Oleh: Bandung Mawardi
Revolusi teknologi sampai hari ini belum sampai babak akhir atau tanda titik. Kuasa teknologi justru tampak dalam keramaian dan kesibukan realitas virtual dengan label cyberspace. Realitas virtual menjadi kiblat baru untuk utopia massif dengan keajaiban-keajaiban. Utopia itu membuat umat teknologi lekas masuk dalam permainan risiko.
Cyberspace menebar sihir sejak tahun 1990-an dengan janji sorga dan kenikmatan tak selesai. Roger Fidler dalam Mediamorfosis (2003) menjelaskan bahwa realitas virtual melahirkan gagasan untuk pembentukan dunia dengan komunitas virtual sebagai sisi lain dari realitas hidup. Realitas virtual memberi kemungkinan-kemungkinan untuk pamrih meluaskan cakrawala dan pengalaman melalui teknologi-virtual sebagai pemenuhan pamrih di luar realitas hidup.
Cyberspace dalam pemahaman optimistik adalah realisasi otoritas dan kontrol individu terhadap arus informasi. Hak individu itu merepresentasikan publik melek-sadar-informasi dalam keterlibatan aktif dan selektif. Cyberspace dalam pandangan pesimistik adalah pemicu disintegrasi sosial dalam realitas hidup. Argumentasi pesimistik itu mengacu pada internet dengan memberi kemungkinan pada individu-pemakai untuk anarkis, sosiopatik, konspirasional, dan paranoid.
Cyberspace masuk ke pelbagai negeri sebagai demam dan gairah tak tertahankan. Revolusi teknologi pun menjadi parodi atau ketidaklumrahan ketika umat teknologi main sebagai konsumen dengan candu dan ekstase melampaui realitas hidup. Kritik-kritik atas realitas virtual kerap terabaikan oleh konspirasi global-massif dengan anutan: cyberspace adalah sorga hidup terjanjikan pada hari ini dan hari esok.
* * *
Janji manis dari revolusi teknologi atas nama cyberspace adalah ikhtiar komunikasi dan informasi dalam dunia global membutuhkan kunci dan sistem sentralistik. Internet menjadi juru bicara ampuh untuk pamrih mempersatukan dunia dengan arahan mengatasi realitas hidup hari ini. Janji itu sejak awal mengandung petaka (dosa) tapi tak tampak dan tak merisaukan umat teknologi.
Kesadaran kritis atas petaka itu didedahkan oleh Mark Slouka dalam War of teh Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality atau Ruang yang Hilang: Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan (1999) sebagai peringatan dini. Mark Slouka mengartikan cyberspace sebagai ruang simbolis untuk hunian umat manusia tidak dalam kehadiran fisik. Cyberspace adalah kehidupan tanpa batas karena ada mantra dan mekanisme melampaui fenomena dan fakta dalam realitas hidup. Kehadiran cyberspace patut mendapati curiga untuk menghindari hiperealitas tanpa jejak dan sejarah otentik manusia.
Mark Slouka curiga bahwa Cyberspace adalah tanda peringatan untuk sesal ketika manusia rapuh atau kehilangan identitas dan sisi spiritualitas karena permainan hasrat teknologi. Ritual hidup dengan komputer-internet cenderung mengajarkan reduksi atas refleksi atau kontemplasi. Teknologi justru mengantarkan manusia pada petualangan menggairahkan dalam fantasi-imajinasi, permainan, atau impian. Cyberspace menjadi madu dan racun untuk lakon hidup manusia modern.
Mark Slouka dengan kritik-satire mengingatkan bahwa cyberspace sebagai momok kekaburan definisi dan makna realitas, identitas, ruang, komunitas, dan solidaritas. Cyberspace adalah halusinatif atau permainan representasi semu. Pemahaman itu menjadi acuan untuk menilai laku pemakai teknologi ketika masuk dalam cyberspace dengan risiko memiliki jarak atau kehilangan realitas hidup. Cyberspace cenderung menganut aturan isolasi-realitas dan alienasi-realitas. Janji-janji melampaui realitas memang memberi kenikmatan tanpa batas tapi ada mekanisme kehilangan referensi-referensi otentik atas realitas hidup.
* * *
Revolusi teknologi memang kerap melahirkan ketakjuban dan ramai dengan keimanan mutakhir umat teknologi. Telepon, televisi, atau internet adalah revolusi teknologi dengan kisah-kisah menakjubkan untuk perubahan tatanan hidup manusia: kisah absurd tapi realis. Revolusi teknologi selalu meminta iman dengan ketundukan dan dominasi. Fakta itu membuat teknologi kerap menebar sakit dan risiko mengenaskan-melenakan.
Abad XX dan XXI adalah abad televisi, abad telepon, abad internet, abad virtual, abad teknologi-komunikasi, abad cyberspace. Umat teknologi tak henti dan birahi untuk mendapati revolusi hidup. Pamrih menikmati hidup indah dengan teknologi justru melupakan kompensasi dan sisi gelap revolusi teknologi. Yasraf Amir Piliang (2004) dengan kritis mengajukan peringatan bahwa integrasi, nasionalisme, atau solidaritas terus kehilangan realitas sosial dan lekas menjadi mitos karena revolusi teknologi global. Teknologi-teknologi mutakhir justru menjadi indikasi untuk tragedi akhir sosial.
Sebaran kuasa televisi, telepon, atau internet di pelosok negeri menjadi operasionalisasi utopia teknologi untuk memberi sorga dan kenikmatan hidup pada umat manusia. Fakta mutakhir mencengangkan adalah internet. Internet menjelma juru selamat atau penunjuk jalan untuk masuk dalam lakon masyarakat global: politik global, ekonomi global, budaya global, informasi global, atau gaya hidup global. Internet masuk dengan janji perubahan nasib dalam akses informasi dan komunikasi melalui sistem dan konstitusi sesuai imperatif-imperatif ideologi teknologi.
Internet pada hari ini merupakan ritual mumpuni dalam merayakan cyberspace. Internet adalah kisah dengan ketakjuban dan kelenaan. Internet pun menjadi jawaban untuk perkara chatting sampai lakon politik. Internet menggairahkan karena kerap memberi kemudahan dan keajaiban. Internet menggelisahkan karena kesamaran batas akhir kenikmatan atau kontrol otonomi dalam kondisi kecanduan.
Kerepotan dan kemudahan hidup mulai tak karuan untuk batas beda atau batas nilai. Rumah mulai menjadi panggung untuk keramaian lakon televisi, telepon, dan internet. Internet adalah lakon sugestif-imperatif untuk membuat umat teknologi tak usah meninggalkan rumah dalam mengurusi seribu satu perkara hidup. Internet ingin memanjakan manusia untuk terpinggirkan dari kesadaran ruang-waktu dan realitas hidup? Inikah janji sorga cyberspace? Revolusi teknologi komunikasi-informasi dalam konteks cyberspace mungkin mengantarkan manusia tidak dalam pencarian makna tapi pencairan makna secara sembrono.
* * *
Kemabukan diri ketika masuk cyberspace melalui internet menjadi kisah menggelisahkan. Laku mengakses informasi-komunikasi dengan internet memang kelumrahan tapi gairah untuk masuk dalam permainan-permainan manja bisa melahirkan tragedi-realitas. Kesibukan dengan internet membuka pintu untuk isolasi dan alienasi dari relitas hidup. Realitas representasi justru mengantarkan pemakai teknologi masuk dalam cerita bersambung tanpa ada epilog. Kisah itu fakta imperatif dari revolusi teknologi sebagai revolusi hidup.
Televisi, telepon, atau internet belum mati. Teknologi-teknologi itu justru terus melakukan metamorfosa mencapai kesempurnaan untuk memberi manusia janji seribu sorga. Realitas hidup selalu mendapati godaan-godaan melenakan atas nama tatanan hidup mutakhir. Cyberspace mulai jadi kiblat hidup dengan ketakjuban dan keajaiban. Cyberspace telah mengantarkan manusia hadir dalam tegangan realitas-representasi-semu atau realitas hidup. Cyberspace pada hari ini adalah tanda tanya dan tanda seru untuk pamrih manusia menjadi manusia. Begitu.
Dimuat di Suara Merdeka (1o November 2oo8)
Rabu, 12 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Artikel anda di
http://teknologi-lainnya.infogue.com/teknologi_dan_cyberspace
promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema, game online & kamus untuk para netter Indonesia. Salam!
Posting Komentar