Senin, 08 Juni 2009

Politisasi Mitos Pangeran Samudro

Oleh: Haris Firdaus

KONTROVERSI terhadap tafsir kepercayaan masyarakat dan kepentingan penguasa selalu saja berseberangan.

Dalam kisah Pangeran Samudro, warga Desa Pandem, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, percaya ia adalah sosok pelindung rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa.
Bagi penduduk kawasan Gunung Kemukus, mitos Pangeran Samudro adalah sesuatu yang penting karena melalui mitos tersebut masyarakat menemukan harapan dari keterdesakan hidup yang mendera mereka.

Namun, bagi pemerintah, mitos Pangeran Samudro juga memiliki arti penting sehingga pada era Orde Baru pemerintah mulai ‘membuat’ kisah tentang Pangeran Samudro yang berbeda dengan keyakinan masyarakat setempat.

Pemerintah Kabupaten Sragen melalui informasi yang tertera di dalam website resminya menyebut Pangeran Samudro adalah putra Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit yang memerintah di masa keruntuhan kerajaan itu pada sekitar 1478. Tatkala Majapahit runtuh karena serangan Kerajaan Demak, Pangeran Samudro tidak ikut melarikan diri tapi justru ikut serta ke Demak.

Oleh Sultan Demak, Pangeran Samudro kemudian diperintahkan belajar Islam kepada Sunan Kalijaga dan Kyai Ageng Gugur. Setelah pembelajarannya tentang Islam selesai, Pangeran Samudro sempat berdakwah di beberapa tempat sebelum akhirnya meninggal di Dukuh Doyong, Kecamatan Miri, Sragen. Ia kemudian dimakamkan di sebuah bukit di sebelah barat Dukuh Doyong. Bukit itulah yang kini dikenal sebagai Gunung Kemukus.

Mitos versi Pemerintah Kabupaten Sragen ini berbeda dengan mitos yang diyakini penduduk sekitar Gunung Kemukus. Para penduduk asli daerah itu yakin Pangeran Samudro bukanlah orang yang tunduk dan mau bekerja sama dengan Demak ketika Majapahit runtuh.

Sebaliknya, mereka yakin bahwa Pangeran Samu dro justru terus melakukan perlawanan terha dap Kerajaan Demak. Ia dianggap pahlawan ba gi rakyat sekitar karena membela wilayah Gu nung Kemukus dari serbuan Demak.

Masyarakat di kawasan Gunung Kemukus juga yakin bahwa Pangeran Samudro adalah pengabdi budaya Jawa abangan dan bukan pendakwah Islam seperti diyakini Pemerintah Sragen.

Perbedaan pemahaman tentang Pangeran Samudro antara masyarakat lokal Gunung Kemukus dan pemerintah bukan disebabkan perbedaan sumber sejarah.

Sebab, sumber sejarah yang sahih tentang Pangeran Samudro memang belum pernah ditemukan.

Perbedaan penafsiran itu sangat mungkin lebih bersifat ‘politis’. Orlando de Guzman (2006: 43) menyebut bahwa pemerintah Orde Baru berusaha ‘menyesuaikan’ mitos Pangeran Samudro dengan gagasan-gagasan Pancasila untuk ‘membersihkan’ daerah itu dari pengaruh Partai Komunis Indonesia. Pada 1960-an, kawasan Gunung Kemukus memang merupakan daerah basis PKI.

Selain itu, penafsiran baru ala pemerintah sangat mungkin berkaitan dengan pembangunan Waduk Kedung Ombo. Pengambilalihan Gunung Kemukus oleh Pemkab Sragen dan pengumuman rencana pembangunan Waduk Kedung Ombo berlangsung pada tahun yang sama pada 1983 mendapat banyak tentangan.

Penolakan itu dihadapi pemerintah dengan pemberian ‘tafsir baru’ bahwa Pangeran Samudro diceritakan sebagai sosok yang juga menganut sejumlah nilai yakni ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menghargai orang tua sebagai perantara lahir manusia ke dunia dan selalu taat dan setia kepada negara. Juga, sebagai seorang tokoh pendamai serta pemersatu bangsa dan selalu bertanggung jawab.

Dalam penafsiran versi pemerintah ini, terlihat kalau pemerintah Orde Baru ingin menunjukkan Pangeran Samudro adalah penganut sejumlah nilai yang bersesuaian dengan Pancasila dan juga memiliki ketaatan pada negara.

Tapi upaya memonopoli tafsir tentang mitos Pangeran Samudro tampaknya tidak membuahkan hasil yang signifi kan. Justru ketika sengketa Waduk Kedung Ombo berlangsung, mitos Pangeran Samudro versi penduduk asli menjadi tambah populer.
Bagi mereka yang menolak pindah, Pangeran Samudro adalah sosok yang melambangkan kesengsaraan rakyat kecil karena kesewenang-wenangan penguasa.

Masyarakat asli Gunung Kemukus secara baik justru menjadikan mitos tersebut sebagai ‘pertahanan diri’ guna menghadapi tekanan fi sik dan represi psikologis dari pemerintah Orde Baru.

Dimuat di Media Indonesia, 6 Juni 2009

Tidak ada komentar: