Minggu, 08 Juni 2008

Keluarga dalam Televisi

Oleh: Haris Firdaus

Sebagian besar program televisi di negara kita menghadirkan representasi keluarga sebagai lembaga yang bermasalah. Televisi kita, melalui sinetron dan infotainment, banyak menghadirkan cerita-cerita tentang keluarga yang memiliki konflik antar anggotanya. Konflik dalam intern lembaga keluarga itu dibumbui dengan caci maki, dendam kesumat, bahkan kekerasan fisik.

Pada tahun 2006, RCTI menayangkan sebuah sinetron berjudul Ratapan Anak Tiri yang diilhami oleh film berjudul sama tahun 1973. Pemakaian judul “Ratapan Anak Tiri” adalah strategi marketing agar sinetron tersebut digemari. Pihak produser saat itu berasumsi bahwa judul “Ratapan Anak Tiri” masih dekat dalam benak penonton televisi Indonesia karena film Ratapan Anak Tiri memang sangat populer meski pertama kali diputar sekitar 33 tahun yang lalu.

Kepopuleran film yang menggambarkan keluarga sebagai entitas yang penuh konflik itu, menandakan penonton televisi di Indonesia sebenarnya sudah lama berkenalan dengan program siaran yang merepresentasikan keluarga sebagai sebuah lembaga yang penuh masalah. Kisah tentang penyiksaan anak oleh ibu tirinya adalah kisah yang terekam dalam memori kolektif masyarakat kita dan memiliki dampak yang cukup siginifikan.

Sampai saat ini, sinetron-sinetron paling mutakhir di beberapa stasiun televisi swasta kita masih saja mengintrodusir konflik dalam keluarga sebagai cerita utama atau salah satu bagian cerita. Meski tren sinteron sudah berganti dari sinteron remaja ke sinteron misteri lalu sinetron anak, konflik keluarga hampir selalu menjadi bumbu drama dalam tayangan itu—kalau tidak menjadi cerita utama.

Lihatlah sinteron macam Cahaya, Kasih, atau Namaku Mentari. Meski cerita utamanya bukan mengenai konflik dalam sebuah keluarga, perselisihan antar anggota keluarga hampir selalu hadir dalam tiap episodenya. Keluarga, dalam sinetron-sinteron itu, bukanlah sebuah lembaga penuh harmoni di mana anggotanya hidup dengan saling menghormati. Keluarga, dalam sinetron-sinetron itu, adalah lembaga penuh konflik dengan manifestasinya berupa caci maki, balas dendam, atau kekerasan fisik.

Dalam tayangan infotainment, hal yang sama juga terjadi. Program infotainment di televisi kita lebih sering menghadirkan perceraian, perebutan hak asuh anak, atau konflik antara orang tua dan anak.

Kita mungkin belum lupa bagaimana infotainment menayangkan hampir setiap hari konflik antara Saiful Jamil dan Dewi Persik. Proses perceraian keduanya yang panjang dan penuh dengan tuduhan dari kedua belah pihak, hampir tiap hari kita bisa saksikan. Dalam kasus tersebut, keluarga sekali lagi direpresentasikan sebagai lembaga yang bermasalah dan penuh konflik.

Realitas Tangan Kedua

Dalam literatur Ilmu Komunikasi, istilah representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam isi media massa. Representasi berkaitan dengan dua hal penting. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tertentu itu ditampilkan apa adanya atau tidak. Kedua, bagaimana representasi itu ditampilkan. (Eriyanto, 2005: 113).

Dalam tayangan media massa, rawan terjadi kesalahan representasi atau misrepresentasi. Meski sebuah informasi yang disajikan media diklaim sebagai fakta, tapi informasi itu tidak pernah benar-benar sama atau malah bisa bertentangan dengan realitas sosial. Di televisi, meski realitas dihadirkan dengan teknologi audiovisual, misrepresentasi juga tak bisa dihindari.

Sebagai bagian dari media massa, televisi tidak pernah bisa menghadirkan realitas sesuai dengan kenyataan yang sejernih-jernihnya. Penggambaran realitas dalam televisi, mau tidak mau, adalah penggambaran yang memiliki jarak dengan realitas sesungguhnya. Dalam bahasa Ilmu Komunikasi, realitas televisi adalah realitas tangan kedua (second hand reality).

Representasi atas lembaga keluarga di televisi, oleh karenanya, juga tidak mungkin mencerminkan realitas yang sama persis dengan yang terjadi di masyarakat. Informasi yang hadir dalam infotainment dan gambaran dalam sinetron tentang konflik keluarga pun sebenarnya tidak pernah benar-benar mencerminkan realitas yang terjadi. Selalu ada jeda antara keduanya berupa dramatisasi dan pembingkaian realitas oleh media.

Secara sosiologis, keluarga merupakan satu satuan antargenerasi yang terbentuk karena kelahiran atau adopsi dan terlibat dalam kegiatan membesarkan anak. (Bintoro, 2005: 210). Dalam masyarakat kita, keluarga adalah sebuah lembaga yang masih memiliki nilai “sakral”. Berkeluarga berarti membangun sebuah hubungan yang tidak hanya berdimensi duniawi saja, tapi juga ada kaitan dengan sisi teologis seseorang.

Pada masyarakat Jawa, seorang istri disebut sebagai “garwa” (kependekan dari sigaraning nyawa) yang berarti “belahan jiwa”. (Bintoro, 2005: 210). Penyebutan seperti itu tentu saja tidak hanya berhenti sebagai penyebutan lisan saja. Sebutan garwa mengandung makna bahwa pasangan yang kita ikat dalam sebuah hubungan pernikahan adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita.

Filosafi garwa itulah yang dijungkirbalikkan oleh sinetron dan infotainment. Kedua program itu justru seolah berlomba menghadirkan konflik-konflik antar anggota keluarga sebagai bumbu dramatis atas tayangan yang mereka jual.

Tertinggal dan Berdampak Negatif

Untunglah, masih ada tayangan yang merepresentasikan keluarga sebagai lembaga yang penuh harmoni. Film seri Keluarga Cemara, misalnya. Dalam film—yang sudah tidak ditayangkan lagi—itu, para anggota keluarga bahu-membahu mengatasi berbagai kesulitan yang menimpa mereka. Dalam bentuk yang berbeda, acara reality show seperti Mama Mia dan Supermama juga merepresentasikan keluarga sebagai lembaga yang penuh kasih sayang.

Dalam dua tayangan yang sempat merebut simpati pemirsa itu—mengalahkan berbagai sinetron yang penuh konflik keluarga—dihadirkan hubungan antara orang tua dan anak yang penuh kasih sayang. Anak dan orang tua tampil tidak sebagai dua manusia yang berkonflik, tapi justru sebagai dua individu yang saling dukung mencapai tujuan bersama.

Sinergi antar anggota keluarga dalam mencapai peningkatan status keluarga dan keberhasilan anak-anak dalam keluarga tersebut—seperti yang kita lihat dalam Keluarga Cemara, Mama Mia, dan Supermama—merupakan karakter yang umum terdapat pada lembaga keluarga dalam masyarakat modern. (Wahib, 1981: 216).

Jadi, tayangan-tayangan televisi yang masih saja mengumbar konflik dan kekerasan dalam sebuah keluarga sebenarnya merupakan tayangan yang tidak lagi sesuai dan bahkan tertinggal dari realitas masyarakatnya. Tayangan seperti itu, bisa juga berdampak negatif pada masyarakat, terutama anak-anak.

Aktivitas menonton siaran televisi yang merepresentasikan keluarga sebagai lembaga yang bermasalah, lama-kelamaan akan menanamkan kecurigaan pada lembaga keluarga. Kecurigaan itu, bisa berakibat buruk: memicu terjadinya konflik yang sesungguhnya antar anggota keluarga.

(Dimuat di Majalah GONG Edisi 100/2008)

Tidak ada komentar: