Kamis, 06 Maret 2008

PK Ojong dan Asimilasi Keturunan Tionghoa


Oleh: Haris Firdaus

Pada 24 Maret 1960, PK Ojong, Ong Hok Ham, dan delapan cendekiawan etnis Tionghoa lain di Indonesia menandatangani Piagam Asimilasi. Dalam piagam itu, disebutkan bahwa kesepuluh penandatangan piagam bertekad menjadi “orang Indonesia yang murni dan patriotik” sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, Oktober 1928.

Bagi PK Ojong dan para penandatangan Piagam Asimilasi lainnya, proses asimilasi keturunan Tionghoa harus diartikan sebagai proses peleburan mereka ke dalam penduduk Indonesia sehingga tidak ada lagi istilah “minoritas Tionghoa”. Ketika sebuah peleburan telah terjadi, sebutan “minoritas” dan “mayoritas” memang tidak lagi relevan sebab saat itu yang ada hanyalah “kesatuan sebuah bangsa”.

Kalau kita menganggap bangsa sebagai sebuah “komunitas terbayang”—seperti dikatakan Bennedict Anderson (2001: 8)—maka ikhtiar Ojong untuk mendukung asimilasi sebenarnya mengandung seruan agar warga Tionghoa di Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari “bangsa Indonesia”. Meski secara fisik dan garis lahir mereka memiliki perbedaan yang signifikan dengan masyarakat pribumi, tapi perbedaan itu mesti dikalahkan oleh perasaan solidaritas sebagai satu bangsa. Di sisi lain, Ojong juga berharap agar masyarakat pribumi menerima kehadiran warga Tionghoa di Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka.

Seruan Ojong agar asimilasi dilakukan sebenarnya sangat relevan sebab bila kita melihat sejarah, pembentukan bangsa Indonesia memang tidak berdasar pada kesamaan fisik atau budaya tapi lebih pada “imajinasi” akan adanya ikatan yang menghubungkan penduduk dari budaya yang berbeda. Maka, perbedaan yang ada dalam hal fisik dan kebudayaan pada hakekatnya bukanlah penghalang terintegrasinya sebuah etnis dengan etnis lainnya.

Kesenjangan antara masyarakat Tionghoa dengan warga pribumi Indonesia sebenarnya berawal dari segregasi yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Belanda saat menjajah Indonesia memberlakukan pembagian kelas sosial dalam masyarakat dengan menempatkan warga Belanda dan Eropa pada kelas paling atas, warga asing lain seperti Tionghoa dan Arab di lapisan menengah, dan warga bumiputra di level paling bawah (Chrsitanty; 1994: 21-22). Stratifikasi yang berdasar pada tujuan politis inilah yang kemudian membuat sebuah kesenjangan muncul antara warga Tionghoa dengan masyarakat pribumi.

Ketika Indonesia merdeka, warisan sejarah yang demikian masih dikenang dan karenanya identifikasi warga keturunan Tionghoa sebagai “yang lain” tetap saja muncul. Pada tahun 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, konflik antara warga Tionghoa dan pribumi terjadi di Tangerang dan Kebumen. Saat itu, konflik menjadi sangat serius dan bahkan menimbulkan korban. Konflik itu meletus karena masyarakat pribumi menganggap warga Tionghoa bersikap netral terhadap kolonialisme Belanda dan perjuangan nasionalisme Indonesia. Kenetralan itu pula yang membuat Pemerintah Indonesia waktu menyerukan agar warga Tionghoa menunjukkan sikap mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Konflik dan kesenjangan antara warga Tionghoa dengan masyarakat asli Indonesia itulah yang kemudian mendorong Ojong menggagas asimilasi sesuai pemikiran dia. Berbeda dengan beberapa tokoh asimilasi lain saat itu, Ojong—dan juga Ong Hok Ham—berpendapat bahwa hambatan terbesar dari proses asimilasi justru terletak pada lemahnya orientasi keindonesiaan dari warga Tionghoa sendiri. Oleh karena itu, menurutnya, warga keturunan Tionghoa harus memperkuat orientasi keindonesiaannya agar bisa mencapai asimilasi yang meliputi aspek biologis, ekonomis, politis, sosial, dan kultural.

Pergaulan Ojong yang luas dengan banyak tokoh nasional Indonesia—seperti Mohammad Hatta, Soedjatmoko, Bahrum Rangkuti, dan lain-lain—membuatnya menyadari bahwa keindonesiaan adalah hal mutlak yang mesti dimiliki warga Tionghoa bila ingin melakukan asimilasi. Pengalaman konflik tahun 1946 menunjukkan bahwa sikap setengah-setengah terhadap keindonesiaan bisa dicurigai sebagai sikap yang memihak musuh.

Dalam hal asimilasi inilah Ojong agak berbeda dengan guru dan idolanya, Khoe Wan Shoe, pendiri dan pengelola Surat Kabar Keng Po dan Mingguan Star Weekly. (Parera; 1985: 80). Kalau Khoe Wan Shoe adalah cendekiawan Tionghoa yang kadang masih melihat warga Indonesia asli sebagai “ancaman”—terutama dalam masalah ekonomi atau mata pencaharian—Ojong sudah sepenuhnya percaya bahwa warga pribumi adalah teman sekaligus saudara yang tak perlu ditakuti.

Meski saat kecil Ojong bersekolah di Holandsch-Chineesche School yang merupakan sekolah khusus anak Tionghoa, ia tidak tumbuh menjadi pribadi yang berpikiran sempit. Bahkan ketika kemudian dia menyadari pentingnya asimilasi, Ojong mengritik sistem persekolahan masa kecilnya itu karena sistem seperti itu hanya akan menghalangi interaksi antara etnis Tionghoa dan warga pribumi dan memperkecil peluang terciptanya asimilasi.

Ojong yang meninggal pada 31 Mei 1980 merupakan salah satu tokoh Tionghoa yang tidak hanya menyebarluaskan gagasan tentang asimilasi, tapi sekaligus langsung mempraktekkan gagasan tersebut tatkala mengelola beberapa perusahaan media massa. Sebagai wartawan, Ojong juga menyadari bahwa ia harus mendorong integrasi sosial dan menolak konsep segregasi nasional seperti yang diparaktekkan pemerintah kolonial. (Sularto; 2007: 7). Oleh sebab itu, selain usaha kultural dari masyarakat, menurut Ojong, pemerintah juga harus langsung turun tangan secara struktural dalam mendorong terjadinya proses asimilasi.

(Dimuat di Kompas Jawa Tengah, 3 Maret 2008)

Tidak ada komentar: