Senin, 09 Juni 2008

Sastra dan Ilmu Sosial (1)

Oleh: Bandung Mawardi

Umar Kayam adalah seorang pengarang yang memiliki latar belakang pendidikan sosiologi. Umar Kayam adalah doktor lulusan dari Universitas Cornell Amerika Serikat. Pengetahuan sosiologi membuat Umar Kayam berada dalam tegangan epistemologi ketika menulis cerpen atau novel. Para Priyayi (1992) menjadi teks yang diperdebatkan orang dengan anggapan itu adalah tek sastra (novel) atau risalah sosiologi. Dick Hartoko mengatakan bahwa Para Priyayi itu bukan novel tapi buku sosiologi. Pelabelan Dick Hartoko itu menjadi suatu petunjuk tentang pembedaan dan tarikan garis batas sastra dan ilmu sosial yang jadi perdebatan panjang dengan dalih-dalih besar atau kecil.

Umar Kayam menyadari posisi “mendua” dalam penulisan cerpen atau novel dengan konstruksi pengetahuan sosiologis yang dimiliki dan kerap dimanifestasikan dalam tulisan-tulisan ilmu sosial. Perhatian besar terhadap ilmu sosial itu menjadi bayang-bayang yang memengaruhi proses penulisan teks sastra. Pengakuan di balik penulisan Para Priyayi mungkin bisa dijadikan argumen yang menentukan pelabelan novel. Umar Kayam (Prosa, No. 1, 2002) mengatakan: “Para Priyayi ini seperti sebuah flashback kehidupan saya. Saya ingat masa kecil, pertumbuhan saya, keluarga besar saya, lingkungan zaman kecil saya. Ingatan-ingatan itu semua yang melahirkan rangsangan untuk novel tersebut.” Pengakuan itu hendak mengklaim dan menguatkan bahwa Para Priyayi sejak awal memang dikonstruksi sebagai tek sastra (novel).

Ketegangan dalam proses kreatif dan penulisan sastra memang dialami oleh Umar Kayam yang menyebutkan bahwa ada kesusahan untuk memisahkan cara berpikir ilmu sosial dalam praktik sastra. Umar Kayam menyadari ada relasi yang mungkin jadi seteru atau sekutu mengenai sastra dan ilmu sastra. Kesadaran kritis itu membuat Umar Kayam berada dalam tegangan intelektual-kreatif. Umar Kayam mengakui bahwa dirinya selalu dihantui ilmu sosial. Posisi dan pengalaman itu justru membuat Umar Kayam kritis terhadap ilmu sosial dan cenderung memihak pada sastra. Umar Kayam mengatakan: “Saya selalu mengritik bahwa ilmu sosial itu belum mengerti tentang kehidupan. Lantas, siapa yang tahu kehidupan? Tidak ada. Harusnya seorang penulis karena seorang penulis menulis tentang kehidupan.”

Pengakuan dan pengalaman Umar Kayam melahirkan tanya mungkinkah terjadi simbiosisme sastra dengan ilmu sosial? Pertanyaan besar itu terus jadi perdebatan oleh pelbagai orang dari sastra dan ilmu sastra. Seorang juru bicara yang memiliki kompetensi penting dalam perdebatan dan tanya besar itu adalah Ignas Kleden. Tulisan-tulisan mengenai sastra dari Ignas Kleden (2004) dengan representatif melakukan ikhtiar pembicaraan yang analitis mengenai sastra dan ilmu sosial. Ignas Kleden mengatakan bahwa yang membedakan teks sastra dengan teks-teks yang lain adalah kehadiran makna referensial (makna yang lahir dari hubungan antara teks dan dunia luar-teks) dan makna tekstual (makna yang lahir dari hubungan-hubungan di dalam teks sendiri). Teks sastra adalah dialektis yang dengan keberadaan makna referensial dan tekstual sanggup menghasilkan pencapaian yang spesifik. Perbedaan mencolok antara teks sastra dengan ilmu pengetahuan (sosial) adalah produksi makna. Sastra memproduksi makna referensial dengan cara mereduksikan makna tekstual. Ilmu pengetahuan memproduksi makna tekstual dengan mensuspendir makna referensial. Sastra berada dalam pamrih konotasi dan ambivalensi. Ilmu pengetahuan berada dalam pamrih menjadi denotasi yang bisa ditentukan isi dan batas-batasnya.

Pemikiran itu bisa dijadikan acuan untuk menilai keberadaan Umar Kayam dan teks Para Priyayi. Teks itu lahir dari keinginan pengarang untuk menceritakan pengalaman masa kecil, keluarga, dan kondisi zaman yang kental dengan pengetahuan sosial dan kebudayaan. Pengetahuan itu memberi pengaruh dalam batas-batas tertentu untuk instrumen atau justru “substansi” yang menentukan konstruksi cerita. Penentuan jatah, cara penulisan, dan pilihan bahasa menjadi taruhan seorang pengarang yang hendak menulis novel dengan bayang-bayang ilmu sosial. Umar Kayam sanggup membuat pembedaan dan pemilahan itu yang dibuktikan dengan pengisahan literer dalam Para Priyayi. Umar Kayam tidak terperosok dalam kepentingan pragmatis mengajukan risalah sosiologi yang diintervesikan melalui novel.

Persoalan yang berpusat pada Umar Kayam dan Para Priyayi melibatkan wacana pelik yang kerap dibicarakan dan diperdebatkan oleh orang sastra atau orang ilmu sosial. Ignas Kleden menyebutkan bahwa dalam pandangan fungsional sastra dianggap sebagai suatu fungsi dari perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Relasi itu membuktikan bahwa sastra tak bisa mengelak atau pisah dengan acuan wacana-praktik sosial dan kebudayaan. Ignas Kleden cenderung memahami bahwa relasi itu (sastra, masyarakat, dan kebudayaan) adalah relasi simbolik. Relasi itu bakal menentukan kepentingan sastra dengan ilmu pengetahuan (sosial). Ignas Kleden memberi penjelasan yang mengacu pada pemikiran Raymond Firth (Symbols: Public and Private): ilmu pengetahuan sosial berusaha mengungkapkan perkembangan masyarakat dengan cara menyatakan dan menjelaskan. Sastra pun melakukan itu dengan strategi literer simbolik yang menjadikan simbol sebagai ekspresi yang niscaya mengandung ambivalensi.

Persoalan pelik yang masih memerlukan jawaban adalah pandangan lama yang menyebutkan bahwa sastra itu memberi fiksi dan ilmu (sosial) memberi fakta (data). Pandangan lama itu kurang bisa dipertahankan ketika menyadari ada proses pertumbuhan atau “pertemuan” antara sastra dengan ilmu pengetahuan. Pandangan itu layak didekonstruksi meski bakal mengalami kesulitan dan pembenahan paradigma. Pembahasan komprehensif mengenai persoalan itu dilakukan Ignas Kleden (1998) dalam esai panjang “Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi (Imajinasi dalam Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial)”. Ignas Kleden mengakui ada kesusahan untuk mempersoalkan fakta dan fiksi tapi ada suatu pengajuan jawaban alternatif yang mungkin representatif. Ignas Kleden mengacu pada pemikiran Leo Lowenthal dari Mazhab Frankfurt yang menekankan perbedaan sastra dan ilmu sosial dalam persoalan representasi kenyataan. Representasi manusia dalam ilmu sosial adalah representasi berupa tipe, tipologi, atau model. Representasi manusia dalam sastra adalah representasi berupa individu. Catatan yang diberikan Ignas Kleden dalam pemikiran itu adalah penerapannya cenderung berlaku pada tek-teks sastra realis. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka, 8 Juni 2oo8

Tidak ada komentar: