Oleh: Bandung Mawardi
Kata mengantarkan manusia untuk menciptakan, menemukan, menghancurkan, atau membunuh kota. Drijarkara (1956) mengingatkan bahwa kota itu kata dan ruang yang mengandung kengerian dan risiko. Kota sebagai kata memang memberi utopia dan janji indah tapi melenakan dan melengahkan. Kota sebagai ruang hidup adalah ruang kompetisi, konfrontasi, dan konflik. Kota dalam kisah dan deskripsi itu lahir dengan narasi kata dan kekuatan imajinasi. Kota itu hidup dan mati karena imajinasi dalam suatu konstruksi teks. Drijarkara menulis arti kota dengan referensi fakta kota-kota di Indonesia
Teks atau tulisan memiliki kekuatan imajinasi. James Joyce menuliskan cerita-cerita mumpuni dan impresionistis mengenai tokoh, kisah, peristiwa, dan suasana kota Dublin. Cerita-cerita James Joyce menggerakan pembaca melakukan ziarah imajinasi dengan semiotika melimpah mengenai kota. James Joyce dengan buku Dubliners mengisahkan fakta dan fiksi kota dengan fasih dan hidup. Dubliners adalah manifestasi kata dan kota mengacu pada pengisahan semiotik dan simbolis.
Kota dengan imajinasi-imajinasi memukau dikisahkan Italo Calvino dalam Invisible Cities. Kisah-kisah dalam teks itu menguraikan kenangan, keinginan, tanda, nama, dan sekian hal. Italo Calvino dengan imajinatif mengantarkan pembaca pada dialog sejarah dan konstruksi kota dalam metafor-metafor lirih, sendu, dan mencengangkan. Pengisahan kota menjadi manifestasi dari kekuatan kata dan keterbukaan ziarah imajinasi.
Kata mengantarkan imajinasi kota. Kata memiliki kemungkinan-kemungkinan dengan konstruksi metafor untuk membuka pintu ziarah imajinasi yang mencengangkan, menegangkan, dan menggairahkan. Metafor memainkan peran sebagai acuan konstruksi kota dalam tegangan fiksi dan fakta. James Joyce dengan fasih dan mumpuni membuktikan bahwa kata mengisahkan dan mengekalkan kota. Metafor menjadi sebuah kunci dalam konstruksi kota secara imajiner dan faktual.
Kata dan kota pun identik dengan sastra Indonesia modern. Sastra modern lahir di kota dan cenderung mengisahkan kota sebagai pusat. Jakob Sumardjo dalam sekian tulisan kerap mengulangi bahwa identitas sosiologis sastra Indonesia adalah kota. Teks-teks sastra lahir dengan ruh kota. Teks-teks itu menjadi acuan dari ziarah imajinasi yang memberi pengaruh pada proses transformasi sosial, ekonomi, politik, dan kultural di Indonesia. Kota-kota dalam teks-teks sastra Indonesia modern memainkan dominasi dengan kecenderungan-kecenderungan streotipe. Kota kerap dikisahkan dengan konstruksi teks dan metafor yang miskin dan klise.
Pilihan-pilihan metafor menjadi penentu kekuatan sebuah teks untuk mengantarkan pembaca dalam ziarah imajinasi. Metafor kota yang liris ada dalam puisi Goenawan Mohamad “Kepada Kota” (1963). Puisi itu dengan lembut mengisahkan kota dalam metafor-metafor liris. Kota sebagai pusat modernitas menemukan kisah lain dalam puisi Goenawan Mohamad. Mobilitas kota dan fakta-fakta besar mengenai kondisi kota menjadi luluh dan lamban. Goenawan Mohamad menulis kota dalam paradoks diam dan tegang: Hindarkan saat-saat senyap: udara mengertap / deru mobil dan huruf-huruf berlampu kerjap. Kota itu menjadi semiotika yang terbuka. Pengisahan itu menemukan konklusi dalam pilihan membaca dan menerima kota: Biarkan kita terjaga / Biarkan bumi semakin bergesa. Konklusi itu adalah siasat terhadap abad yang berlari dan dunia yang berlari.
Kisah (sejarah) kota-kota di Indonesia memang masih menyimpan curiga dan rahasia. Kota-kota itu menemukan bentuk kisah dalam teks sastra, catatan perjalanan, dan buku. Referensi–referensi mengenai kota-kota itu ada dalam kontruksi kata dengan pilihan sebagai fiksi, berita, catatan, atau studi ilmiah. Tome Pires menjadi sosok penting dalam pengisahan kota-kota itu dengan deskripsi dan imajinasi. Tome Pires dengan Summa Oriental adalah referensi mumpuni untuk ziarah imajinasi mengenai kota-kota di Indonesia pada abad XVI.
Kota-kota itu tumbuh dan kentara mengonstruksi diri menjadi kota modern sejak permulaan abad XX. Pertumbuhan kota-kota modern itu membawa nostalgia dan utopia dalam janji suci dan risiko. Kota mulai menjadi perkara merepotkan dalam kerja sastra. Teks-teks sastra hadir dalam dalil dan pamrih pengisahan kota dengan kritik dan afirmasi. Catatan pendek mengenai sastra Indonesia modern membuktikan bahwa ada kekakuan dalam menuliskan metafor dan ajakan untuk ziarah imajinasi yang menggelisahkan dan menggairahkan.
Kekakuan itu pecah dengan lirik-lirik kota yang dituliskan Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Rendra, dan Afrizal Malna. Metafor-metafor mutakhir menemukan ruh imajinasi dalam puisi-puisi Afrizal Malna yang kerap lahir dan bergerak dalam kota. Afrizal Malna biografis tumbuh dan hidup dengan kisah-kisah kota dalam tegangan modernitas. Afrizal Malna membaca dan menulis kota itu dalam puisi. Konstruksi kata dan imajinasi kota dengan tensi tinggi dan bau keras ada dalam puisi-puisi Afrizal Malna.
Afrizal Malna dalam puisi “Liburan Keluarga dan Pipa-Pipa Air” menulis: “Saudara, kota telah dibuat dari bangkai-bangkai sungai.” Metafor-metafor kota dari Afrizal Malna menjadi juru bicara pemikiran kritik modernitas. Kota sebagai pusat modernitas menjadi perkara karena kuman dan kematian sejak mula ada dalam kota. Kata dan kota dalam puisi Afrizal Malna memiliki jalan lain dari streotipe-sterotipe perpuisian Indonesia modern.
Afrizal Malna dengan metafor-metafor mengabarkan sebuah imperium semiotik yang memberi sekian kunci untuk pembaca memilih ziarah imajinasi melalui pintu depan, samping, bawah, atas, atau belakang. Biografi kota dari Afrizal Malna melahirkan impresi-impresi menegangkan dalam teks puisi. Biografi dalam migrasi mengantarkan Afrizal Malna untuk menuliskan sebuah kota dengan kenes dan ironi dalam puisi “Mikropon yang Pecah”: Kota kecil itu kini jadi kata tanpa penghuni …. Orang mengatakan bahasa jadi yatim piatu di kota kecil itu. Afrizal Malna menuliskan kota dengan ironi tentang kehadiran eksistensi, komunikasi, dan interaksi untuk laku hidup manusia. Puisi itu getir.
Ironi kota terus menemukan klimaks dalam pengucapan keras dan reflektif. Afrizal Malna dalam puisi “Bis Membawa Mereka Pergi” dengan fasih mengisahkan kota dengan kengerian dan kebuasan. Afrizal Malna menulis: Kota seperti etalase dihuni jam weker yang buas di situ. Kisah kota dalam klimaks lain dituliskan dalam puisi “Mitos-Mitos Kecemasan”: Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Kota menjadi ruang untuk tragedi dan tumbal modernitas. Ziarah imajinasi dalam puisi-puisi Afrizal Malna memberi kemungkinan pada pembaca melakukan negasi atau afirmasi karena kata-kata Afrizal Malna. Intensitas pengisahan kota masih bisa ditemukan dalam puisi-puisi akhir Afrizal Malna.
Imajinasi kota memberi kemungkinan kelahiran curiga dan membaca kota dengan miris atau kelaziman. Pertumbuhan kota-kota di Indonesia memang mengandung denotasi-denotasi mencengangkan. Kota ada dengan konstruksi besar dalam alur dan klimaks-klimaks kompleks dan semrawut. Kota dengan konotasi-konotasi tertentu mulai diabaikan dan dilupakan karena pragmatisme menata hidup dan kebebalan dalam membaca imperium semiotik kota.
Kota-kota terus mengalami perubahan dan kata terus mengucapkan kota dengan eksplisit atau implisit. Kata masih mungkin menjadi kunci ziarah imajinasi kota untuk luluh dan remuk dalam fakta atau realitas kota. Puisi masih patut menjadi tukang dongeng dengan metafor-metafor. Afrizal Malna dalam puisi “Pindah ke Kota Lain” menulis: lampu / merah dan tanda jalan tidak bisa menahan perubahan kota …. kami sibuk / mencari kota. tempat puisi membangun / atap bahasa. Ziarah imajinasi kata dan kota selalu belum selesai. Begitu.
Dimuat di Lampung Post (9 November 2oo8)
Rabu, 12 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar