Rabu, 23 April 2008

REVITALISASI RUANG KESENIAN DI SOLO

OLEH: YUNANTO SUTYASTOMO
Kalau melihat perkembangan kesenian di Kota Solo saat ini, maka sungguh mengembirakan. Dari sisi kuantitas kegiatan kesenian dapat dikatakan sangat banyak. Festival seni ataupun pementasan dan disikusi tentang seni berlangsung terus menerus. Tetapi dari sisi ruang atau tempat untuk berkesenian sangatlah minim. Di Kota Solo selama ini hanya Taman Budaya Jawa Tengah dan ISI yang sering dijadikan tempat untuk berkegiatan seni. Taman Budaya Jawa Tengah boleh dibilang paling sering menjadi langganan berkegiatan baik Teater Arena, Galeri Seni Rupa maupun Wisma Seni. Segala fasilitas yang disediakan maupun subsidi kegiatan memungkinkan orang berkesenian. Di samping Taman Budaya Jawa Tengah, ISI menempati urutan berikutnya yang paling sering dipakai.untuk pementasan tari atau teater. Tetapi ISI bahkan boleh dibilang jarang sekali memfasilitasi kegiatan Kesastraan. Entah karena di ISI tidak ada jurusan sastra atau keengganan para pegiat sastra sendiri menggunakan fasilitas di ISI. Seharusnya sebagai perguruan tinggi yang bergerak dalam bidang kesenian, pihak ISI memiliki niatan untuk menawarkan kegiatan berbagai kesenian disana. Dari dua tempat tadi, ada banyak tempat yang seharusnya bisa dipakai untuk berkesenian. Ruang-ruang berkesenian yang terbatas di wilayah Taman Budaya Jawa Tengah dan ISI menjadikan kesenian terpusat. Kalau melihat wilayah kota Surakarta yang mempunyai banyak ruang public, maka bisa dikatakan tidak ada pembagian ruang berkesenian. Seperti UNS yang memiliki banyak gedung maupun fasilitas berkesenian lainnya maka pihak UNS bisa membantu perkembangan seni di kota Surakarta . Di UNS kita ketahui ada teater terbuka disamping Fakultas Pertanian yang selama ini tidak dikelola dengan baik. Bahkan tidak pernah dipakai sama sekali. Kesulitan yang mendasar di UNS adalah persoalan birokrasi dan mentalitas para pengelolanya. Hambatan-hambatan yang sifatnya formalitas menjadikan UNS jarang dilirik untuk berkesenian. Selain UNS, ruang-ruang public lain yang bisa dipakai adalah Sriwedari. Kalau selama ini kita hanya mengetahui bahwa di Sriwedari hanya ada wayang orang dan orkes dangdut.

Ada paradoks disini, wayang orang hanya dilihat oleh sedikit orang, sementara dangdut ditonton khalayak banyak. Wayang orang dipentaskan dengan alasan sebagai warisan nenek moyang sementara dangdut dipentaskan dengan alasan sponsor atau komersial semata. Sriwedari jarang sekali dipakai untuk pementasan teater atau tari serta musik. Padahal di Sriwedari selain tempat pementasan wayang orang juga ada pendopo yang bisa untuk diskusi berbagai persoalan. Melihat letak Sriwedari sebenarnya memiliki keunggulan yaitu berada di tengah kota . Kalau pihak pengelola memilki sikap bijak dalam mengelola Sriwedari sebenarnya dapat memberikan ruang bagi kesenian – kesenian lain. Selama ini kalau malam hari di Sriwedari yang ada ada hanya kesunyian semenatara fasilitas andalan yang ada seperti permainan anak-anak menjadi semakin sepi kalah dengan permainan anak-anak di supermarket. Dengan adanya kesenian dapat merevitalisasi Sriwedari sebagai ruang public. Perlunya penyelamatan ruang-ruang seni, selain berkurangnya ruang public untuk berkesenian juga sebagai bagian penyelamatan bangunan-bangunan bersejarah di kota Solo. Kesenian di zaman modern hanyalah sebatas pelepasan dari rasa penat ketika seharian bekerja sementara ruang-ruang seni tadi selain memiliki fungsi sebagai ruang public juga sebagai tempat bagi masyarakat kota untuk mengingat perjalanan kesejarahan kota juga belajar memahami kesenian-kesenian yang hadir di kotanya(mereka)

Yang sangat disayangkan selama ini adalah hambatan untuk revitalisasi ruang-ruang seni terletak pada pemerintah kota . Kita bisa ambil contoh Taman Tirtonadi yang kemudian pada awal 1980-an diubah fungsinya menjadi terminal bus. Dan ternyata beberapa tahun belakangan terminal bus tersebut tidak mampu lagi menampung bus-bus antar kota . Dari sini terlihat jelas bahwa pemerintah kota tidak memikirkan jangka panjang dan perkiraan daya tahan bangunan untuk masa depan. Pemerintah kota hanya memikirkan keuntungan semata dari APBD. Tidak adanya perhatian pemerintah kota terhadap tata ruang kesenian juga terlihat bahwa beberapa tahun terakhir tidak ada rencana tentang pembangunan gedung-gedung kesenian. Bahkan banyak gedung-gedung yang tidak terawat seperti tertulis diatas. Pemerintah kota sebenarnya bisa meniru Ali Sadikin sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) dengan merencanakan tata ruang yang bagus untuk kota . Ali Sadikin bahkan membangun TIM (Taman Ismail Marzuki) dan mendirikan LPKJ (sekarang IKJ). Alasan bahwa pemerintah tidak punya biaya sebenarnya bisa disiasati dengan berbagai hal. Salah satunya adalah dengan mengajak pihak swasta, ini dilakukan dengan persyaratan antara lain swasta tidak menjadikan sisi komesial sebagai tujuan utama. Di Jakarta, Gedung Arsip Nasional adalah salah satu contohnya, pihak swasta menjadikan Gedung Arsip Nasional beserta isinya lebih terawat dan sekarang menjadi salah satu bangunan kuno yang paling terpelihara. Revitalisasi juga bisa dengan mengajukan dana perbaikan kepada lembaga-lembaga internasional, seperti UNESCO. Selama ini UNESCO telah mendanai perbaikan bangunan-bangunan yang ada di Indonesia , seperti Candi Borobudur, Pemandian Taman Sari di Yogyakarta baru-baru ini. Ada satu cara lain yang sangat memungkinkan, yaitu dibentuknya suatu lembaga independen yang bertugas mencari dana dan memperbaiki gedung-gedung kesenian. Lembaga ini dibentuk dengan dukungan penuh dari pemerintah dan pihak legislatif lokal. Lembaga ini terdiri pakar kesenian, praktisi kesenian dan pihak pemerintah. Untuk kota Solo, hal ini dapat melibatkan pihak Taman Budaya Jawa Tengah (TBS), lalu Solo Heritage Society, praktisi dari ISI dan UNS serta para seniman yang tentu saja sebagai pelaku utama kesenian. Ini adalah cara yang paling memungkinkan saat ini. Pemerintah kota harus memberikan dukungan yang penuh terhadap lembaga ini, kalau perlu membantu sarana dan prasarana pendukung. Sehingga citra Solo sebagai kota budaya tidak berhenti di slogan saja, karena citra ini telah pudar dengan banyaknya mall-mall dan gedung baru.

Tidak ada komentar: