Jumat, 15 Agustus 2008

Perempuan, Filsafat, Falosentrisme

Oleh: Bandung Mawardi


Perempuan menjadi pokok dan tokoh yang kerap terlupakan atau terpinggirkan dalam ranah filsafat. Nasib itu ada karena sekian dalil dan pamrih dalam narasi besar dengan klaim bahwa otoritas filsafat itu laki-laki. Sejarah panjang filsafat menjadi sejarah kecil atau fragmen pinggiran untuk perempuan. Sejarah atau fragmen itu perlahan mengalami perubahan dalam keramaian pemikiran filsafat dan sosok filosof pada abad XX.

Jostein Gaarder menjadi sosok representatif mengenai kesadaran terhadap perempuan dalam filsafat. Pengarang novel mumpuni Shopie’s World (1991) itu memberi kontribusi penting dalam kesadaran historis dan empiris bahwa filsafat itu perempuan. Dominasi laki-laki dalam ranah filsafat adalah narasi besar yang membutuhkan interupsi dan kritik. Jostein Gaarder dengan novel filsafat Shopie’s World hendak mengembalikan filsafat pada babak awal atau prolog.

Kesadaran historis yang ingin diungkapkan Jostein Gaarder mengarah pada pemahaman kritis narasi besar filsafat Barat. Jostein Gaarder dengan novel itu mengembalikan kesadaran bahwa filsafat itu perempuan. Filsafat dalam bahasa Yunani adalah philosophia yakni cinta akan kebijaksanaan. Lorens Bagus (2000) dalam Kamus Filsafat mencantumkan penjelasan bahwa philos itu cinta, philia itu persahabatan atau tertarik pada, dan shopos itu kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, atau inteligensia. Shopos menjadi kunci penting untuk kesadaran historis dalam novel Jostein Gaarder dengan memilih tokoh perempuan sebagai pusat cerita: Shopie Amundsend. Tokoh itu menjadi representasi bahwa filsafat itu mengandung pengertian “perempuan”.

Jostein Gaarder (2004) mengingatkan bahwa shopos itu adalah pengetahuan atau kebijaksanaan dengan sifat “perempuan”. Pemahaman historis itu menjadi dalil untuk menciptakan tokoh Shopie dalam novel yang mengisahkan sejarah panjang filsafat barat. Jostein Gaarder menginginkan dengan novel itu pembaca mau mengembalikan kembali atau mengingat bahwa filsafat itu perempuan. Fakta sejarah filsafat dalam dominasi laki-laki membutuhkan refleksi ulang dan pembacaan kritis. Jostein Gaarder sebagai pengarang laki-laki dengan sadar memilih tokoh perempuan dalam novel Shopie’s Worl untuk dalil penting dalam sejarah filsafat Barat.

Filsafat itu perempuan mungkin sekadar kisah kecil dengan pembuktian bahwa sekian buku mengenai sejarah filsafat memang tidak memiliki catatan besar mengenai kehadiran filosof-filosof perempuan. Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam buku A Short History of Philosophy (1996) dengan kalem dan kritis mengajukan pertanyaan mengenai kehadiran perempuan dalam tiga ribu tahun sejarah filsafat: Mengapa mereka (perempuan) tidak termasuk dalam sejarah filsafat? Apakah filsafat cenderung lazim dengan jenis laki-laki? Pertanyaan-pertanyaan itu susah menemukan jawaban.

Fakta sejarah filsafat itu mungkin menganut pada pemahaman kalsik atau mitos bahwa laki-laki itu makhluk rasional dan perempuan itu makhluk emosional. Mitos itu menjadi kutukan ampuh yang membuat perempuan kurang menemukan ruang penting dalam filsafat. Fakta sejarah peran perempuan dalam filsafat mulai menjadi pertanyaan kritis untuk lekas menemukan jawaban. M. Atherton dalam Women Philosophers of the Early Modern Period (1994) mengungkapkan bahwa dalam sejarah awal filsafat ada tokoh perempuan dengan nama Hypatia yang memberi kontribusi penting dalam pemikiran filsafat Neoplatonis. Nama itu kerap terlupakan dalam sejarah filsafat Barat.

Sejarah filsafat Barat mengalami perubahan siginifikan dengan kehadiran buku The Second Sex (1949). Buku itu menjadi juru bicara dan refleksi kritis dari sosok perempuan Simone de Beauvoir. Buku itu mendedahkan pemahaman kritis mengenai perempuan dari perempuan dengan membongkar streotipe-stereotip sejarah dan pemikiran filsafat Barat. Simone de Beauvoir dengan telak mengabarkan bahwa perempuan tak bisa disingkirkan atau diabaikan dalam filsafat.

Sosok Simone de Beauvoir menjadi representasi penting kehadiran perempuan dalam pemikiran filsafat eksistensialisme dan feminisme. Kehadiran perempuan dalam filsafat Barat modern semakin menemukan kekuatan dalam pemikiran-pemikiran dari Julia Kristeva, Luce Irigaray, Hannah Arendt, dan lain-lain. Filosof-filosof perempuan itu hadir dengan pemikiran-pemikiran penting dan menentukan iklim filsafat pada abad XX.

Luce Irigaray dengan berani melakukan dekonstruksi filsafat Barat melalui pemikiran-pemikiran kritis dalam konstruksi feminisme. Iragaray menilai bahwa filsafat Barat melanggengkan tatanan maskulin. Filsafat Barat itu mengandung sifat falosentrime. Chris Barker dalam Cultural Studies: Theory and Practice (2000) mengartikan falosentrime sebagai wacana yang terpusat pada laki-laki dengan perspektif maskulinitas. Falus menjadi penanda simbolis universal dan transendental yang menandakan sumber, asal usul diri, dan agensi yang menyatu. Irigaray hendak melawan itu dengan kredo pemikiran dan perlawanan kritis. Kredo itu direalisasikan dalam bentuk woman’s writing (tulisan perempuan) dan womanspeak (ucapan perempuan). Kredo itu menjadi kepentingan perempuan untuk menentukan diri dalam ranah filsafat. Perempuan hadir dengan “tulisan” dan “ucapan”.

Luce Irigaray sebagai pokok dan tokoh menjadi juru bicara penting feminisme abad XX. Chris Barker menjelaskan bahwa kontribusi penting Irigaray antara lain (1) berani mengungkapkan kekhasan feminin; (2) berpisah dari logika identitas dan maskulinitas; (3) merayakan jouissance (kenikmatan seksual perempuan) yang tak terdefinisikan; (4) secara taktis dan berhasil memarodikan dan mengekspos pemikiran falosentrisme.

Filsafat itu perempuan. Pemahaman terhadap fakta historis dan empiris menjadi dalil untuk membaca filsafat hari ini. Perempuan membuktikan diri memiliki peran dan lakon dalam kisah filsafat. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (13 Agustus 2008)

Tidak ada komentar: