Rabu, 26 Maret 2008

Humanisme Karsten Pada Kota Solo

Oleh: Heri Priyatmoko


Sejarah sebuah kota tidak hanya bisa ditelusuri dari perjuangan masyarakatnya. Selain melalui kondisi geologi, masih banyak saksi bisu lainnya yang bisa menceritakan perjalanan masa lalu sebuah kota, terutama ketika kota tersebut memasuki masa jaya, yaitu masa pembangunan. Di setiap kota-kota di Indonesia, pada jaman kolonial Belanda, pasti mempunyai tokoh dari kaum Eropa yang dinobatkan sebagai tokoh kunci dalam perkembangan kota itu sendiri. Contoh, ide brilian Simon Stevin diresapi Jan Pietersz Coen dalam mendirikan Kota Batavia tahun 1619.

Lalu, H.T Tillema berhasil membumikan betapa pentingnya higiene dalam pembangunan kampung dan pembangunan sistem pembuangan air di Semarang tahun 1900-an. Kemudian, kehadiran arsitektur hibrid yang menjadi bukti perpaduan budaya Barat dan vernakular di Bandung, tidak lepas atas jasa Ed Cuypers, PAJ Moojen, dan Henri Maclaine Pont. Sedikit penasaran, apakah Kota Solo juga mempunyai “sutradara” pembangunan kota dari golongan Eropa?

Boleh dikata, sejak awal posisi golongan Eropa di Solo tidak menyenangkan dalam hubungan mereka dengan masyarakat dan pemerintah (kerajaan). Ini yang jelas terjadi dalam periode awal kolonial masuk. Sebut saja, interaksi warga kota sangat dibatasi serta diawasi. Betapa tidak, pembangunan Benteng Vastenburg disengaja untuk mengontrol keamanan kota dari pemberontakan. Warga tidak leluasa keluyuran malam, petugas yang berdiri di atas pos benteng, memukul lonceng sebagai jam malam (De Graff, 2002).

Jurang stratifikasi sosial semakin kentara setelah peraturan permukiman penduduk berdasarkan etnis (wijkstelsel) dijalankan. Bahkan, hal administrasi kerajaan pun tak luput dari monitoring. Misalnya, undangan perkawinan dari Keraton Kasultanan Yogyakarta untuk Paku Buwono X (1839-1939) harus melewati Residen terlebih dahulu (Kuntowijoyo, 2004).

Lain dengan seorang Ir. Thomas Karsten (1884-1945). Meski keturunan Belanda, namun dia laksana orang pribumi (inlander). Dia cukup piawai memadukan unsur Barat dan Jawa dalam menyolek pembangunan fasilitas perkotaan. Keinginannya, dalam setiap membangun suatu bangunan harus ada keserasian dan kenyamanan antara pengguna, lingkungan sekitar dan indera mata manakala memandang. Kesewenang-wenangan arsitektur ia tanggalkan, yang mana kebanyakan arsitek Belanda sekedar ingin memindahkan gaya arsitektur Belanda ke tanah jajahan.

Pada riwayatnya, Karsten merupakan alumni Technisce Hoogesschool di Deff tahun 1914. Bubar lulus, Karsten hengkang dari Belanda menuju Indonesia atas undangan Maclaine Pont untuk bekerja pada biro pembangunan perumahan dan perencanaan kota. Ia melanglang buana, dari kota ke kota. Kota Banjarmasin, Palembang, Semarang, Bogor, Malang, Purwokerta, dan Medan pernah dirias Karsten.

Karya Karsten

Sebagai sebuah daerah yang mulai berkembang jadi kota, Kota Bengawan mengalami penataan yang lebih komprehensif sejak tahun 1920-an. Dukungan dari penguasa lokal yaitu, Paku Buwono X dan Mangkunegara VII memudahkan Karsten untuk berajang kreasi. Nilai-nilai ke-Jawa-an diperoleh Karsten di Institut de Java. Di situ, kepeduliannya terhadap rakyat kecil terbangun. Di setiap rancangan, dia tidak pernah melupakan kepentingan wong cilik. Sungguh sesuatu yang jarang ditemui pada orang-orang Belanda pada waktu itu.

Pasar Gedhe Hardjanagara rakitan apik Karsten pada tahun 1929. Dari para pedagang, pembeli, buruh gendong hingga kaum difabel dapat merasakan kenyamanan Pasar Gedhe. Jalan masuk pasar yang ideal, dua jendela berbentuk pipih vertikal, dan rooster untuk lubang angin tambahan agar kesejukan ruang terpenuhi adalah menandakan Kasten sangat tanggap kebutuhan rakyat dengan kenyamanan pasar.

Bangunan eks. kantor DPU yang terletak di jalan Urip Sumaharjo di sebelah barat Pasar Gedhe adalah ciptaan Karsten. Ada persenyawaan antara bentuk peninggalan gaya Eropa yang terlihat dari dinding yang tebal, kolom-kolom yang besar, dan kemudian dibubuhi aroma khas arsitektur Jawa dengan bahan penutup atap terbuat dari sirap mirip joglo dan limasan. Arsitek berkepala pelontos ini, juga menaruh perhatian pada pembangunan di dalam wilayah keraton. Sebagai bukti, gapura Mangkunegaran di bagian luar dan dalam tidak lain karya Karsten. Pada gapura luar kesannya lebih ringan, sedangkan pada gapura utama bersambung dengan dinding halaman Pura Mangkunegaran. Di pendhapa Mangkunegaran ada hiasan menawan yang disebut Kumudawati, borehan Karsten.

Pavilium Gusti Nurul (Pracimayasa) lahir dari ide Karsten. Bangunan ini perpaduan unsur arsitektur Barat-Timur. Di tempat itu dijumpai meja makan dan sebuah kamar ganti mewah yang diperuntukan permaisuri raja. Agar tampak asri, Karsten menambahkan jendela pada ruang makan yang terbuat dari kaca dengan hiasan motif suasana tradisional. Selanjutnya, eks rumah dinas Residen Surakarta yang berada di ruang publik Villapark Banjasari. Ini dibangun ketika Karsten menjadi penasehat atau konsultan perencanaan Kota Solo.

Penyatuan lingkungan ruang terbuka dengan lingkungan Eropa kemudian menjadi tren. Itulah kecerdasan lain Karsten untuk menyertakan tata ruang dalam ranah sosial kemasyarakatan. Sehingga konsep garden city (kota kebun) yang dikembangkan di wilayah Solo bagian utara, bisa dinikmati para sinyo dan noni maupun rakyat di kala senggang. Tak hanya itu saja, arsitek yang dilahirkan pada 22 April 1884 di Amsterdam itu, juga berperan dalam pembangunan Stasiun KA Balapan, Lapangan Manahan dan Masjid Al Wustha di Mangkunergan.

Simbiosis

Selain Bandung dan Semarang, kota yang dipimpin Pak Jokowi ini sebenarnya termasuk salah satu kota di Indonesia yang beruntung karena masih memiliki salah satu saksi sejarah masa lalunya Karsten yang bisa dibaca lewat bangunan-bangunan tua dengan berbagai langgam arsitekturnya. Melalui salah satu kekayaan itu, setiap orang bisa menelusuri perjalanan sejarah kota dan masyarakat Solo yang begitu disayangi Karsten waktu itu.

Tidak berlebihan ia dipandang sebagai peletak dasar-dasar perencanaan kota "utopis" di Hindia Belanda. Beliau telah menolak pendekatan metode rasionalisasi perumahan gaya Eropa, yang disebutnya tidak akan berhasil diterapkan di Hindia jika tidak mampu berkompromi dengan tradisi budaya lokal. Dalam konteks menanggulangi segregasi sosial, Karsten memperkenalkan metode "simbiose", sebagaimana tercermin di Pasar Gedhe, Villapark, dan arena olahraga Manahan. Sayang, kalau bangunan-bangunan yang bisa menceritakan tentang sejarah kota, kebudayaan lokal dan kemuliaan Karsten pada suatu hari nanti diruntuhkan. Solo disebut kota yang tak pernah tidur. Begitu juga Karsten yang senantiasa terjaga lewat karyanya.

Pentingnya keberadaan warisan Karsten yang sarat humanisme ini, terletak pada kontribusi memorialnya dalam membentuk karakter lingkungan binaan di sekitarnya, namun bukan menuju pada romantisme belaka! Hal penting yang harus diperhatikan Pemkot jika ingin pelestariannya berhasil adalah (1) apa yang perlu dilestarikan? (2) mengapa ingin dilestarikan? (3) dan untuk siapa melakukan pelestarian? Kalau ketiga hal itu belum terjawab, jangan diharap pelestarian heritage di Kota Solo berhasil dengan baik.

Dimuat di Joglosemar 04 Maret 2008

Tidak ada komentar: