Senin, 09 Maret 2009

Perempuan dalam Relief

Oleh Heri Priyatmoko

MEMBACA pemikiran Ari Kristianawati dalam Pendidikan Sejarah yang Progender, yang dimuat di rubrik ini (SM, 25/2), mau tidak mau kita akan termanggut setuju. Mufakat dengan pernyataan bahwa sejak zaman Majapahit atau zaman klasik, sejarah memang menjadi milik kaum laki-laki. Historiografi dan politisasi monumentasi sejarah sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang patriarkhis, dengan mengabaikan kekuatan eksistensialis kaum perempuan.

Penemuan manuskrip kuno di Bali yang memuat kisah Sumpah Amukti Palapa milik patih tersohor di Majapahit, Gajah Mada, yang diucapkan di masa Tribuwana Tungga Dewi sungguh menggemparkan. Hal itu jelas dapat meruntuhkan opini tunggal yang selama ini menjadi accepted history, bahwa Gajah Mada mengikrarkan sumpah itu di masa Raja Hayam Wuruk.

Menarik untuk mengetahui bagaimana potret peran perempuan di zaman kerajaan Hindu-Budha, sebab hingga kini belum banyak diungkap. Dalam tulisan ini, saya hendak membahas kiprah perempuan zaman klasik yang sebenarnya dapat ditemukan dalam relief candi sebagai sumber sejarah kuno.

Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, relief merupakan sumber terpenting karena juga merekam aktivitas masyarakat di zamannya. Banyak hal yang membuat relief menguntungkan dunia riset. Selain mengandung unsur seni memahat, ia juga mengungkap teknologi modern yang telah dimiliki nenek moyang kita dan pernak-perniknya.
Wanita Berkesenian

Pada gambar pahat Borobudur dan Prambanan, terlukis wanita yang terampil dalam dunia kesenian. Terdapat beberapa wanita yang digambarkan sebagai penari dan bermain musik kemenak atau cymbal kecil. Ada pula wanita yang mahir memainkan kendang yang diletakkan di jubin.

Selain itu, seperti tertulis dalam riset Satyawati Suleiman yang diumumkan di majalah Analisis Kebudayaan (1992), pada rangkaian relief Candi Panataran terlihat gambar remaja putri yang memainkan gambang bersama petapa. Pada adegan pertama, mereka bermain dengan tenang. Namun di adegan kedua, sang petapa menyerang putri sehingga gambangnya lepas dan jatuh.

Belaian kasih sayang istri terhadap suami dan keluarga juga tergores dalam relief. Kempers, melalui artikelnya Ageless Borobudur (1976), menjelaskan di relief Borobudur tampak wanita memanjakan suaminya dengan cara memijit. Lalu di pahatan Candi Mendut tergambar wanita sedang merangkul suaminya yang terbaring, sementara anaknya mendekati api di bawah tempat nasi.

Karya Krom, Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1931), mengabarkan wanita sebagai anggota dewan hakim desa. Juga ada wanita bangsawan yang dapat memilih sendiri tanah untuk diwariskan kepada keturunannya, bukan kepada anak suami dari wanita lain. Gambar wanita sebagai ratu ditemukan di Candi Borobudur, yaitu Maya: ibu Siddharta Gautama.

Kemudian pada relief Candi Tigawangi dan Candi Jaga terdapat Kunti. Bagaimana busana perempuan zaman klasik dapat diketahui dalam relief itu. Di gambar pahatan Karmawibhangga terlihat wanita-wanita desa yang memakai kain panjang, sedangkan kaum pria memakai cawat.

Perempuan masa kini tak jauh beda dengan perempuan tempo dulu, yang memainkan peran dan tugas utamanya sebagai perempuan sesungguhnya.
Karena itulah, perempuan mestinya berpikir jauh ke masa depan, sehingga generasi yang terlahir dari rahimnya bisa menjadi manusia unggulan yang mampu - meminjam ungkapan Mariatul Kiptiah membentuk peradaban baru yang berkualitas. (32)

(Dimuat di Suara Mereka, 4 Maret 2009)

Tidak ada komentar: