Oleh; Heri Priyatmoko
Kota Solo pada tanggal 17 Februari 2008, genap berumur 263 tahun. Dalam rentang waktu sekian abad itu, ternyata ada pemimpin di Kota Bengawan yang mempunyai karakter serupa dalam membangun kota dan mampu melayani masyarakatnya.
Menurut Jim Laub (1999), servant leader (pemimpin yang melayani) mempunyai karakteristik antara lain: menghargai orang lain dengan mendengarkan dan mempercayainya, memberdayakan orang lain dengan keteladanan, membangun komunitas yang menghargai perbedaan, membangun autentisitas melalui integritas dan kepercayaaan, memberikan perspektif masa depan dan mengambil inisiatif, dan berbagi kepemimpinan untuk membentuk visi bersama.
Keenam karakteristik itu agak sesuai dengan model kepemimpinan Mangkunegara VII (1816-1944) dan Paku Buwono X (1893-1939). Pada hakekatnya, jabatan adalah sebuah tanggung jawab dan dari tanggung jawab ini dituntut agar setiap pemimpin berusaha memberikan yang terbaik kepada orang-orang yang dipimpinnya.
Apabila kita membuka blue print sejarah Kota Solo, akan diketahui bahwa cikal bakal masyarakat Solo merupakan campuran antara masyarakat agraris dan pedagang. Agraris karena daerah di sekitarnya merupakan wilayah pertanian, sedangkan perdagangan karena didukung oleh keberadaan Sungai Bengawan Solo yang menjadi jalur perdagangan (bandar Semanggi, Beton, Nusupan, dan Laweyan). Perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta tahun 1745, akhirnya mengubah Desa Sala menjadi kotaraja. Sejak itu, kehidupan masyarakat Solo sarat dengan dinamika sosial-budaya dan keterbukaan jalur antardaerah Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten). Lambat laun, Solo menjadi kota yang ramai. Pada masa Mangkunegara VII dan Paku Buwono X, pembangunan kota mencapai puncaknya. Kedua raja ini saling berlomba-lomba menyulap wilayahnya demi terpenuhi kebutuhan rakyat.
Dalam bidang olahraga, MN VII membangun lapangan Manahan yang amat luas untuk pacuan kuda dan kolam renang rakyat di Balekambang. Tidak mau ketinggalan, PB X membangun kolam renang di Tirtomoyo Jebres dan Stadion Sriwedari yang merupakan stadion pertama di Indonesia. Di sinilah lahir perkumpulan sepak bola Voetbal Bond Solo (embrio Persis).
Memiliki ruang terbuka untuk taman kota adalah dambaan tiap warga. Kota yang hijau, bersih dan tertata rapi memberikan kenyamanan bagi warganya dalam melaksanakan aktivitas. Masyarakat Mangkunegaran sangat terhibur dengan public space Partini Tuin (Balekambang), Taman Tirtonadi dan Villa Park (Banjarsari). Kemudian, PB X menghabiskan ribuan gulden membangun Kebon Rojo (Taman Sriwedari) yang dilengkapi dengan rekreasi pustaka dan zoologi. Lampu sokle menyala setiap malam selikuran untuk mengudang masyarakat datang ke Sriwedari.
Untuk mencegah banjir, MN VII membuat resapan air dengan menanam ratusan pohon di Balekambang dan mengoptimalkan drainase kota. Sedangkan PB X bekerjasama dengan pemerintah Belanda membangun tanggul untuk mengepung seluruh kota dan juga membuat pintu air di Demangan, agar air Bengawan Solo tidak masuk ke kota. Dua raja tersebut tidak henti-hentinya mendengarkan keinginan rakyat. Di hal pendidikan, MN VII mendirikan HIS Siswo dan sekolah dalang Pasinaon Dalang serta pendidikan lanjutan untuk anak perempuan Van Deventer School.
Selanjutnya, PB X mendirikan HIS Pamardi Putri, Kasatriyan dan sekolah agama “Mambaul’ Ulum”. Guna memfasilitasi kebutuhan rohani, MN VI membangun Masjid Al Wustho dan PB X membangun Masjid Agung. Sangat serius raja-raja ini memikirkan kondisi kesehatan rakyat. Buktinya, Kasunanan mendirikan rumah sakit “Panti Raga” di Kadipala, sedangkan Mangkunegaran membangun klitik “Yatna Nirmala” di sebelah barat keraton.
Sarana perdagangan rakyat untuk menunjang perekonomian kota, juga disentuh. Pasar Pon dan Pasar Legi direnovasi menjadi pasar modern oleh MN VII. Pasar Gede adalah peninggalan PB X yang dibangun atas bantuan arsitek Thomas Karsten tahun 1930. Kedisiplinan warga dalam bekerja dibantu dengan dipasangnya jam di depan Pasar Gede. Waktu itu, pasar merupakan simbol multikultural. Pasalnya, berbagai etnis di Solo (Jawa, China, Arab, dan Eropa) berbaur di pasar. Fasilitas umum seperti listrik, air ledeng dan sarana transportsi turut dibangun saat dua raja ini berkuasa. Tak pelak, rakyat Solo hormat sekaligus bangga pada penguasa.
Sejarah berulang?
Bagaimana dengan kepemimpinan Walikota Jokowi sekarang ini? Agaknya sejarah berulang, model kepemimpinan Jokowi mirip dengan MN VII dan PB X. Banyak hal di jaman dulu yang hampir sama ditemukan di era sekarang. Pembangunan kota dilakukan demi terpenuhinya kepuasan rakyat dan merasa nyaman. Jujur, Jokowi yang telah memimpin Solo selama 3 tahun ini banyak masyarakat yang angkat topi. Ini bukan pujian belaka, tapi penilaian obyektif dari pencapaian-pencapaian yang ia lakukan.
Pembangunan permukiman dan kawasan bisnis baru, berakibat langsung terhadap semakin sempitnya ruang terbuka hijau di kawasan Solo. Langsung saja Jokowi beserta jajarannya tanggap, dengan memindahkan PKL dari area public space Banjarsari, revitalisasi Balekambang dan Taman Sriwedari. Semua ini dilakukan mengingat masyarakat sangat butuh ruang rekreasi dan ekspresi. Lalu, pembangunan City Walk sepanjang jalan Slamet Riyadi sebagai wahana srawung warga.
Alhasil, Pemkot Solo pun menyabet penghargaan terbaik kedua untuk penataan ruang kota besar dari Departemen Pekerjaan Umum (PU), sementara terbaik pertama di raih oleh Kota Padang. Di bidang ekonomi, Jokowi cukup peduli dengan revitalisasi pasar tradisional agar tidak tergerus oleh mal dan supermarket. Roh dari pasar tradisional adalah adanya interaksi sosial dalam bentuk tawar-menawar. Karena itu, di sinilah terjadi kerukunan antaretnis dan warga kota tercipta. Dunia kesenian juga diperhatikan. Misalnya, revitalisasi Wayang Wong Sriwedari dan Balekambang, menetapkan Solo sebagai Kota Keroncong, serta Solo bakal mempunyai dewan kesenian untuk mewadahi dan memfasilitasi kesenian di Solo.
Generasi pendahulu, seperti MN VII dan PB X telah meninggalkan karya dengan muatan sejarah budaya lokal dalam membangun kotanya. Warisan ini perlu dilindungi, dirawat, serta dimanfaatkan, selain juga menjadi sebuah contoh hasil karya masa lalu yang membanggakan. Maka, Jokowi memimpin dengan semangat Solo’s past is Solo’s future, sangatlah tepat.
Memang dibutuhkan kearifan dari pemimpin di Solo, untuk memahami progres semacam apa yang akan ditorehkan di saat ia memimpin Solo agar menyejarah di masa datang. Kenapa Pak Jokowi dikatakan bisa mirip MN VII dan PB X ? Dalam bekerja, beliau tidak mutung karena bingung dan mandeg karena judeg. Ia membangun kota atas dasar suara rakyat, keinginan publik. Dan, itulah yang disebut pemimpin melayani masyarakat. Terima kasih Pak Jokowi. Dirgahayu Kota Solo
Dimuat di Joglosemar, 18 Februari 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar