Rabu, 23 April 2008

DKS yang Berjalan dan Bekerja


Oleh: Bandung Mawardi

Dewan Kesenian Surakarta (DKS) resmi dikukuhkan kepengurusannya oleh Walikota Jokowi pada 16 April 2008 (malam) di Loji Gandrung. Pengukuhan itu sebagai tanda bahwa Dewan Kesenian Surakarta mulai berjalan dan bekerja terhitung sejak sekarang sampai tahun 2012. Pelbagai pekerjaan mesti dilakukan DKS untuk menunjukkan diri sebagai lembaga yang representatif dalam memikirkan dan mengurusi kesenian di Surakarta.

Bagaimana DKS berusaha untuk berterima oleh kalangan pemerintah kota, seniman, dan masyarakat? Bagaimana DKS menjawab curiga, sangsi, atau pesimisme atas peran yang harus dimainkan? DKS itu untuk siapa?

Hubungan koordinatif atau instruktif

Murtijono dengan terbuka dan berani membuat suatu komitmen bahwa DKS tidak akan menjadi lembaga yang sekadar ada atau ada tapi mandul. Murtijono dalam pidato resmi sebagai ketua DKS memberi pernyataan-pernyataan yang penting sebagai sebagai rambu-rambu untuk DKS, pemerintah kota, dan seniman. Murtijono mengatakan bahwa peran DKS adalah sebagai “pembantu” pemerintahan kota dalam urusan kesenian. Pernyataan itu hendak menegaskan hubungan koordinatif antara pemerintah kota dengan DKS.

Keberadaan DKS memang rawan dengan godaan untuk menjadi lembaga yang membantu pemerintahan kota bukan dalam hubungan koordinatif tapi instruktif. Hubungan koordinatif itu bisa dibuktikan jika DKS memainkan peran sebagai lembaga yang memberikan masukan aspirasi, usulan, atau kritik mengenai kesenian pada pemerintahan kota untuk mengambil kebijakan dalam kesenian. DKS harus sanggup menghindari diri dari pelimpahan kerja atau proyek yang menyebabkan DKS bekerja dalam pengertian instruktif.

Pemahaman atas peran DKS memang kerap menimbulkan kerancuan dari pemerintah kota, seniman, atau masyarakat. DKS yang memiliki legitimasi dan representatif mesti bisa memberi jawaban untuk kerancuan itu dengan melakukan hubungan koordinatif dengan pemerintah kota.

Peran DKS

Pekerjaan DKS memang berat untuk bisa menjadi lembaga yang akomodatif dan representatif terhadap pelbagai kepentingan dari pemerintah kota, seniman, dan masyarakat. Murtijono secara terbuka mengatakan bahwa DKS ingin menjadi lembaga yang populis bukan elitis. Pernyataan itu memang menunjukkan komitmen besar sekaligus hendak menunjukkan bahwa hal itu susah direalisaiskan tapi harus dilakukan.

DKS sebagai lembaga representatif tentu harus menyadari bahwa dalam mengakomodasi aspirasi dan kepentingan seniman membutuhkan kriteria dan kompensasi. Kriteria itu adalah persoalan mengenai keluhan atau tuntutan seniman untuk dimunculkan atau dipublikasikan dalam kepentingan eksistensi dan pengembangan. Penentuan kriteria itu ada dengan alasan untuk pilihan-pilihan yang berterima, demokratis, dan representatif. Kompensasi adalah persoalan mengenai pembuktian proses dan kerja kreatif seniman untuk sesuatu yang konstruktif dan produktif.

Pengakomodasian aspirasi dan tuntutan seniman merupakan persoalan pelik yang harus bisa dibuktikan DKS. Persoalan yang kerap muncul adalah mungkinkah DKS bisa berimbang dalam memikirkan dan mengurusi seni tradisi dan modern. Persoalan pelik yang lain adalah perhatian DKS nanti akan diberikan untuk seni rupa, tari, musik, teater, wayang, sastra, kethoprak, atau bentuk seni-seni yang lain. Silakan menunggu pembuktian dari DKS.

Pernyataan Murtijono yang menarik adalah penegasan bahwa DKS tidak ingin menjadi lembaga yang memainkan peran sebagai tukang proyek. Pernyataan itu hendak meyakinkan pada pemerintah kota dan seniman bahwa hubungan antara DKS dan pemerintah kota adalah hubungan koordintaif. Pemerintah tidak berhak mengeluarkan instruksi pada DKS untuk menjalankan suatu acara, program, atau proyek kesenian. Para seniman juga tidak berhak menuntut pada DKS untuk diberikan acara, program, dan proyek kesenian yang mungkin dipahami sebagai hak seniman atas DKS.

DKS untuk siapa

Pertanyaan besar yang selama ini kerap dilontarkan adalah keberadaan DKS itu untuk siapa. Lembaga kesenian dalam sejarah Orde Baru telah memberikan pemahaman politis bahwa keberadaan lembaga kesenian itu untuk kepentingan penguasa. Pengalaman itu harus lekas dirubah dengan suatu orientasi bahwa DKS ada untuk pelbagai pihak dan bukan sekadar untuk pemerintah kot.a.

Persoalan yang mesti dijawab dengan baik oleh DKS adalah keberadaan DKS itu dari dan untuk siapa. Keberadaan DKS sekarang memang diprakarsai oleh para seniman dan mendapatkan respon positif dari walikota. DKS sebagai lembaga kesenian tentu ada dari keinginan, kegelisahan, dan tuntutan para seniman yang ingin melibatkan diri dengan dinamisasi kota.

DKS itu untuk siapa? Pertanyaan ini bisa menjadi suatu rambu-rambu untuk DKS agar tidak terjebak dalam godaan atau kesalahan. Jawaban atas pertanyaan itu diharapkan bukan sekadar retorika tapi pembuktian yang berterima. Begitu.

Dimuat di Joglosemar, Jumat, 18 April 2008

Tidak ada komentar: