Selasa, 03 Juni 2008

Kepustakaan Pancasila

Oleh Bandung Mawardi

Warisan besar Orde Baru adalah kepustakaan mengenai Pancasila. Ada ratusan buku yang terbit pada masa Orde Baru mulai dari buku pelajaran sampai buku kajian ilmiah. Pancasila menjadi fokus kajian yang melibatkan sekian ahli dan sarjan dengan pelbagai kepentingan. Kehadiran buku-buku mengenai Pancasila kental mengandung muatan kepentingan kekuasaan yang membutuhkan legitimasi dan indoktrinasi.

Rezim Orde Lama memiliki tafsir dan realisasi atas Pancasila yang mungkin kalah massif dan populer ketimbang Orde Baru. Pancasila yang semula identik dengan sosok Soekarno perlahan menjadi identik dengan Soehrato dan Orde Baru karena perlakuan yang sakralistik-politis terhadap Pancasila. Buku-buku yang terbit pada masa Orde Baru eksplisit memusat pada tafsir resmi dari penguasa dan hanya segelintir buku yang melakukan kajian kritis dan ilmiah tanpa embel-embel kepentingan penguasa.

Penerbitan buku Bung Karno dan Pancasila: Menuju Revolusi Nasional (editor Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, 2002) hendak menjadi suara lain dan ingatan kembali terhadap peran Soekarno dan Pancasila dalam perjalanan Indonesia. Buku itu kentara memberi interupsi dan revisi pada keruntuhan rezim Orde Baru yang meninggalkan pesimisme atas Pancasila karena pelbagai dosa sosial dan politik. Orde Baru gagal dalam proyek tafsir dan realisasi Pancasila. Buku itu memuat teks dari pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, materi-materi kuliah pancasila, dan kertas kerja dari sekian tokoh mengenai Pancasila (Prijono, Muhammad Yamin, Drijarkara, dan Notonagoro).

Pamoe Rahardjo menjelaskan bahwa nasib Pancasila pada zaman Soekrano dengan zaman Soeharto berbeda dan kontradiktif. Contoh kontroversial adalah ketiadaan restu politik dari Orde Baru untuk memperingati hari kelahiran Pancasila (1 Juni). Soeharto justru menghendaki untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober) sebagai bukti kesanggupan Pancasila dalam melawan dan mengalahkan komunisme.

* * *

Buku yang mendokumentasikan tafsir dan pemikiran Soeharto terhadap Pancasila terbit pada tahun 1976 dengan judul Pandangan Soeharto tentang Pancasila. Buku itu memuat kutipan-kutipan dari pidato-pidato Soeharto dalam pelbagai acara yang mengesankan bahwa pandangan Soeharto itu adalah “sabda yang sahih”. Soeharto mengatakan: “Pancasila bagi kita adalah masalah hidup matinya bangsa Indonesia.” Pernyataan lain yang lugas dari Soeharto: “Kita tidak akan memerosotkan Pancasila hanya menjadi semboyan kosong atau bahan propaganda murah.” Terbuktikah?

Pandangan-pandangan Soeharto itu berbeda tafsir dan kepentingan dengan Soekarno dalam pidato-pidato atau kuliah-kuliah mengenai Pancasila pada masa Orde Lama. Soekarno dalam materi kuliah “Pancasila sebagai Dasar Negara” (Bung Karno dan Pancasila: Menuju Revolusi Nasional) mengemukakan bahwa Pancasila itu adalah dasar negara atau weltanschauung dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Soekarno menghendaki Pancasila bisa menjadi identitas, pandangan hidup, dan kepribadian Indonesia untuk melawan imperialisme. Pandangan itu berbeda dengan Soeharto yang memosisikan Pancasila untuk membasmi dan melawan komunisme.

* * *

Buku-buku mengenai Pancasila yang terbit pada masa Orde Lama dengan Orde Baru memang berbeda dalam perkara isi dan kuantitas. Pembaca yang ingin melakukan studi atas Pancasila bakal kerepotan untuk bisa menemukan referensi dalam bentuk buku dari masa Orde Lama. Referensi yang melimpah justru ada pada masa Orde Baru:, Notonagoro Pancasila Secara Ilmiah Populer (1971) dan Pancasila Dasar Falsafah Negara (1974), Roeslan Abdulgani Pengembangan Pancasila di Indonesia (1977), Mohammad Hatta Pengertian Pancasila (1978), Darmodiharjo Pancasila Suatu Orientasi Singkat (1979), Mubyarto Ekonomi Pancasila: Gagasan dam Kemungkinan (1981), Deliar Noer Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (1983). Slamet Soetrisno Pengantar Filsafat Pancasila (1984), A.M.W. Pranarka Sejarah Pemikiran Pancasila (1985), Arief Budiman Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Sosial di Indonesia (1989), Paulus Wahana Filsafat Pancasila (1993), Oetojo Oesman dan Alfian Pancasila sebagai Ideologi (1993), P. Hardono Hadi Hakikat dan Muatan Pancasila (1994), Paulus Wahana Filsafat Pancasila (1993), Oetojo Oesman dan Alfian Pancasila sebagai Ideologi (1993), P. Hardono Hadi Hakikat dan Muatan Pancasila (1994), Darji Darmodiharjo Santiaji Pancasila (1995), dan lain-lain. Buku-buku mengenai Pancasila pada masa Orde Baru rata-rata termasuk buku laris karena kerap digunakan sebagai bahan pelajaran, kuliah, dan penataran yang mengacu pada kebijakan politik Orde Baru.

* * *

Buku dalam konteks politik bisa menjadi juru bicara yang ampuh untuk kepentingan kekuasaan. Buku-buku mengenai Pancasila yang terbit pada masa Orde Baru mayoritas menjadi pembenaran terhadap tafsir tunggal dan memainkan peran strategis dalam legitimasi kekuasaan. Pancasila pasca-Orde Baru membutuhkan tafsir realistis dan pluralistik untuk suatu kepercayaan terhadap kehidupan kolektif sebagai bangsa dan negara.

Siapa masih mau menulis dan menerbitkan buku mengenai Pancasila? Siapa masih mau membaca buku-buku mengenai Pancasila? Pertanyaan-pertanyaan itu patut diajukan dengan melihat kondisi riil dan antusiasme terhadap Pancasila yang rendah. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka, 1 Juni 2oo8

Tidak ada komentar: