Jumat, 16 Januari 2009

Mengembalikan Pamor Taman Jurug

oleh Heri Priyatmoko


Beberapa waktu lalu Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) menjadi sorotan media lokal. Tim evaluasi dan pembinaan dari berbagai elemen ”menyerbu” TSTJ. Seperti yang diberitakan Joglosemar pada bulan Desember 2008, tim itu terdiri dari unsur Ditjen Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam (PHKA) Departemen Kehutanan (Dephut), Dirjen Bina Pembangunan Daerah (Bangda) Depdagri, dan Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI). Mereka sidak ke TSTJ lantaran kondisi taman satwa beserta isinya dikabarkan memprihatinkan dan pengelola TSTJ yang ”tak jelas”.
Namun demikian, Dephut masih memberi hati dengan tidak menarik koleksi satwa TSTJ. Tapi, pihaknya menuntut keseriusan Pemkot Surakarta dalam mengelola Taman Jurug. Sementara itu, Walikota Solo Joko Widodo menargetkan revisi Perda Taman Jurug akan selesai dua hingga tiga bulan ke depan. Agar usaha tersebut tepat sasaran, Jokowi meminta pendampingan PKBSI, termasuk pantauan terkait kondisi satwa.
Memang beberapa tahun terakhir, taman yang berlokasi di tepi Bengawan Solo ini merana tak terpelihara dan terabaikan. Pada hari Minggu maupun hari libur lainnya tempat ini sepi peminat, dan hanya berjubel saat acara larungan Joko Tingkir. Sesudahnya kembali lengang. Dalam riwayatnya, Taman Jurug yang resmi berdiri tahun 1983 tersebut bermula dari dipindahkannya beberapa koleksi satwa yang ada di Kebon Rojo (Sriwedari) karena keberadaannya tidak lagi memadai di tengah kota. Namun, jauh sebelum itu, lokasi ini sudah ramai dipakai kawula dalem dan rakyat cilik bercengkerama. Mereka menggelar tikar menikmati semilirnya angin dan keteduhan rimbun pepohonan sehingga melahirkan ketentraman lahir dan batin. Bahkan, maestro keroncong Gesang kerab berkunjung untuk mencari inspirasi menciptakan lagu (Heri Priyatmoko, 2008).
Kebun binatang, menurut definisi ICOM (International Council of Museums) atau Dewan Museum Internasional, merupakan salah satu bagian dari museum. Sebagai museum, kebun binatang menjadi objek pendidikan sekaligus objek wisata yang bisa diandalkan (Djulianto Susantio, 2003). Sebagai objek yang rekreatif-edukatif, keberadaan TSTJ sudah mampu menghibur masyarakat. Areal di TSTJ memang luas dan banyak pepohonan yang rindang. Ini bikin pengunjung betah untuk berlama-lama di sini. Makan siang bersama di atas tikar, dinaungi teduhnya pepohonan dan semilirnya angin. Sayangnya, bila dipandang dari aspek pariwisata, TSTJ belum memiliki kelas yang berkualitas.
Kandang-kandang hewan sangat memprihatinkan, terkesan kotor dan kurang terawat. Ada gajah di TSTJ yang hamil, tetapi kondisi kandangnya tidak ideal. Gajah itu tidak punya tempat berkubang yang ideal. Masih banyak satwa dengan kondisi serupa. Padahal, menurut Koordinator Bidang Humas dan Hubungan Antarlembaga PKBSI Singky Soewadji, dua tahun lalu pernah ia minta dibangun lubang untuk buang kotoran, namun belum terlaksana jua. Singky pun tak percaya kalau pengelola TSTJ memberi makan singa dan macan, yaitu empat kilogram daging dalam sehari. Jika benar sesuai takaran itu, macan dan singa tentunya sangat gemuk (Radar Solo, 25 Desember 2008).
Masyarakat tidak usah heran kalau manajemen TSTJ kurang baik. Pasalnya, organisasi TSTJ bentuknya tidak jelas. Taman satwa ini secara struktur tidak masuk dalam SOTK (Susunan Organisasi Tata Kerja), dan ironisnya juga bukan perusahaan murni. Imbasnya, membuat TSTJ terseok-seok kesulitan untuk mendapatkan suntikan dana atau anggaran yang dibutuhkan dalam pengembangan kebun binatang.
Langkah Konkret
Sebagai salah satu taman margasatwa besar di Indonesia, TSTJ bukan hanya tempat memamerkan segala jenis satwa. TSTJ berfungsi menangkarkan satwa-satwa langka pula. Lagi pula mengingat Kota Solo yang panas dan rawan banjir, adanya TSTJ yang di dalamnya ditumbuhi pepohonan besar, sungguh membantu mengurangi polusi kota dan penyerap air.
Sepinya pengunjung domestik di TSTJ, bukan berarti mutlak akibat dari pengelolaannya yang amburadul. Ada berbagai fasilitas dan langkah yang sekiranya kurang diperhatikan pengelola TSTJ. Untuk turut serta menggairahkan Solo sebagai kota wisata, terdapat beberapa langkah konkret yang semestinya ditempuh pengelola TSTJ.
Pertama, TSTJ sebaiknya dikelola langsung oleh Pemkot dan bekerjasama dengan pihak swasta. Sebab berbagai upaya pembenahan memerlukan banyak biaya, TSTJ perlu melakukan terobosan. Nantinya diharapkan TSTJ dikelola secara profesional oleh orang-orang yang mengerti akan bidangnya. Kedua, memperbarui kandang. Kandang dibuat semirip mungkin dengan habitat aslinya. Oleh karena itu, pembuatan hutan buatan harus dikerjakan secara bersama-sama oleh seniman, teknolog, dan ilmuwan. Setiap kandang monyet, misalnya, dibuatkan pohon berikut fasilitas permainan (ban mobil, tali). Kemudian pada bagian depan kandang ditutupi kaca agar pengunjung tak bisa mengganggu hewan. Kandang mesti dibikin sejajar dengan penglihatan agar pengunjung tidak perlu bersusah payah melongok ke bawah mencari-cari suatu hewan.
Ketiga, mengembangkan atraksi hewan. Perlu ditambah dengan atraksi saat memberi makan hewan. Saban atraksi dengan jadwal yang tidak bersamaan. Keempat, menghidupkan bagian bimbingan atau edukasi. Kegiatan untuk anak-anak dan pelajar disediakan dan dibimbing tenaga profesional agar kegiatan lebih rekreatif dan edukatif. Kelima, TSTJ dituntut memiliki tenaga SDM yang andal. Setidaknya diisi oleh orang-orang yang mempunyai mimpi memajukan TSTJ, keuletan menjual TSTJ, keluwesan mempromosikan TSTJ, dan kreativitas dalam melebarkan sayap TSTJ. Keenam, menambah koleksi satwa. Misalnya, pinguin, gorila, dan beruang kutub.
Bila langkah konkret ini dilaksanakan, bukan tidak mungkin dapat mengembalikan pamor TSTJ. Dan, TSTJ akan menjadi salah satu primadona pariwisata di Kota Bengawan. Selain sebagai sarana wisata pendidikan, kebun binatang juga digunakan untuk tempat menumbuhkan kecintaan manusia pada satwa. Harapan kita bersama ialah penataan pengelolaan TSTJ segera mungkin tercapai, sebab selama ini objek pariwisata TSTJ ibarat raksasa yang masih tertidur dan harus segera dibangunkan.

(Dimuat di Joglosemar pada 10-01-2009)

1 komentar:

aditya mengatakan...

saya memiliki pemikiran tentang wahana baru dan kepengelolaan untuk memajukan pamor taman satwa taru jurug....