncoro)
Bandung Mawardi
Kisah sengsara tak usai dalam novel. Sengsara seperti jadi kutukan untuk pengarang menciptakan kisah dengan haru dan impresif. Pengarang dalam mengisahkan sengsara memiliki acuan-acuan melimpah dalam realitas hidup. Sengsara selalu ada untuk menjelma dalam kata dan imajinasi.
Novel Ma Yan ini jadi kamus sengsara dari seorang bocah perempuan di tempat terpencil di Cina. Sengsara membuat Ma Yan sadar atas lakon hidup untuk menerima atau menolak. Ma Yan terkadang merasakan sengsara itu sebagai kutukan karena kekalahan atau kesalahan memberi jawaban hidup dengan sempurna. Kutukan itu tak membuat Ma Yan jatuh dan pasrah. Kutukan mungkin jadi seribu pertanyaan untuk lekas mendapati jawaban.
Ma Yan lahir dari keluarga miskin. Kondisi ini membuat Ma Yan mahfum dengan lapar. Perut orang miskin tak mungkin manja dengan makanan. Lapar seperti ritual dengan pertaruhan hidup. Ibu Ma Yan mengajarakan bahwa lapar itu bakal jadi ingatan tentang hidup. Lapar mungkin jadi tanda seru dari Tuhan. Ma Yan pun tanpa pemberontakan menerima lapar itu sebagai ritual untuk sadar ambang batas hidup dan mati.
Kisah impresif dalam novel ini adalah ikhtiar Ma Yan untuk bisa sekolah. Kemiskinan jadi dalil kepasrahan dan keberanian menempuhi jarak 20 kilometer untuk bisa sekolah. Ma Yan tak lelah untuk menempuh jarak jauh itu dengan berjalan. Jarak jauh mungkin sekadar fantasi jelek. Ma Yan menganggap perjalanan ke sekolah adalah perjalanan merubah hidup dengan pengetahuan dan mimpi indah.
Sekolah jadi sorga kecil untuk Ma Yan. Belajar membuat Ma Yan mahfum bahwa hidup tak selesai dengan tangisan atas kesengsaraan. Manusia mesti membuat hidup jadi berkah dengan pengorbanan dan kerja keras. Ma Yan belajar tekun untuk membuat diri jadi bocah pintar dan patut menciptakan masa depan dengan wajah cerah. Ma Yan terbukti menjadi sosok pintar di sekolah dengan peringkat atas.
Sengsara di sekolah membuat Ma Yan membuat pertaruhan berat. Ma Yan menginginkan pena untuk menulis. Harga pena mahal. Ma Yan terlanjur memiliki hasrat untuk menulis dengan pena. Keluarga tak mungkin memberi uang demi pena. Ma Yan pun merelakan tubuh jadi lapar karena uang jatah untuk makan siang disiman dan dikumpulkan untuk membeli pena. Lapar itu bisa ditanggungkan. Ma Yan sanggup lapar tapi tak sanggup untuk tidak menulis dengan pena.
Ikhtiar itu terpenuhi meski lapar. Pengakuan Ma Yan: “Aku harus menahan lapar selama lima belas hari hanya untuk membeli sebatang pena.” Pena membuat Ma Yan menemukan gairah hidup. Pena itu bakal jadi juru bicara Ma Yan untuk mengisahkan diri dalam buku harian. Ma Yan merasa bahwa dengan mencatatkan kisah hidup bakal ada refleksi hidup dari masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Catatan harian Ma Yan pun sesak dengan kisah sengsara tapi ada percik-percik harapan. Harapan itu membuat Ma Yan tak letih menciptakan mimpi untuk perubahan hidup.
Kisah dramatis itu mungkin membuat pembaca merasa haru. Selesaiakah sekadar dengan haru? Pengarang seperti mengajukan risalah edukasi dalam fragmen itu biar pembaca mahfum dengan kondisi pendidikan kaum miskin di negeri ini. Risalah itu jadi representasi dari nasib orang miskin ketika tak mungkin sekolah atau sekolah dengan pelbagai keterbatasan. Sekolah adalah hak.
Ma Yan sadar atas hak sekolah tapi selalu tertundukkan oleh kemiskinan dan ketiadaan perhatian dari pemerintah. Fasilitas minimal untuk sekolah kerap tak terpenuhi. Miskin mungkin momok untuk membuat orang terima dengan kutukan sengsara. Ma Yan ingin merubah kutukan itu tapi dalam batas tertentu kalah oleh kemiskinan. Ma Yan sempat berhenti sekolah karena orang tua tak memiliki dana. Jeda berhenti sekolah itu membuat Ma Yan sengsara seperti masuk neraka jahanam.
Pelbagai kisah sengsara dan harapan selalu dikekalkan Ma Yan dalam buku harian. Pena menjadi sarana untuk testimoni. Pena itu membuat Ma Yan masih memiliki gairah belajar. Catatan-catatan dalam buku pun menunjukkan optimisme Ma Yan untuk membuat hidup jadi indah dan lepas dari kesengsaraan. Ma Yan menulis: “Bersekolah adalah jalan menuju masa depan. Kita harus mengambil jalur yang benar. Bukan malah melantur ke jalan yang menyesatkan.” Ma Yan pada halaman lain mencatat: “Jika sekiranya aku berhasil dalam hidup, keberhasilanku adalah keberhasilan Ibu. Aku akan selalu mengingtanya.”
Optimisme memuncak dalam catatan ini: “Aku harus bekerja keras dan mengikuti ujian masuk universitas bergengsi. Kemudian aku akan dapat pekerjaan supaya Ibu bisa menikmati makanan hingga benar-benar kenyang dan menjalani kehidupan yang lebih baik..” Optimisme itu membuat Ma Yan sanggup menjalani hidup dengan melawan kesengsaraan.
Orang miskin dengn pesismisme mungkin lekas mati atau menciptakan sengsara abadi. Ma Yan ingin perubahan dalam hidup. Pesimisme mesti dikubur atau dikalahkan meski terus jadi bayang-bayang mengancam. Kondisi keluarga menjadi fakta untuk perangkap pesimisme. Ma Yan ketika berhenti sekolah mendapati alasan tak ada uang. Alasan itu diimbuhi karena dia perempuan. Pesimisme sempat hinggat karena alasan-alasan itu kentara memaksa dan menekan.
Kisah-kisah sengsara Ma Yan adalah tanda tanya dan tanda seru untuk kaum miskin dan hak sekolah. Novel dengan muatan inspirasi edukasi ini pantas jadi acuan untuk refleksi dan melakukan aksi perubahan atas kondisi pendidikan di Indonesia. Sekolah adalah hak. Pemerintah mesti melunaskan hak itu dengan pelbagai konstitusi, sistem, dan praktik untuk membuat perubahan hidup. Kaum miskin patut memiliki optimisme perubahan hidup. Sekolah sebagai institusi pendidikan menjadi jalan untuk menentukan arah hidup.
Novel Ma Yan adalah risalah sengsara untuk mengingatkan pembaca tentang optimisme. Ma Yan mengingatkan dalam tanya: “Orangtua menaruh harapan agar anak-anak mereka kelak menjadi orang-orang yang pandai, tapi setelah mengalami begitu banyak tahun belajar yang sulit, bagaimana bisa mereka memenuhi harapan-harapan itu?”
Dimuat di Lampung Post (31 Mei 2oo9)
Selasa, 09 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar