Minggu, 08 Juni 2008

Kolonisasi Budaya dan Proyek Identitas

Oleh: Heri Priyatmoko


Berangkat dari realitas sosial dan faktual, masyarakat Solo adalah masyarakat yang majemuk, multietnis. Tidak berlebihan jika di Kota Bengawan banyak tinggalan budaya yang bersifat kasat mata (tangible) maupun tidak kasat mata (intangible).
Entah mengapa, dalam mengemukakan unsur kebudayaan Jawa di Solo, para sarjana atau
pengkaji budaya biasanya mengabaikan satu unsur penting, yakni pakaian. Lebih spesifiknya kebaya. Dalam kajian mereka, warisan budaya berupa bangunan, kesenian, bahasa atau norma-norma lebih penting. Se-pertinya ’’putri Solo’’ tidak memandang kebaya sebagai identitas dan tidak memiliki sejarah.

Kebaya selama ini mengalami pasang-surut pamor bila dipandang sebagai identitas. Setelah membaca buku Outward Appereances (LKiS, 2005) Henk Schulte Nordholt (edt) akan dipahami bahwa pakaian memiliki arti penting dalam kehidupan sehari-hari. Cara berpakaian dianggap dapat membantu memahami perkembangan suatu masyarakat dan identitasnya.

Kesan apa yang terlintas dibenak Anda saat melihat perempuan Solo berkebaya? Yang pasti feminin, kejawaan, dan santun. Namun selain itu, tergantung apakah si pemakai tua, muda, kaya, miskin, serta konteks tempat dan waktu, termasuk periode sejarah. Kebaya adalah cermin dari status, gender, memiliki nilai simbolik dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Bercerita kebaya dalam ruang sejarah tidak hambar. Ada sejuta kisah di dalamnya.

Pada tahun 1918 di gedung pertemuan ”De Harmonie” (klub malam) diselenggarakan pesta bertopeng. Partini, putri Mangkunegara VII, mengikuti acara tersebut bukan dengan berpakaian kebaya, tapi justru memakai busana Mandarin. Ia mendapat pinjaman dari istri Kapiten der Chinezen, Nyonya Bee Kwat Koen. Meskipun golongan ningrat, menurut Partini, baju Mandarin lebih pas menempel di tubuhnya ketimbang kebaya. Putri raja ini bangga dengan seluruh baju bordir benang emas dan pada leher baju ada kancing berlian.

Apresiasi Kebaya
Kebaya kita sempat ”terjungkir”. Bermula pada seorang perempuan pribumi mengenakan kebaya yang berwarna atau indigo, setelah menjadi nyai berganti memakai kebaya putih berenda ala noni Belanda. Pada saat itu kebaya putih berenda lebih mahal dibanding kebaya perempuan pribumi.

Kebaya jenis ini menjadi lambang status baru bagi seorang wanita Jawa yang masuk dalam lingkaran masyarakat Indis (agar istilah ’’nyai’’ tidak berat sebelah, sebaiknya baca tulisan Hayu Adi Darmarastri (2007) dan JJ Rizal (2006)).

Kemunculan politik etis (salah satunya edukasi) di Solo membawa perubahan pada penggunaan kebaya. Dari awal, pakaian tradisional dihargai, namun selanjutnya berubah sebab adanya politik diskriminasi busana oleh pemerintah Belanda di bangku sekolah.. Di sisi lain, faktor praktis (bersepeda atau duduk di kursi) adalah alasan logis untuk berganti pakaian gaya Eropa. Memang kebanyakan wanita di pedesaan masih bertahan dengan busana asli. Tapi kaum pria yang tak bisa menghindar hanya memakai ikat kepala dan kain ikat di pinggang.

Kalau sekarang kita mengamati pakaian wanita secara umum, harus dicatat bahwa porsinya terbalik. Kini putri Solo yang terkenal mlakune kaya macan luwe itu senang memakai rok (dari bahasa Belanda -’’Rok’’), gaun (dari bahasa Inggris - ’’Gown’’) dan blus (dari bahasa Belanda-Prancis - ’’blouse’’). Kebaya hanya kita jumpai atau dipamerkan sewaktu perhelatan dan resepsi resmi. Untuk kesesuaian zaman, tahun 1970an, Ratna Busana mengubah gagasan pakaian nasional dengan memunculkan konsep ”kebaya modern”.

Pada saat ini perempuan mulai mengenakan kebaya, terutama kebaya encim. Tidak dengan kain batik, melainkan dengan rok, celana, celana jin, dan hotpants. Tren ini muncul kembali di era 2000-an.

Dinamika perubahan berpakaian kebaya dapat dipahami dari proses historis; bukan dipahami sebagai proses yang secara kebetulan. ”Jangan nilai orang dari pakaiannya”. Ungkapan ini kurang cocok bagi orang Jawa. Mereka lebih yakin ”ajining raga ana ing busana”.

Sebagai kata akhir, mungkin boleh dikemukakan bahwa walau mengalami terbit-tenggelam, ia bagian dari pusaka kita yang harus dijaga. Ada kebanggaan karena kain kebaya dipandang sebagai pakaian nasional dan mempunyai implikasi dominasi atau bahkan kolonisasi terhadap 200 suku lainnya di Indonesia.

(Dimuat SUARA MERDEKA, 21 Mei 2008)

Tidak ada komentar: