Rabu, 26 Maret 2008

Pengembaraan Dua Sejarawan

Oleh: Heri Priyatmoko


Di Indonesia, tidak banyak penulis yang melakukan suatu pengembaraan dari buku ke buku, yang kemudian hasil pengembaraan itu dituangkan menjadi sebuah buku. Mungkin baru P Swantoro dan mendiang Kuntowijoyo. Contoh, hasil coretan tangan sejarawan sekaligus wartawan, P Swantoro “Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu”, (2002). Selanjutnya, Kuntowijoyo dengan buku terakhirnya setelah Pengantar Ilmu Sejarah” (1995), dan “Metodologi Sejarah” (1994, 2003, ed kedua), yaitu “Penjelasan Sejarah (Historical Explanation)”, (2008). Lengkap sudah trilogi kitab Kuntowijoyo tentang ilmu sejarah.

Swantoro

Posisi sebagai sejarawan dan wartawan, membuatnya tak berhenti menimba hal-hal baru di lapangan saja, namun buku tak ubahnya ladang pengembaraan intelektualitas. Swantoro mengakui, pengalamannya dengan buku sudah dimulai sejak masih bocah, sehingga tidak kurang dari 200 buku yang diuraikannya dengan menarik dan sekarang ini mampu tampil seolah-olah sebuah pribadi hidup. Ini semua berasal dari lebih tiga ribu buku miliknya pribadi yang selama puluhan tahun secara tekun di kumpulkan satu demi satu.

Di buku Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu”, Swantoro tidak melakukan sebuah analisis, melainkan bertutur tentang beragam jenis buku yang pernah dibaca oleh penulisnya. Lebih mirip tinjauan buku yang dimuat di surat kabar atau majalah. Yang memukau, jumlahnya ratusan buku. Dengan kemahiran bahasa Belanda, dia tak kesulitan mengupas tuntas buku karangan orang Belanda. Penulis mendongeng sejarah Partai Komunis Indonesia PKI setelah menyimak karya J Th Petrus Blumberger “De Communistische Beweging in Netherlandsch Indie”, dan disusul bukunya Daniel Marcellus G Koch “Om de Vrijheid: De Nationalische Beweging in Indonesie”.

Penceritaan ulang Perang Dipenagara begitu elok hanya bermodal buku S van Praag, “Onrust op Java, De Jeugd van Pangeran Dipanagara; Een Historisch-Litteraire Studie” (1947). Diceritakan Swantoro bahwa separuh isi buku karya Praag itu hasil kutipan penting dari Babad Dipanagara. Praag mengenal namanya setelah Dipanagara mendekam di kamp tawanan Jerman di Westerbok, Negeri Belanda, saat tentara Jerman menduduki negeri itu pada Perang Dunia II.

Swantoro kagumi tokoh WJS Poerwadarminta, PJ Zoetmulder, dan Sartono Kartodirdjo. Poerwadarminta, meskipun hanya seorang lulusan Normalschool, terbukti mampu membuktikan dirinya sehingga bisa tumbuh dan menjadi leksikograf terbaik di Indonesia. Keberhasilan Poerwadarminta menjadi ahli kamus akibat ketidakadilan yang ia alami. Guru lulusan Normaalschool digaji hanya 40 gulden, sementara lulusan Kweekschool, sekolah guru yang juga empat tahun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, digaji 75 gulden. Karena itu para siswi sekolah guru menjulukinya sebagai sega abang (nasi merah), sedangkan lulusan Kweekschool sebagai sega putih (nasi putih). Rasa rendah dirinya memacu Poerwa mempelajari banyak bahasa khususnya bahasa Belanda dan bahasa lain dan kelak ia menjadi ahli kamus terkemuka (hal 24).

Seperti kata Parakitri dalam Prakata, membaca buku ini ibarat seorang kakek mengajak cucunya berjalan-jalan ke taman bunga, dan menjelaskan sekemampuannya kepada si cucu berbagai macam bunga di taman itu satu demi satu. "Perkelanaan memori" itulah yang menyebabkan buku macam ini tidak ada duanya.

Kuntowijoyo

Selain dijuluki sejarawan ternama, Kuntowijoyo adalah satrawan dan budayawan yang mumpuni. Beliau telah pergi pada 22 Februari 2005 silam Ia hidup untuk 3S, yaitu Sejarah, Sastra dan Susilaningsih (nama istrinya). Di buku terakhirnya, penulis juga sama berkelana mengajak pembacanya menelusuri sekitar 60 buku babon yang sangat berpengaruh untuk perkembangan Ilmu Sejarah di Indonesia. Hanya saja, kalau Swantoro tadi sebatas pada cerita sejarah, Kuntowijoyo lebih menekankan pada seperangkat teori yang dipakai untuk kerja pada penulis buku.

Dengan gaya bahasa yang mudah dicerna, Kuntowijoyo memaparkan satu-persatu karya penulis asing maupun Indonesia. Buku yang ia kaji antara lain, M.C Ricklefs, A History of Modern Indonesia (1982), mahakarya Denys Lombart tiga jilid (1996), karya antropolog Cliford Geertz (1971, 1973, 1974, 1987, dan 2000), buku bengawan sejarah Sartono Kartodirjo (1966, 1972, 1987, dan 1999), Sejarah Nasional Indonesia I-IV dan masih banyak lagi. Penulis membagi menjadi sembilan pokok permasalahan. Adapun di antaranya, hakikat sejarah, periodisasi, kausalitas, analisis struktural, paralelisme, generalisasi sejarah, sejarah dan teori sosial, kuantitatif dan sejarah naratif.

Tidak sia-sia, hasil penjelajahan dari buku ke buku, Kuntowijoyo meramu hakikat penjelasan sejarah yang selama tiga dekade pada abad XX menjadi bahan perdebatan dan ketidaksepakatan di antara kaum positivis dan kaum idealis dalam pendekatan sejarah. Hal itu jelas akan berdampak luas dalam perdebatan hangat mengenai historiografi Indonesia.

Kesamaan

Ini buku yang muncul berkat pergulatan mendalam sejarawan dengan buku yang tidak terbatas jumlahnya. Andaikan disejajarkan, ibarat bocah kembar. Kedua buku ini kiranya jarang dalam jenisnya, sebuah buku yang berupaya menuturkan tentang puluhan hingga ratusan buku yang telah dibaca oleh penulisnya. Apalagi, terungkap betapa luasnya pengetahuan kedua penulis sehingga mampu mengajak pembaca untuk menyelami isi buku-buku yang bermutu, meski hanya sekilas informasi yang diberikan oleh penulisnya.

Dengan cerdik, kedua sejarawan berupaya menelaah isi buku dengan ilmu yang mereka peroleh di bangku jurusan sejarah UGM. Mereka searah, sama-sama berkutat dengan peristiwa dan karena itu juga dengan sumber, waktu, tempat, lingkungan, keadaan, serta efek dan interpretasi. Kesamaan lain yang tak terlihat adalah mereka mewarisii sikap keilmuwan sang guru, yaitu Sartono dengan asketis intelektualnya. Meski tubuh rapuh akibat sakit tahunan atau karena umur yang tidak lagi muda, namun semangat untuk berkarya masih terpelihara. Itulah teladan yang sangat sulit dicari bandingannya.

Jawapos, Minggu 16 Maret 2008

Tidak ada komentar: