Jumat, 13 Maret 2009

Memerkarakan Janda

Bandung Mawardi

Pada hari itu ada pembaca berita yang tertegun karena melihat foto seorang petinju dan dua perempuan mengepalkan tangan. Dia kaget membaca kalimat di bawah foto itu: DUA JANDA: Chris John tersenyum lebar menerima penyambutan artis Tamara Bleszynski dan Maia Estianti di Bandara Soekarno- Hatta, Cengkareng, Jakarta (Jawa Pos, 4 Maret 2009).
Foto dan berita itu jadi tak biasa. Tamara hadir dalam kapasitas sebagai duta petinju Indonesia dan Maia sebagai duta iklan yang mempersembahkan lagu dengan judul Sang Juara. Kehadiran dua perempuan itu mungkin menggenapi representasi “kemenangan” Chris John dalam mempertahankan gelar juara tinju WBA. Keganjilan muncul karena penyebutan dua artis itu sebagai dua janda. Mengapa sebutan itu mesti muncul? Penyebutan ini jadi wacana yang menantang.
Sebutan janda memang laris di acara gosip. Para penikmat gosip khusuk memikirkan dan membuat opini perihal gosip-gosip artis dalam status janda, akan jadi janda, atau akan tidak lagi janda. Gosip perceraian marak dan sekian artis pun dikenai sebutan janda dengan pelbagai persepsi. Produksi wacana tentang janda menjadi penentu dari sistem pemaknaan terhadap janda dalam pelbagai konteks.
Wacana janda dalam gosip bisa membuat orang haru, menangis, tercengang, kagum, atau prihatin. Artis-artis top seperti berada dalam “parade janda.” Status janda pun diwartakan oleh artis dengan sekian klaim dalam tegangan pesimisme dan optimisme. Artis dengan status janda terkadang tampak lega dan memancarkan spirit untuk menata hidup tanpa suami. Artis janda pun kadang tampak memelas dengan konstruksi diri sebagai korban atau pihak terkalahkan. Resistensi ada tapi kerap dilematis.
Media mengolah wacana janda itu menjadi lakon menggemaskan dan mengenaskan. Wacana dalam media memang memberi pelbagai kemungkinan untuk produksi dan reproduksi makna tanpa batas. Pengarahan pada tendensi-tendensi tertentu jadi permainan otoritas untuk membuat publik mengamini. Wacana janda pun mengalami operasionalisasi yang sistemik dan disebarkan dalam intensitas tinggi sebagai “kebenaran” yang mengatasi “kedustaan”.
Pembongkaran terhadap wacana janda jadi suatu tindakan yang memberi kemungkinan pada publik untuk tidak lekas terlena atau reaksioner. Wacana janda memang membuat “pembaca yang tak bersih” (pinjam konsep Afrizal Malna) harus kritis untuk menelusuri labirin makna. Gosip artis jadi wacana menantang dengan asumsi bahwa ada tendensi status janda dihasilkan dari perceraian dengan pelbagai konflik yang disebarkan pada publik untuk ikut membentuk opini.
Janda adalah status perempuan yang sudah tidak bersuami karena perceraian atau kematian suami. Status janda kerap jadi tanda tanya dan tanda seru dalam kostruksi sosial. Munculah pelbagai sebutan atau idiom tentang janda dengan tendensi-tendensi definisi: janda kembang, janda muda, atau randa kempling. Definisi dari konstruksi sosial jadi perkara pelik ketika ada keinginan untuk melakukan pergeseran makna. Janda pun rentan jadi stereotip.
Wacana janda kadang diolah oleh para artis dengan perayaan argumentasi dan orientasi yang gado-gado. Lihatlah wajah, nikmatilah tutur kata, dan bacalah tingkah artis janda ketika mengucapkan diri atau membeberkan kisah diri di acara gosip. Janda jadi konstruksi dan permainan identitas yang cair. Status jadi mungkin jadi pembebasan diri untuk ekspresi dan dalil untuk menekuni dunia karier hiburan. Spirit pembebasan itu mungkin untuk jadi wacana yang diamini publik sebagai pembuktian laku hidup perempuan. Pembuktian utopia mesti butuh pengorbanan dan kerja keras. Janda adalah risiko tapi juga dalil untuk perubahan.
Status janda pun kerap mengantarkan penikmat gosip pada eksploitasi sedih dan pedih. Dalil haru itu harus jadi berlaku karena operasionalisasi wacana janda dalam kekenesan. Haru itu muncul karena status janda ada karena pihak suami dituduh atau terbukti melakukan perselingkuhan. Biografi diri dengan sekian tragedi jadi ekploitasi tanpa henti. Janda dalam konteks perceraian ini jadi wacana besar yang membuat publik sibuk dan mungkin mau melakukan redefinisi dan reproduksi makna janda.
Wacana janda itu dilematis. Perempuan kadang jadi korban dan kadang jadi subjek untuk tendensi-tendensi tertentu. Publikasi secara eksploitatif atas wacana janda kadang membuat publik sadar tentang pola-pola pemaknaan yang tak permanen. Wacana janda pun bisa memicu artis dan publik untuk melakukan pertaruhan identitas dan harga diri dalam orientasi hidup. Ironi jika identitas janda jadi “kebablasan” untuk perayaan gaya hidup. Ironi ini tampak dari gelagat para artis yang ingin atau merasa jadi “bunga tenar” (pinjam ungkapan Toeti Heraty) demi popularitas dan peruntungan di dunia hiburan. Begitukah?

Dimuat di Suara Merdeka (11 Maret 2oo9)

Tidak ada komentar: