Oleh: Bandung Mawardi
Pencerita seni rupa itu adalah Sindhunata. Pencerita mumpuni dengan sekian buku dalam konstruksi kata dan rupa. Kehadiran buku puisi dan novel menjadi kehadiran kompleks dari permainan tafsir dunia kata dan dunia rupa. Buku-buku Sindhunata adalah ruang untuk interaksi dalam titik temu dan perselingkuhan. Kata dan rupa mungkin untuk hadir bersamaan sebagai manunggaling kata dan rupa atau mungkin untuk berada dalam kamar berbeda secara otonom tapi bisa saling sapa. Buku-buku (novel dan puisi) Sindhunata mengandung pertanyaan dan jawaban atas kemungkinan-kemungkinan imajinasi transformatif dalam rupa dan kata.
Novel Semar Mencari Raga (1996) dengan eksplisit menunjukkan niat dan proses kreatif Sindhunata untuk melakukan transformasi imajinasi dari seni rupa menjadi konstruksi kata. Sindhunata dalam kata pengantar mengakui bahwa novel itu terilhami oleh lukisan-lukisan tentang Semar untuk suatu pameran di Gedung Bentara Budaya (Yogyakarta) pada tahun 1996. Pameran itu menghadirkan lukisan Agung Leak Kurniawan, Djoko Pekik, Eddie Hara, Hamura Hosea, Hari Budiono, Hari Wahyu, Hendro Suseno, Murtianto Antik, Nasirun, dan Suatmaji.
Rupa sebagai ilham memiliki sekian tafsir dalam rentetan imajinasi lalu menjadi suatu totalitas teks cerita. Sindhunata melakukan perjalanan imajinasi dari lukisan-lukisan itu untuk mengonstruksi unsur-unsur cerita dalam medium kata. Proses kreatif dengan mekanisme ini membutuhkan tafsir transformatif dalam tendensi afirmatif atau subversif. Novel Semar Mencari Raga membuktikan kelihaian Sindhunata untuk menciptakan ruang dialog rupa dan kata dalam fragmen-fragmen transformatif.
Lukisan-lukisan dengan tema dan karakter berbeda menemukan ruang imajinatif dalam peletakan di halaman-halaman novel. Tafsir transformatif dengan kata justru menghadirkan totalitas dalam percampuran atau konspirasi imajinasi kata dan rupa. Konstruksi kata dalam novel itu memang tampak mendominasi ketimbang peran lukisan. Dominasi itu tidak mematikan atau meminggirkan lukisan karena ada jejaring untuk membaca dan menikmati interaksi kata dan rupa dengan tatapan mata dan mobilitas imajinasi.
Novel Semar Mencari Raga seperti prolog dari pergulatan kata dan rupa Sindhunata. Pergulatan itu mengantarkan pada intensitas untuk garapan-garapan kolaboratif dalam proses kreatif dan mekanisme transformasi bentuk dan nilai. Sindhunata dengan novel Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram (2000) semakin memasuki ruang intim antara kata dan rupa. Keintiman itu mengarah pada sublimitas teks. Sindhunata dalam novel itu memakai lukisan-lukisan Djokopekik sebagai referensi penting. Sindhunata malah mengakui bahwa kehadiran novel itu mengacu pada sosok Djokopekik dan lukisan-lukisan celeng dari Djokopekik sebagai sumber inspirasi dan imajinasi.
Mobilitas imajinasi Sindhunata tampak lincah dan liar dalam mentransformasikan sekian referensi dalam konstruksi teks. Lukisan-lukisan Djokopekik memang hadir secara material pada halaman-halaman awal novel itu. Kehadiran imajinasi lukisan memang cukup dominan dalam novel dan mengalami interaksi dari referensi-referensi lain. Sindhunata dalam novel itu mengakui memiliki pelbagai referensi cerita dari Ki Timbul Prayitno, Bondan Nusantara, Suparma Suryaganda, dan Hari Budiono. Pola interaksi dalam novel itu semakin kompleks dan inklusif untuk permainan tafsir.
Ruang untuk lukisan dalam novel Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram (2000) kurang mendominasi halaman-halaman novel. Konstruksi novel itu seperti hendak menguatkan klaim sebagai teks (kata) dengan instrumen lukisan dan foto-lukisan dalam porsi kecil dan sedikit. Tafsir atas sosok Djokopekik dan lukisan-lukisan celeng menemukan transformasi menggemaskan karena Sindhunata melakukan mobilitas tematik: politik, mental, tingkah laku, kemunafikan, kekejaman, kejahatan, dendam, nafsu, dan naluri. Sindhunata dengan novel itu seperti mendedahkan risalah mitos dan filsafat dengan narasi liris dan kritis.
Pergulatan intensif Sindhunata sebagai pencerita seni rupa masih melaju kencang dalam ikhtiar mencari dan merumuskan eksperimen-eksperimen estetika. Penerbitan buku puisi Air Kata Kata (2003) membuktikan kapasitas imajinasi transformatif. Buku itu menjadi bukti ketekunan Sindhunata untuk olah imajinasi dengan kata dan rupa. Buku tebal itu memuat puisi-puisi Sindhunata dan lukisan-lukisan dari perupa-perupa ampuh: Djokopekik, Edi Sunaryo, Hari Budiono, Hermanu, Hendro Suseno, Ong Hari Wahyu, Agus Suwage, Nasirun, Arahmaiani, Sekar Jatiningrum, Ivan Sagita, Sigit Santosa, Yuswantoro Adi, Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya, Sulasno, Ismanto, Agus Suyitno, Alex Luthfi, Yamyuli Dwi Iman, Ugo Oentoro, Eko Nugroho, dan Bambang Toko.
Sindhunata dalam buku itu mengingatkan bahwa lukisan-lukisan dari para perupa itu jangan dipandang sebagai tafsiran, ilustrasi, atau pelengkap untuk puisi-puisi. Lukisan-lukisan itu bisa dinikmati lepas dari puisi. Sindhunata melabeli kemungkinan itu sebagai “karya rupa yang berkata-kata”. Label itu menunjukkan otonomi lukisan dalam buku kata-rupa untuk mobilitas imajinasi.
Kehadiran buku Air Kata Kata dalam khazanah sastra Indonesia modern memang fenomenal karena dualisme dan inklusifitas pelabelan sampai penafsiran. Sindhunata menjuluki buku itu sebagai “buku rupa yang berkata-kata”. Kehadiran rupa dan kata dalam buku itu memang memungkinkan tafsiran-tafsiran otonom tapi ekstase tafsir justru lahir dari pola relasional atau interaksi antara rupa dan kata. Pertemuan kekuatan imajinasi perupa dan penyair dalam konstruksi buku itu memang berada pola konvergensi dan divergensi imajinasi. Pengumpulan dan sebaran imajinasi terjadi sesuai dengan kehadiran bersama antara rupa dan kata.
Rupa dan kata untuk puisi “Kesedihan Putri Cina”, “Wajah Putri Cina”, “Kerinduan Putri Cina”, “Kalung Putri Cina”, “Kesendirian Putri Cina”, dan “Pualam Dingin Putri Cina” mengesankan keintiman imajinasi antara Sindhunata dengan perupa Putu Suta Wijaya. Pola relasional antara rupa dan kata berada dalam jarak dekat. Rupa-kata saling menguatkan sebagai sesama pusat tafsiran. Keintiman ini justru kurang memberi ruang untuk divergensi imajinasi. Sosok Putri Cina dalam kata masih memiliki selubung atau tabir imajinasi. Kondisi itu menjadi cenderung eksplisit dengan kehadiran rupa dalam sosok Putri Cina. Relasi ini menjadi representasi paradoks dalam otonomi antara rupa dan kata.
Transformasi imajinasi Sindhunata menemukan eksperimen lain dalam novel Putri Cina (2007). Sindhunata dalam novel itu melakukan eksplorasi tematik dan karakter tokoh dengan acuan (prototipe) dari sebuah katalog untuk Pameran Lukisan Putri Cina karya Hari Budiono pada tahun 1996. Sindhunata dalam proses penulisan novel itu melakukan interaksi intensif dan kreatif dengan Hari Budiono untuk eksplorasi dan transformasi imajinasi. Sindhunata dalam pengantar novel mengakui proses dialektis: “Kami (Sindhunata dan Hari Budiono) kerap berbincang-bincang. Dan dari perbincangan itu lahirlah antara lain lukisan-lukisannya yang bertema Putri Cina. Lukisan-lukisannya itu telah memberi banyak inspirasi bagi kisah dalam buku ini.”
Novel Putri Cina secara lahiriah menunjukkan fase kerenggangan kata dan rupa. Jejak keintiman lahiriah kata dan rupa sekadar hadir pada sampul buku. Sampul buku itu menghadirkan lukisan Hari Budiono dengan judul “Indonesia: Mei 1998”. Sindhunata dalam novel itu seolah menunjukkan intensitas dalam tendensi kerja kata meski dengan transformasi imajinasi dari percampuran seni rupa dan referensi-referensi lain. Novel dengan tebal 304 halaman itu bersih dari rupa sebagai ilustrasi secara otonom atau pola relasional. Halaman-halaman sesak dengan kata dan letupan-letupan imajinasi yang dalam prosentase tertentu mengacu pada rupa. Sindhunata dengan novel Putri Cina melakukan peluapan imajinasi dengan kata. Rupa secara lahiriah memang tidak ada tapi kehadiran jejak-jejak imajinasi dari rupa masih ada dalam novel itu. Begitu.
Dimuat di Suara Merdeka (23 November 2oo8)
Selasa, 25 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar