Rabu, 23 April 2008

QUO VADIS TAMAN BUDAYA JAWA TENGAH


Oleh. Yunanto Sutyastomo

Taman Budaya Jawa Tengah tak terbantahkan lagi ikut berperan dalam dinamika kesenian selama ini. Banyak peristiwa dan kegiatan di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) yang memiliki pengaruh pada perkembangan seni. Menilik kembali lahirnya Taman Budaya Jawa Tengah berawal dari berdirinya Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) di Sasono Mulyo yang dirintis oleh Gendon Humardani. Lalu berpindah tempat di Kentingan dan berubah nama menjadi Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT).

Kepindahan dari Sasono Mulyo ke Kentingan sekaligus menandai perpindahan estafet kepemimpinan dari Gendon Humardani kepada Murtidjono. Di bawah kepemimpinan Murtidjono selama kurang lebih dua dekade inilah kiprah TBJT mendapat sorotan dari masyarakat. Dengan mengakomodasi banyak kepentingan dari berbagai bentuk kesenian, seolah TBJT menjadi tempat para seniman untuk berproses. Dua dekade kepemimpinan juga melahirkan kondisi yang bersifat patronase dan ketergantungan. Tidak bisa dipungkiri bahwa TBJT seringkali melawan arus kebijakan penguasa, tapi kadang kala juga dengan kekuatan otoritasnya TBJT menjadi penguasa kesenian.

Dua hal yang menggambarkan hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa Sastra Kontekstual dan pencekalan penyair Wiji Tukul. Sastra Kontekstual merupakan sebuah kritik terhadap mandulnya kesusastraan Indonesia. Sastra Kontekstual muncul pada diskusi sastra di TBJT tahun 1984. Kehadiran Wiji Tukul dalam kesusastraan Indonesia tidak lama setelah perdebatan Sastra Kontekstual. Puisi-puisi Wiji Tukul yang kritis membuat penguasa menjadi gerah. Maka ruang-ruang yang bisa dipakai untuk kemunculan Wiji Tukul sering kali menolak kehadirannya. TBJT yang seharusnya menjadi milik semua elemen masyarakat, ternyata tidak berlaku bagi Wiji Tukul.

Saat ini TBJT menghadapi beberapa persoalan yang mendasar untuk perkembangan ke depan. Yang pertama adalah otoritas kesenian yang kini tidak tunggal adanya. Kalau dulu kita berbicara tentang kesenian merujuk pada keberadaan TBJT, saat ini hal tersebut tidak berlaku lagi. Banyaknya kegiatan kesenian dan kelompok seni diberbagai tempat menjadi bukti bahwa peran TBJT tidak lagi sekuat dulu. Tanpa melalui TBJT para pelaku seni bisa mengaktualisasikan karya mereka dan berproses lebih jauh. Selain karena suasana kebebasan saat ini, keberadaan kelompok seni tidak lepas dari kualitas pengelolaan TBJT.

Fungsi TBJT hanya berjalan pada peran fasilitator semata. Sementara peran lain yang teramat penting yaitu sebagai dinamisator tidak terlihat sama sekali. Ide atau gagasan serta kuantitas peristiwa lebih banyak karena peran orang-orang diluar TBJT. Hanya fungsi fasilitator saja yang berjalan disebabkan pengelolaan TBJT diserahkan kepada birokrasi pemerintah. Di tangan birokrasi pemerintah TBJT tidak lagi menjadi pusat gagasan kesenian, kegiatan yang berlangsung tak lebih untuk menghabiskan dana anggaran. Akibat lebih lanjut dari hal tersebut adalah berkurangnya fungsi TBJT sebagai ruang publik. Ruang publik disini tidak semata dilihat dari fisik, tetapi lebih dari itu. Ruang publik yang dimaksud adalah perdebatan tentang segala hal mengenai kebudayaan. Dan ini tidak pernah lagi muncul dari TBJT. Lalu apa yang harus dilakukan TBJT agar berfungsi sebagai ruang public ?

Memaksimalkan TBJT sebagai ruang publik haruslah dimulai dari pemetaan kegiatan yang akan dilakukan. Selama ini kegiatan yang berlangsung di TBJT hanya sebatas pementasan belaka. Tradisi diskusi atau melakukan berbagai kajian tentang kebudayaan belum menjadi tradisi. Maka perubahan pada internal pengelolaan sangatlah penting. Dari sumber daya manusia yang ada saat ini sungguh tidak mungkin keinginan tersebut dapat terlaksana. Kebiasaan pengelola sebagai pegawai pemerintah yang sekedar menjalankan tugas dan memfasilitas kegiatan harus berubah. Perubahan paradigma berpikir bahwa TBJT adalah lembaga yang memiliki gagasan atau ide harus mulai tertanam pada pengelola. Percuma saja kalau TBJT dengan sumber daya manusia dan sumber dana yang berlimpah hanya melakukan kegiatan rutin. Persoalannya di TBJT semakin kompleks dengan kepemimpinan selama ini. Sifat patron yang dianut menjadikan regenerasi kepemimpinan terasa tersendat atau bisa dibilang stagnan. Selama dua puluh tahun terakhir tidak ada penggantian Kepala TBJT, sepanjang kurun waktu tersebut bisa dibayangkan apakah profesionalitas dan keberlanjutan pengelolaan dapat dipertanggungjawabkan ?

Hal yang harus dibayar adalah citra TBJT yang semakin redup diantara kemunculan komunitas-komunitas budaya. Pengelola harus mengawalinya dengan profesionalitas kerja mereka. Bahwa mereka harus sadar dirinya bukan birokrat pemerintah semata, tetapi juga konseptor seni. Ini perlu ditanamkan dalam-dalam di jajaran pengelola TBJT.

Hal berikut yang juga perlu menjadi kajian pengembanngan TBJT adalah ruang lingkup kegiatan. Selama ini ruang lingkup kegiatan TBJT terbatas hanya di kota Solo dan sekitarnya. Padahal dari namanya saja yang tertera Jawa Tengah, maka sudah seharusnya TBJT melibatkan semua pelaku seni di Jawa Tengah.

Bertambahnya ruang lingkup ini juga harus disertai dengan kerja lain yaitu pentingnya pendataan atau pedokumentasian komunitas seni. Pendokumentasian komunitas seni ini sangat penting , karena akan memudahkan melihat perkembangan kesenian di tingkat Jawa Tengah. Tentu saja dalam perjalanannya nanti bisa dipastikan ada pasang surut pertumbuhan komunitas seni, tetapi justru untuk itulah pedokumentasian diperlukan. Selama ini kita kurang tahu sebab-sebab mati dan tumbuhnya komunitas seni. Terutama hal ini dibutuhkan untuk seni-seni tradisi.

Yang menjadi kendala lain adalah kelembagaan TBJT yang secara structural pemerintahn berada dalam wewenang Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Kewenangan yang berpindah dari pemerintah pusat kepada propinsi dikarenakan adanya otonomi daerah. Perpindahan ini mengakibatkan bertambahnya anggaran yang keluar dari pemerintah propinsi. Persoalannya adalah TBJT sama sekali tidak mampu membiayai sendiri, dan dianggap membebani anggaran. Sampai kemudian muncul isu bahwa TBJT akan berubah menjadi lembaga yang profit. Ini adalah bukti bahwa Negara belum mampu menyediakan ruang public bagi perkembangan kebudayaan. Maka cita-cita dan masa depan TBJT masih menjadi tanda Tanya besar bagi kita.

Tidak ada komentar: