Bandung Mawardi
Ibadah haji mengantarkan muslim membuka pintu seribu satu kisah sejak Nabi Adam sampai pandangan eskatologis. Haji memiliki konvensi sebagai ibadah manusia pada Tuhan. Haji kerap mengingatkan pada imajinasi-religiusitas. Ibadah haji membuka kesadaran muslim untuk ziarah imajinasi dengan melampaui batas ruang dan waktu.
Rentetan kisah kerap memberi pengalaman unik dan otentik tentang religuisitas sampai perilaku sosia-ekonomi-politik. Imajinasi menjadi kunci penting untuk masuk dalam kisah dan memungut hikmah melalui interpretasi. Haji identik dengan kisah Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Muhammad, atau kisah-kisah biografis lain. Imajinasi menemukan momentum pencerahan untuk menjadi tanda seru pada iman dan praksis hidup.
* * *
Pengalaman haji dituliskan Ajip Rosidi dalam seri puisi religius. Menuliskan haji memang memiliki dalil reflektif dan nostalgia atas biografi diri. Ajip Rosidi dengan liris menulis fragmen-fragmen mengesankan selama menunaikan ibadah haji. Puisi “Aku Datang, Ya Tuhanku, Aku Datang” merupakan tanda iman Ajip Rosidi untuk sadar atas panggilan Tuhan. Ajip dengan kalem mengungkapkan: Aku datang sekarang / bersimpuh di hadiratMu / menjerit menembus langit / menyelam dalam diri / yang berendam dalam kasihMu / bersarang dalam rahmatMu / yang sia-sia kuhitung / sia-sia kubagi. Kesadaran religius Ajip Rosidi masuk dalam rindu memuncak dan melahirkan imajinasi-imajinasi menggetarkan.
Ibadah haji memang kerap memberi imajinasi dan kisah menakjubkan. Kausalitas peristiwa dan pengalaman cenderung implisit. Tanda-tanda Tuhan selalu mengingatkan manusia untuk sadar atas berkah dan balasan sekian perbuatan selama hidup di dunia. Manusia pun dengan tunduk datang menghadap Tuhan dengan doa-doa dan laku-laku ibadah.
Laku representatif dari lakon manusia menghadapi godaan setan dan fitrah untuk mengimani Tuhan tampak dalam peristiwa melempar jumrah di Mina. Ajip Rosidi mencatatkan itu dalam puisi “Mina”: Tiga buah lubang / jadi sasaran lontaran / Berjuta orang mengepungnya / tapi setan lepas juga / masuk dalam diri lelaki / yang memaki-maki terinjak kaki // Tiga buah lubang / tak habis-habisnya diserbu / Tapi orang-orang yang penuh nafsu / setan pun bersembunyi di situ / Tak mungkin ia dilontar / Tak mungkin ia dilempar.
Danarto mengisahkan ibadah haji dalam catatan harian memukau dan menggelikan. Pengarang cerpen-cerpen sufistik ini dengan lincah dan lihai menuliskan seribu satu kisah dalam haji. Buku Orang Jawa Naik Haji (1984) menjadi dokumen penting dari seorang pengarang dalam kesibukan imajinasi-religius.
Haji seorang pengarang memang menjadi ibadah tak biasa karena pelbagai ulah dan imajinasi. Inilah pengalaman Haji Danarto: “Ibadah haji sesungguhnya saat manusia bergabung kembali dengan esensinya. Apakah hamba telah jadi idiot dengan pura-pura tidak tahu ketika engkau menempa cincin pertalian Kita: Allah, Allah, Allah, Maha Suci Engkau, ya Allah. Yang telah mencipatkan haji. Ada bumbu pasir, gunung batu, tanaman kering, dan udara panas yang berseru: di sini sudah dibangun tempat menyatu.”
Ajip Rosidi dan Danarto memiliki cara dan bentuk berbeda untuk mengisahkan haji dengan dalil pengalaman dan imajinasi. Ibadah haji kentara dengan pintu-pintu imajinasi untuk mengantarkan manusia pada masa lalu dan masa depan (eskatologis). Imajinasi atas dunia menemukan titik sambungan untuk imajinasi langit dan akherat.
* * *
Kesusastraan Indonesia modern tidak memiliki data melimpah mengenai sastra mazhab haji. Pengarang-pengarang mungkin kurang memiliki ketertarikan untuk mengisahkan haji dengan alasan entah apa. Hamka menunjukkan diri sebagai pengarang dengan sensibiltas religius. Sekian teks Hamka menunjukkan ada ikhtiar mengisahkan haji meski dalam kadar kecil. Haji sekadar menjadi perisitiwa instrumental untuk menguatkan cerita dan karakter tokoh.
Haji itu imajinatif. Pengertian ini mungkin jarang terpahami oleh pengarang. Laku-laku ibadah selama haji tak luput dari olah imajinasi. Pelbagai peristiwa dan doa merepresentasikan pintu-pintu masuk dalam imajinasi religius. Masjid, bukit, padang pasir, Kabah, atau sumur Zamzam adalah tanda-tanda dari perjalanan historis-eskatologis secara imajinatif dan empiris.
Haji sebagai tema besar hadir dalam novel Ular Keempat (2005) karangan Gus TF Sakai. Novel ini mengacu pada kisah haji Indonesia pada tahun 1970-an. Pengarang merekonstruksi kisah perjalanan kelompok haji ilegal, kisah-kisah religius selama haji, kisah kultural-politik di Indonesia. Novel ini menjadi juru bicara penting untuk kehadiran sastra mazhab haji karena pengarang memberi kadar besar megisahkan haji dalam proses awal sampai implikasi ibadah haji. Novel ini bukan uraian teknis atau deskriptif mengenai ibadah haji tapi refleksi imajinatif atas ibadah haji dalam relasi agama, ekonomi, politik, dan kultural.
Laku haji dalam manifestasi imajinasi Gus TF Sakai: “Dan kini, pagi ini, kami kembali mengulangi laku Ibrahim: melempari Jumratul Aqabah, dengan batu-batu kecil yang kami pungut tadi malam. Lihatlah manusia ini, jemaah ini, mereka merengsek ke Jumratul Aqabah seperti pemandangan kemarin, seperti semut-semut putih yang merayap naik ke Jabal Rahmah. Ribuan.”
Peristiwa-peristiwa indah dan menakjubkan terjadi ketika berada di Mekah dan Madinah. Pengalaman religius itu mesti dilakoni dengan sekian perkara dengan taruhan politik-diplomatik ketika rombongan haji mulai berangkat dari Indonesia. Rombongan haji pada tahun 1970-an tanpa dokumen resmi pemerintah nekat menempuh perjalanan dengan niat ingin bisa menunaikan ibadah haji. Pemerintah Indonesia kelimpungan mengurusi rombongan itu ketika transit di Singapura dan Malaysia sampai ke Arab Saudi. Pemerintah ingin tegas menerapkan peraturan tapi tak sanggup memberi perlakuan secara akomodatif.
Novel Ular Keempat memang menunjukkan intensitas pengarang untuk mengisahkan haji dari perkara religius, birokrasi, dan peristiwa-peristiwa surealis. Pengarang dengan sadar mengajukan pertanyaan sebagai pijakan penulisan novel: “Betulkah orang-orang di kampungku beribadah bukan karena Allah, melainkan ibadah itu telah diwariskan turun-temurun? Dan betul pulakah apa yang dikatakannya bahwa aku pergi haji ke Mekah tak lebih hanya karena kebanggaan?”
* * *
Haji itu perkara sosial? Pertanyaan kerap muncul dengan acuan kondisi ekonomi dan sosial di Indonesia. Ibadah haji dengan dana besar kerap menimbulkan polemik mengenai implikasi kemaslahatan. Ibadah haji lebih dari sekali cenderung menjadi sasaran kritik ketika tak menyadari bahwa realitas sosial-ekonomi di sekitar berada dalam kemiskinan. Prioritas untuk haji dan sedekah-infak sosial kerap menjadi polemik dengan argumentasi pamrih individu dan toleransi sosial. Begitu.
Dimuat di Republika (14 Desember 2oo8)
Kamis, 08 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar