Selasa, 05 Agustus 2008

Konservasi Kantor BI Solo

Oleh Heri Priyatmoko

GEDUNG
Kantor Bank Indonesia (KBI) Solo mengalami penurunan kualitas. Bangunan yang terletak di selatan Balai Kota itu mengelupas pada bagian dindingnya akibat penyerapan air. Pemimpin KBI Solo, Dewi Setyowati, mengungkapkan rencananya untuk melakukan konservasi. Pemkot melalui Dinas Tata Kota menyambut baik rencana konservasi gedung KBI yang merupakan salah satu bangunan kebanggaan warga Solo.

Dua dekade silam, Solo sungguh kota yang malang. Ia adalah kota yang sebagian besar penduduknya tidak peduli dengan aset-aset sejarah dann segala keunikannya. Kalah oleh arus pembangunan yang cenderung melegalkan aksi vandalisme bangunan bersejarah.

Tidak sedikit artefak yang mestinya dilindungi, justru babak belur dan terpuruk akibat ulah tangan-tangan jahil. Bangunan yang sama-sama produk kolonial, yakni Benteng Vastenburg, berubah menjadi hamparan lapang dan tempat mengembala ternak. Hal ini terjadi sejak zaman Orde Baru. Barak-barak tentara di dalamnya pun musnah: rata dengan tanah! Benteng ini dibangun Baron van Imhoff pada tahun 1745.

Bekas permukiman Eropa di Loji Wetan mengalami kerusakan sekitar 70 persen. Gedung dansa sinyo dan noni Belanda, Societiet Harmony (di belakang benteng), disulap menjadi bank dan ruko. Sedangkan bekas kantor residen (kini Pendapa Balai Kota) tidak luput menjadi korban Agresi Militer I (1948). Sayangnya, bangunan tidak direnovasi kembali dalam wujud semula.
Perbedaan mencolok dapat diketahui dengan melihat foto Solo Tempo Doeloe di Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran.

De Javasche Bank

De Javasche Bank (DJB) atau cikal bakal BI merupakan saksi sejarah sosial ekonomi Kota Solo. Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda ini dicetuskan, mengingat kondisi keuangan di tanah jajahan dianggap memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank.

Pertama kali DJB dibangun di Batavia. Selanjutnya, DJB mulai membuka kantor cabang di luar Batavia, yaitu Semarang dan Surabaya. Presiden DJB, CFW Wiggers van Kerchem, lalu menyatakan pendirian Kantor Cabang Solo adalah suatu kebutuhan. Kondisi sosial ekonomi kota amat dinamis, berkat perdagangan lintas etnis.

Sejurus kemudian, dia mengirim telegram ke kantor pusat agar ide pendirian ini dimasukkan dalam agenda rapat direksi. Melalui prosedur rapat umum pemegang saham luar biasa, dengan Surat Keputusan No 15 tanggal 23 Oktober 1867, maka disetujuilah pendirian Kantor Cabang Solo dan diresmikan pada 25 Nopember 1867.

Ditinjau aspek sosio-kulturalnya, sejarawan lokal menelaah gedung DJB ini sebagai bentuk dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang secara tidak langsung berhasil menembus sistem tradisional raja Paku Buwono. Konsep urban dalam kerangka Eropa menabrak konsep Kuthorojo.

Bangunan yang bernuansa dikotomis antara lain Benteng Vastenburg versus Keraton Kasunanan, Masjid Agung dengan Gereja Gereformeerde, dan gedung DJB melawan Bandha Lumakso. Dalam dimensi kekuasaan politis, artefak kota ini bagian dari jejak konflik kepentingan ketika menginjak pertumbuhan kota yang heterogen.

Respon Positif

Vandalisme bangunan kuno yang terjadi di Kota Bengawan pada masa lampau ini mencerminkan betapa mandul kegiatan konservasi. Lemahnya penerapan aspek legal dan kurangnya pemahaman mengakibatkan banyak peninggalan sejarah menjadi bulan-bulanan investor. Maka, upaya konservasi KBI Solo oleh pemangku kepentingan perlu direspon positif, mengingat tingginya nilai historis yang terkandung dan seni bangunannya.

Bagaimanapun, sentimental budaya kolonial (bangunan atau seni) harus dihilangkan. Sebab, produk dari masa lalu bukan saja memori sejarah, melainkan untuk dijadikan pertimbangan bagi keunikan kota. Hakikat dan salah satu tujuan penting konservasi bangunan lama selain usaha melestarikan adalah untuk proses belajar menghargai dan pengembangan komunitas.

Di Solo, ada komunitas yang fokus mengkaji warisan sejarah. Misalnya Solo Heritage Community, Solo Heritage Society, Kabut Institut, dan Komunitas Pusaka Solo. Sebab itu, mereka mempunyai tanggung jawab kolektif mengawal kegiatan konservasi, sekaligus menginformasikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat betapa penting pelestarian heritage.

Dengan upaya ini, diharapkan memancing antusiasme masyarakat untuk peduli mengenal sejarah kotanya, dan ikut pula bertanggung jawab. Melalui penafsiran sejarah dan apresiasi kritis terhadap warisan budaya ini, semoga masyarakat kian tebal menghargai eksistensi heritage. Dengan napak tilas atau membuat historiografi bangunan bersejarah, maka proses apresiasi sedang berlangsung. Semoga saja demikian! (32)

1 komentar:

Danang Triratmoko, IAI mengatakan...

Ada bagusnya ditampilkan foto KBI solo kondisi saat ini & dulu kalau ada.