Minggu, 02 November 2008

Sumpah Pemuda: Catatak Kaki Sejarah

Oleh: Bandung Mawardi

Judul : Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Simbol
Kebangsaan Indonesia
Penulis : Keith Foulcher
Penerjemah : Daniel Situmorang dan Iskandar P. Nugraha
Penerbit : Komunitas Bambu (Jakarta)
Terbit : 2008
Tebal : xxxviii+114 Halaman

Sumpah Pemuda menjadi momentum untuk Indonesia pada tahun ini dengan acuan konteks sejarah dan kondisi perpolitikan mutakhir. Panggung politik Indonesia ramai dengan wacana dan gerakan dengan sekian dalil dan pamrih. Kaum muda hadir dalam wacana partai politik, parlemen, dan presiden. Inilah musim semi untuk kaum muda.
Partai politik membuka pintu dan menggoda kaum muda dengan menu-menu politik menggiurkan. Kaum muda pun masuk tanpa sungkan dan menempatkan diri dalam posisi sebagai pemikir, juru bicara, caleg, atau suporter. Wacana politik kaum muda itu merupakan sambungan dari fragmen-fragmen sejarah Indonesia pada awal abad XX. Politik kaum muda adalah perkara darurat pada hari ini.
* * *
Buku ini sengaja hadir sebagai peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda. Keith Foulcher menghadikran buku ini dengan sorotan politik bahasa dan kritik politisasi sejarah. Perjalanan panjang Sumpah Pemuda (1928-2008) selalu menunjukkan kontroversi atas politisasi dan ideologisasi dari penguasa. Keith Foucher mengungkapkan bahwa Sumpah Pemuda sampai hari ini masih menjadi momentum politis.
Keith Foulcher dalam pengantar mengungkapkan: ”Sumpah itu telah ditahbiskan sebagai upaya mendukung perjuangan masa kontemporer dan interest politik masa kini.” Sumpah Pemuda mengalami politisasi sejak masa kolonialisme, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Politisasi itu tampak dalam pamrih revolusi, integrasi, nasionalisme, atau pembangungan. Keith Foulcher membaca pamrih-pamrih politis itu dengan acuan perubahan teks dan implikasi dalam tafsir dan pemaknaan politik.
Buku ini memuat fragmen-fragmen sejarah politik Indonesia modern. Keith Foulcher menemukan ada kesengajaan atau kealpaan dalam menerima teks Sumpah Pemuda untuk kalimat urutan tiga. Teks Sumpah Pemuda 1928: “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” Teks itu kerap mengalami perubahan menjadi: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
Fakta perubahan itu mengantarkan Keith Foulcher masuk dalam teka-teki Sumpah Pemuda dengan konteks rezim politik dan implikasi politik bahasa terhadap pamrih penguasa. Kalimat ketiga dalam Sumpah Pamuda kentara menunjukkan spirit pluralitas tanpa ada represi politis untuk membuat bahasa Indonesia sebagai bahasa sentralistik. Konsensus itu mengacu pada pluralitas bahasa etnis dan kuasa bahasa Belanda pada kaum muda tahun 1920-an.
* * *
Referensi-referensi mumpuni dihadirkan untuk melakukan pembacaan dan penafsiran terhadap nasib Sumpah Pemuda. Keith Foulcher menemukan teks-teks pidato dan berita-berita koran pada tahun 1950-an memberi kontribusi penting dalam ulah perubahan teks Sumpah Pemuda. Perubahan kalimat itu mereprsentasikan tipologi kekuasaan dan lakon politik sesuai dengan desain penguasa secara sistemik dan ideologis.
Formula keliru “satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa” muncul sebagai alat ideologi oleh rezim Orde Lama untuk menumbuhkan kesadaram nasionalisme, revolusi, dan integrasi. Soekarno melakukan pengeramatan Sumpah Pemuda untuk membasmi separatisme dan gerakan-gerakan kontra-revolusi. Keith Foulcher memahami kisah itu sebagai strategi politik untuk membuat klaim Sumpah Pemuda sebagai simbol kunci secara historis dan empiris. Simbol itu dikonstruksi dengan otoritas kekuasaan untuk menjadi indoktrinasi dan alat kontrol politis.
Rezim Orde Lama cenderung memakai Sumpah Pemuda sebagai legitimasi untuk laku politik secara eksplisit. Politisasi itu memuncak pada tahun 1960-an dengan menjadikan Sumpah Pemuda sebagai simbol untuk kampanye-kampanye politis atas nama revolusi dan nasionalisme. Soekarno memang memiliki otoritas untuk memunculkan tafsir politik terhadap Sumpah Pemuda sesuai dengan perhitungan dalil dan pamrih. Soekarno menjadi sosok penting untuk cerita perubahan Sumpah Pemuda sebagai simbol politik.
Rezim Orde Baru turut melanggengkan formula “satu bangsa, satu tanh air, satu bahasa” dalam desain politik sistemik. Bahasa mulai menemukan pemaknaan politik dan ideologi mumpuni. Pemahaman kalimat ketiga Sumpah Pemuda menjadi acuan untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan politik bahasa dengan perangkat aturan, struktur, dan institusi. Bahasa Indonesia pun menjadi simbol politik oleh Orde Baru atas pamrih stabilitas politik dan pembangunan.
Imperatif dari penguasa Orde Baru melahirkan fenomena-fenomena politis dengan peringatan Sumpah Pemuda sebagai peringatan hitoris-politis dan kontekstualisasi misi-visi pembangunan. Soeharto dengan strutur birokrasi mumpuni membuat agenda-agenda strategis: publikasi buku-buku tentang Sumpah Pemuda, sakralisasi politis Sumpah Pemuda dalam ritual resmi, pemunculan Bulan Bahasa, atau intervensi dalam agenda Kongres Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia pada masa Orde Baru adalah perkara menentukan untuk otoritas penguasa dan realisasi penundukkan terhadap rakyat. Jargon-jargon bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa Indonesia untuk kesuksesan pembangunan, atau bahasa adalah simbol persatuan dan kesatuan menjadi indoktrinasi secara efektif dan efisien. Laku politik Orde Baru terhadap Sumpah Pemuda itu dipahami Keith Foulcher sebagai pelepasan simbol sejarah politik menuju politisasi sejarah dan kontekstualisasi politik pragmatis.
* * *
Keith Foulcher dengan kritis menilai Sumpah Pemuda adalah catatan kaki terhadap sejarah. Peran sebagai catatan kaki itu rentan dengan intervensi, manipulasi, atau distorsi. Rezim Orde Lama dan Orde Baru dengan genit dan sistemik melakukan politisasi Sumpah Pemuda untuk pencapaian pamrih kekuasaan. Intervensi penguasa jadi penentu penerimaan dan pemakluman perubahan teks Sumpah Pemuda.
Keith Foulcher curiga bahwa intervensi itu memusat pada pamrih politik dan tidak sekadar pelupaan atau kesalahan dalam ranah linguistik. Apakah Sumpah Pemuda sebagai simbol nasionalisme dalam alur sejarah Indonesia masih pantas (sekadar) menjadi catatan kaki terhadap sejarah?

Dimuat di Seputar Indonesia (2 November 2oo8)

1 komentar:

GG mengatakan...

Tak ada salah, orang tua juga perlu bersumpah.
Temukan di:
http://opiniorangbiasa.blogspot.com/2008/10/sumpah-orang-tua.html