Bandung Mawardi
Kehadiran orang di kota adalah realisasi dan representasi untuk mengalami kota dalam pelbagai perspektif. Kota jadi ruang untuk mengalami dalam percampuran tegangan dalil dan pamrih. Biografi diri jadi acuan untuk penciptaan pengalaman dengan kemungkian-kemungkinan delap, samar, atau terang. Orang mengalami kota pun jadi perkara penting dalam membaca dan menafsirkan pertumbuhan sebuah kota.
Para orang tua atau sesepuh tentu memiliki kisah-kisah mengalami kota sejak kecil sebagai biografi diri dan biografi kota. Kisah-kisah itu sebagai dokumentasi untuk diwartakan dan diwariskan dalam bentuk lisan atau tulisan. Kisah-kisah itu tentu berbeda dengan bocah atau kaum muda saat ini yang mengalami kota dengan durasi cepat. Penghadiran kisah orang mengalami kota menjadi pintu terbuka untuk mengingat kota dalam proses perubahan: kehilangan dan kehadiran. Kisah mengalami kota menjelma jadi tanda tanya atau tanda seru untuk kesaksian kota.
Pengisahan secara lisan tentang mengalami kota masih terus berlangsung di ruang-ruang kota meski harus mengalami persaingan ketat dengan serbuan tema-tema besar. Pengisahan membuat orang masuk pada identifikasi dan pengujian orientasi ketika mengalami diri dalam kota dengan seribu satu plot dan narasi. Kesaksian jadi percampuran antara penghiburan nostalgia kota dan pengekalan atas utopia kota. Pertumbuhan kota pun terawetkan dalam biografi diri dan kolektif untuk permainan tafsir atas kota.
Pengisahan atau tradisi lisan ini jadi tanda seru untuk dokumentasi kisah mengalami kota. Ruang keluarga, sekolah, ruang seni, atau ruang publik kentara kurang memiliki spirit mengisahkan kota karena kehadiran tema-tema besar dari kultur media. Orang ada di kota tapi kerap tak mengalami kota karena keterasingan diri melalui tema-tema berserakan yang sistemik dari desain global. Orang-orang justru suntuk mengisahkan pelbagai hal di luar konteks mengalami kota sebagai ikhtiar menjadi kosmopolitan tanpa akar.
Kehadiran mal dan kafe-kafe di Solo menjadi contoh kecil dari pengabaian mengalami kota. Kehadiran orang-orang dalam mal atau kafe cenderung sebagai kehadiran diri dalam ruang atau dunia kolektif global. Mal atau kafe jadi dunia untuk teralami oleh siapa saja dan di kota mana saja dalam konvensi-konvensi kapistalistik. Mal atau kafe justru bisa jadi alasan orang untuk mengalami hadir dalam ruang dan kultur kota-kota lain dengan konsekuensi melupakan realitas kota sendiri. Tendensi melupakan itu memang tidak absolut tapi mengindikasikan reduksi atas mengalami kota Solo. Dalil keras: orang di mal atau kafe mengalami kota kosmopolitan ketimbang mengalami Solo. Penyebutan kota kosmopolitan ini sebagai klaim atas pembayangan atas realitas Kota Solo.
Tradisi lisan dalam bentuk obrolan, jagongan, rembukan, atau mbat-mbatan terus diseret dalam tarikan wacana-wacana besar. Tema politik, ekonomi, gaya hidup, otomotif, kuliner, pakaian, pendidikan, atau olahraga mengantarkan orang pada pengalaman kolektif secara nasional dan global. Tema-tema itu mungkin mengalahkan prosentase orang mengisahkan diri dalam mengalami kota yang lokalitas. Ruang-ruang pertemuan dari mal sampai hik memiliki tendensi besar orang rentan untuk sadar atas mengalami kota.
Kota Solo memang terus bergerak tapi ada kelambanan untuk mendokumentasikan itu dalam proses mengalami. Orang mungkin tak sadar bahwa cara membaca kota tiba-tiba masuk pada hukum percepatan tanpa memberi waktu senggang untuk mengalami secara reflektif pertumbuhan kota. Orang bisa sadar dalam kejutan ketika mengingat kembali realitas jalan, ruang publik, hotel, mal, kafe, ruko, pasar, taman, terminal, sekolah, atau tempat hiburan. Kejutan itu memiliki awal dan akhir dengan dalil: ada yang hilang dan ada yang tumbuh.
Orang pun jadi mafhum untuk mengatakan: “Kota Solo lima tahun lalu dan saat ini berbeda!” Ingatan mulai digerakkan mesti kadang lambat ketimbang proses perubahan kota. Dulu belum ada mal, kafe, hotel, patung, apartemen, atau pusat hiburan. Dulu di ruang-ruang itu ada rumah, toko, sekolah, rumah sakit atau situs sejarah. Ruang-ruang itu telah menjelma realitas lain dengan “menguburkan” atau “menghilangkan” memori orang mengalami kota: individu dan kolektif.
Memori kolektif jadi pertaruhan. Kota terus tumbuh tanpa sempat memberi jeda pada orang mengalami secara reflektif dan kritis atas ambang batas masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Memori kolektif itu secara substantif adalah dialektika identitas kota. Orang belum selesai mengisahkan kota lalu ditumpukki oleh kisah-kisah baru tanpa permisi dan mengandung pesan imperatif. Dialektika identitas pun jadi rentan. Kota Solo bergerak dengan cepat tapi rumusan identitas seperti berjalan mundur. Kota seperti tumbuh tanpa janji untuk membuat titik-titik pertemuan antara nostalgia dan utopia.
Identitas seperti jadi perkara sekunder karena Kota Solo menggerakkan diri dalam rel global untuk jadi metropolitan. Wacana-wacana global menyerbu dengan sistemik untuk mengganggu kepemilikan identitas lokal melalui sebaran ruang-ruang konsumtif dan kosmopolitanisme. Identitas lokal lalu jadi bab terasing atau terpinggirkan karena represi kapitalisme global atau ketidaksanggupan spirit lokalitas untuk memberi penghiburan dan pengharapan. Ilustrasi ini mungkin jadi bukti orang susah mengalami kota dengan identitas dan spirit lokalitas tapi cenderung mengalami kota dalam pamrih global.
Seno Gumira Ajidarma (2004) mengistilahkan Jakarta itu sebagai “situs pasar wacana dengan pilihan yang terus menerus berganti”. Kasus itu merebak ke pelbagai kota di negeri Indonesia. Solo pun kentara menjadi situs pasar wacana (global) yang mengabaikan wacana lokal. Tema-tema lokalitas justru diusung untuk menempel atau jadi instrume yang memberi legitimasi atas kehadiran wacana-wacana global. Orang pun mafhum sentuhan etnis, lokalitas, atau tradisi hadir di mal, hotel, apartemen, atau kafe sebagai pemanis alias rayuan gombal. Fakta itu bisa jadi representasi penundukkan diri di hadapan wacana global atau involusi identitas dan wacana lokalitas. Risiko dari penundukkan diri itu adalah orang mengalami kota tidak sebagai refleksi lokalitas tapi mengalami kota sebagai takdir konsumtif atas wacana-wacana global. Begitu.
Dimuat di Suara Merdeka (3 Juni 2oo9)
Selasa, 09 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar