Rabu, 26 Maret 2008

Selamat Jalan Sejarawan "Ratu Adil"

Oleh: Heri Priyatmoko


Hidup seorang akademisi jangan seperti pohon pisang. Hanya sekali berbuah, setelah itu mati”, begitulah pesannya. Ada perasaan trenyuh ketika melihat semangat dan produktifitas beliau walau usia senja, tubuh tak bisa lepas dari kursi roda dan membaca harus dibantu kaca pembesar. Apa yang ingin diperlihatkan adalah kerja tanpa henti.

Prof Dr A Sartono Kartodirdjo, Guru Besar Emeritus Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta meninggal dunia Jum'at dini hari, 7 Desember 2007, dalam usia 86 tahun. Almarhum sempat dirawat di RS Panti Rapih Yogyakarta selama lebih kurang satu bulan. Beliau sakit geriatri atau mengalami proses penuaan yang ditandai dengan gejala penurunan metabolisme tubuh, penurunan fungsi pernafasan. Kepergian sejarawan "Ratu Adil" untuk selama-lamanya ini, meninggalkan seorang istri Sri Kadaryati (80), dan dua orang anak Nimpuno (57) dan Roswita (53) serta tiga orang cucu.

Apa yang mendorong Prof. Sartono memilih masuk jurusan sejarah? Suatu hari dalam usianya yang belum genap satu tahun, Sartono dibawa orang tuanya mengunjungi Candi Prambanan. Di sana, Sartono sekeluarga berfoto. Dalam foto terlihat, bayi Sartono digendong ayahnya, Tjitro Sarodjo seorang pegawai pos pada zaman penjajahan Belanda, yang dihimpit ibunya, Sutiya serta dua kakak perempuannya. Seringnya bepergian ke tempat-tempat tersebut, Sartono mulai menginjak usia dewasa terbangunlah kecintaannya pada sejarah.

Ia mulai masuk sekolah, walau matanya mengidap yang mengaburkan penglihatannya. Selama bersekolah hingga lulus Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK -- sekolah guru) ia menonjol dalam mata pelajaran sejarah. Nilainya selalu sepuluh. Ia mengawali kariernya sebagai guru SD Salatiga, Jawa Tengah, 1941. Pecah Revolusi Kemerdekaan, Sartono menjadi Ketua Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia (AMKRI). Berkenalan dengan Sri Kadarjati, sesama guru yang mengungsi dari Semarang, ia lantas menikahinya di Yogyakarta, 1948. Selang dua tahun, ''pengantin revolusi'' ini hijrah ke Jakarta. Sambil mengajar di SMA, pada tahun 1950 pria yang dilahirkan tengah malam di Wonogiri 15 Februari 1921 ini, kuliah di Fakultas Sastra UI dan selesai tahun 1956. Tiga tahun setelah itu, Sartono menjadi dosen di UGM, dan di FKIP Bandung.

Ia fokus mendalami sejarah sebagai ilmu. Sepuluh tahun kemudian, 1966, ia meraih doktor di Universitas Amsterdam dengan disertasi, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia yang mengcounter para sejarawan konvensional. Pasalnya, selama itu ada kecenderungan tak bisa lepas dari hegemoni kaum kuat atau penguasa sehingga sejarah tak beda dari kumpulan biografi atau kisah penguasa. Sartono punya keyakinan wong cilik sekalipun bisa menentukan jalannya sejarah. Maka, petani atau orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi non-faktor, dalam karya Sartono menjadi aktor sejarah.

Anggapan bahwa petani adalah masyarakat yang tanpa sejarah, terpatahkan jua. Keberpihakannya kepada kaum tertindas boleh jadi terpengaruh sejarawan Perancis, Goubert yang tak mau berkonsentrasi pada kiprah Louis XIV, tetapi pada para petani yang hidup di bawah pemerintahannya. Yang memukau dan mengesankan, Sartono berhasil menulis disertasi itu tanpa rasa kemarahan atau rasa berat sebelah. Alhasil, sang promotor, Prof Wertheim angkat topi dan mengatakan karya ini berharga tidak hanya merekontruksi sejarah dalam perspektif ke-Indonesia-an (history within), tetapi terletak dalam memunculkan secara rinci peristiwa sejarah dengan bagus dan jelas, serta keluasan dan kedalaman dalam menempatkan sejarah pada ranah ilmu sosial secara umum. Di kemudian hari pun, disertasi Sartono itu menjadi buku babon historiografi Indonesia.

Berjarak Dengan Kekuasaan

Suatu hari ia ditelepon Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono yang memintanya untuk mengoreksi Buku Putih tentang Peristiwa 1965. Sartono menjawab, tugas sejarawan bukan menyusun buku putih. Namun yang menelepon tampaknya kurang paham dengan sindiran itu dan tetap mengirim petugas mengantar naskah buku itu ke rumah Sartono di Bulaksumur, Yogyakarta.

Sartono memang memberikan koreksi dan berbagai catatan metodologis. Catatan yang paling penting menurutnya "sejarah harus ditulis berdasar fakta". Kritik dan saran Sartono tidak digubris para penyusun buku putih, mereka hanya mau memakai nama Bapak Sejarah Indonesia tersebut demi kelancaran proyek. Ia tak mau mengekor penguasa atau ABS (Asal Bapak Senang). Bila bersedia, sejarah akan bias, tendesi kepentingan yang menyebabkan sejarah dibelokkan. Demi menjaga kekritisannya, ia mengambil jarak dengan kekuasaan dan memilih hidup asketis.

Mazhab Sartono

Siapapun tak bisa menyangkal kemampuan akademis Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Banyak karyanya yang menjadi bacaan wajib bagi peminat dan ahli sejarah. Bekas mahasiswanya sudah banyak yang menjadi ahli sejarah terkenal. Ada yang menyebutnya, Pak Sartono adalah lumbung ilmu para sejarawan. Darinya muncul nama-nama besar seperti mendiang Kuntowijoyo, dan Taufik Abdullah.

Sebab, beliau dalam mendidik murid mempunyai falsafah ”lebih baik menghasilkan seekor singa daripada seratus ekor kambing” yang selalu dipegang teguh. "Mazhab Sartono" telah hadir selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir dalam historiografi Indonesia, mekar bukan saja berkat karya-karyanya sendiri tetapi juga berkat penyuburan yang dilakukan puluhan sejarawan yang langsung dididiknya maupun yang secara tidak langsung mengenalnya namun terpengaruh olehnya.

Dedikasi dan kehidupannya sebagai sejarawan di negeri tercinta ini mengantarkan beliau dianugerahi penghargaan oleh Presiden RI, yaitu Bintang Mahaputera Utama pada tanggal 11 Agustus 1999 dan meraih penghargaan Achmad Bakrie 2005 bidang pemikiran sosial. Karena, sejarawan pengagum Arnold J. Toynbee itu telah merintis penulisan sejarah Indonesia yang ilmiah dengan mengajukan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu yang paling andal dalam studi sejarah. Sekali lagi, Sartono tidak saja berjasa dalam perkembangan historiografi Indonesia, tetapi juga memberi teladan dan inspirasi sosok pribadinya. Selamat jalan profesor, kami lanjutkan perjuanganmu!

Dimuat di Joglosemar 10 Desember 2007.

Tidak ada komentar: