Oleh: Bandung Mawardi
Perkara erotik dalam sastra Indonesia modern memiliki referensi dari tradisi dan pengaruh wacana-wacana modernitas dengan representasi dan realisasi pluralistik. Pemahaman erotik dengan referensi berbeda tentu menentukan nilai suatu kontruksi dan interpretasi teks dalam pengertian eksklusif atau inklusif.
Erotik dalam tradisi memiliki mekanisme etik dan simbolisme untuk stabilitas suatu tatanan sosial. Erotik berada dalam tegangan tabu dan ekspresi dengan kriteria-kriteria samar. Erotik menjadi pengetahuan dan realisasi ketika ada pemenuhan terhadap kriteria tertentu dan model tafsir tertentu. Erotik cenderung jadi tabu ketika ada pemahaman protektif atas risiko dari pengetahuan dan realisasi atau ekspresi erotik. Perkara erotik dalam stereotipe tradisi kerap dihadapkan dengan etik.
Pengetahuan erotik itu mulai mengalami instabilitas dengan wacana-wacana modernitas. Pengaruh kentara atas pengetahuan dan praktik erotik itu cenderung berada dalam struktur pikiran dengan mekanisme negasi, afirmasi, atau kompromi. Modernitas memberi kemungkinan-kemungkinan lain untuk pengetahuan dan praktik erotik dalam norma dan konteks berbeda. Erotik dalam pemahaman modernitas menjadi sesuatu dengan dalil dan risiko tertentu ketika dihadapkan pada pengetahuan dan praktik erotik dalam konteks tradisi.
Perkara erotik dalam sastra Indonesia modern hadir dalam konteks perdebatan sastra dan pornografi. Novel-novel populer kerap menjadi kasus besar untuk menilai referensi dan risiko pornografi. Perdebatan itu menguat sejak tahun 1950-an karena fakta pertumbuhan sastra populer melimpah. Perkara pornografi mendominasi dalam perdebatan karena ada sesuatu yang negatif dan patut mendapatkan kritik dan perlawanan. Pemahaman itu melahirkan kesalahan mekanisme untuk membaca dan menilai teks sastra dalam pengertian erotik, pornografi, tabu, seksualitas,nafsu, maksiat, cabul, atau birahi. Erotik bukan sekadar seksualitas atau pornografi. Erotik adalah akumulasi dari representasi dan realisasi kodrat manusia dalam interaksi dan simbolisasi atas sensasi laku-laku hidup.
Goenawan Mohamad (1969) dalam perdebatan pelik mengenai seks dan sastra membuat suatu konklusi reflektif: “Seks adalah suatu risiko dalam kesusastraan Indonesia modern.” Penyebutan risiko itu mengandung pengertian bahwa ada kesusahan menghindari perkara seks dalam sistem antagonistik yang mengacu pada nilai-nilai etik (sosial-agama) dan estetik. Seks dalam sastra Indonesia terus berada dalam alur tradisi dan modernitas dengan kemungkinan pertemuan atau pemisahan sesuai dengan konteks transformasi nilai-nilai sosial dan kultural. Goenawan Mohamad mengajukan contoh tentang seksualitas dalam pengertian erotik pada puisi “La Ronde” Sitor Situmorang: Adakah yang lebih indah / dari bibir padat merekah? / Adakah yang lebih manis dari gelap di bayang alis?
Erotik itu mengandung aura dalam konstruksi imajinasi. Erotik memberi kemungkinan-kemungkinan kenikmatan terdalam dan intensitas tafsir dan reaksi reflektif. Erotik itu berbeda dengan pornografi. Roland Barthes (1981) menjelaskan bahwa pornografi adalah eksploitasi tanpa kepercayaan atau tanpa dimensi absolut. Pornografi adalah naif, tanpa maksud, dan tanpa kalkulasi. Pornografi adalah eksploitasi aurat tanpa aura.
Membaca erotik dalam sastra Indonesia modern bisa menempuh alur puisi Indonesia modern. Kehadiran puisi-puisi erotik memiliki sejarah dan biografi sendiri sesuai dengan latar sosial, kultural, agama, pendidikan, dan ideologi. Chairil Anwar dalam kapasitas sebagai manusia kosmopolitan (pengagum dan pelaku nilai-nilai modernitas) menulis puisi erotik dengan kompetensi bahasa dan pengisahan yang mumpuni. Inilah fragmen puisi erotik Chairil Anwar “Mirat Muda, Chairil Muda” (1949): Mirat raba urut Chairil, raba dada / Dan tahulah dia kini, bisa katakan dan tunjukkan dengan pasti di mana / menghidup jiwa, menghembus nyawa / Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia / rapatkan. Puisi erotik Chairil Anwar adalah puisi dengan kekuatan imajinasi-reflektif.
Puisi “Mirat Muda, Chairil Muda” menjadi reprsentasi dari puisi erotik yang mengacu pada pengetahuan dan laku modernitas. Puisi itu mengandung intensitas interaksi antara lelaki dan perempuan. Intensitas itu menjadi sesuai dengan kriteria sastra erotik dari Steinberg (1954) bahwa ada pengisahan hubungan intim raga (lahiriah) yang diungkapkan secara terselubung. Chairil Anwar menuliskan puisi erotik itu dengan operasionalisasi bahasa yang sensitif dan sugestif tanpa jatuh dalam vulgarisme.
Erotik dengan referensi dan biografi tradisi diungkapkan Subagio Sastrowardoyo dalam puisi “Asmaradana”. Puisi itu menjadi tafsir subversif atas epos Ramayana dengan intensitas laku erotik dalam pergulatan batin Sita. Inilah fragmen puisi “Asmaradana” dalam tafsir erotik atas stereotip tradisi atau cerita wayang: Raksasa yang melarikannya ke hutan / begitu lebat bulu jantannya / dan Sita menyerahkan diri. Tafsir subversif dengan pengisahan fragmen erotik antara Sita dan Rahwana semakin menguat dalam pengakuan Sita atas pengorbanan diri dengan kematian. Inilah babak tragis kisah erotik Sita dan Rahwana: Pada geliat sekarat terlompat doa / jangan juga hangus dalam api / sisa mimpi dari sanggama. Subagio Sastrowardoyo dengan latar sosial dan kultural Jawa melakukan pengisahan erotik secara terbuka tanpa harus tunduk dengan tabu atau interpretasi “resmi” yang mengacu pada tradisi. Perkara puisi erotik identik denggan refleksi dan fiksionalitas yang hadir dengan perlambang atau simbolisme.
Eksplorasi dan intensitas pengisahan erotik dengan konteks tegangan nilai-nilai tradisi dan modernitas hadir dalam prosa lirik Linus Suryadi AG Pengakuan Pariyem (1981). Tokoh Pariyem menjadi lakon dalam kisah keluarga priyayi dengan menganut historisitas dan normativitas pandangan hidup Jawa. Pariyem hadir dalam kisah erotik dengan kepasrahan karena dalil hormat dan cinta. Inilah fragmen erotik dengan acuan mantra Jawa: Ooh rasaku, ooh rasamu / dudu mungsuh dudu satru / jagad wadonmu / jagad lanangku / ngrasuk rasa ngrasuk kalbu. Mantra itu menjadi dalil untuk kesempurnaan laku erotik (seksualitas). Kesempurnaan atas puncak kenikmatan laku seksualitas itu diungkapkan dengan sugestif: Kami pun terbanting bersebelahan / kami pun tergeletak bersandingan / bagaikan nembe makan kangkung / badan kami loyo tanpa kekuatan / Tanpa bicara dan tanpa suara / tumpah rasa: ludeslah kata.
Linus fasih mengisahkan laku erotik itu dengan pengaruh biografi sosial, estetika, filosofi, dan kultural Jawa yang kental. Fragmen erotis dalam Pengakuan Pariyem itu merepresentasikan kompetensi pengetahuan Linus mengenai dunai seks Jawa dan simbol-simbol yang mengungkapkan pandangan hidup dan pandangan dunia Jawa. Laku erotik dalam Pengakuan Pariyem mengandung ambiguitas dalam stereotip priyayi-wong cilik dan gairah tak biasa antara lelaki dan perempuan dengan menafikkan status sosial. Gairah dalam laku erotik menjadi fakta untuk meninggalkan dan menanggalkan status sosial. Laku erotik adalah urusan lelaki dan perempuan karena ingin (hasrat) dan kenikmatan.
Penguatan laku erotik sebagai pegalaman manusia hadir dalam puisi “Saat-Saat Gelap” dari Toeti Heraty. Inilah fragmen lembut suatu laku erotik: saat-saat gelap pertemuan / - yang keramat - / membenam dalam pangkuan / senyap sunyi, titian yang harus dilewati / curam sunyi, semesta yang menjadi saksi / hari cipta terulangi. Laku erotik adalah representasi dan realisasi dari manusia dengan anutan nilai-nilai seksualitas, religiositas, filosofis, intelektualitas, etika, dan estetika.
Puisi-puisi erotik adalah representasi dan realisasi kompentensi bahasa (tulisan) dalam bentuk teks (sastra) yang membuka jalan pada jouissance (puncak kenikmatan bahasa). Bahasa atau tulisan (teks puisi) dalam konstruksi pencapaian kenikmatan oleh Barthes disebut sebagai ars erotica: teknik membuat teks imajinasi untuk menjadi erotik atau erotisasi teks.
Struktur puisi Indonesia modern memang menjadi pilihan “risiko” untuk mengisahkan dan mengonstruksi erotik yang menempuh jalan lain dari struktur sastra lama. Laku erotik dalam Babad Tanah Jawi dan Centhini memiliki kekuatan unik dalam pengungkapan bahasa dan kisah. Kekuatan itu ada dengan referensi dan situasi zaman yang cenderung mementingkan kekuatan semantik dari simbolisasi untuk sistem interpretasi tertentu. Kekuatan itu menjadi taruhan berbeda dalam puisi-puisi Indonesia modern karena kondisi zaman, kompleksitas wacana, dan pamrih estetika. Puisi erotik adalah risiko teks untuk mengisahkan laku manusia dalam jouissance dan aura. Begitu.
Dimuat di Gong Edisi 102 Tahun 2008
Rabu, 20 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar